Bayu berhembus meniup lembut menyapa kupu bersayap beludru yang terkatup sendu. Capung capung sibuk beterbangan di antara perdu. Seekor jangkrik mengintip sebentar lalu melompat terbang. Sementara matahari bermuka garang.
“Aku tau, kenapa begitu.” Ilalang tersenyum. Kupu bersayap beludru masih saja tertunduk.
Karena engkau masih saja di sini. Masih bersama siang. Sedangkan engkau mestinya bersama rembulan dan menjadi kunang-kunang. Karena sesungguhnya engkau adalah kunang kunang, Yang meskipun tanpa mataharipun engkau pemilik cahaya.
“Tapi aku ingin lebih bercahaya. Karena itu aku di sini.”
“Aku tahu mimpimu, dan silahkan engkau coba lalu coba lagi. Tapi tetaplah ingat. Sekuat-kuatnya engkau terbang, tetap saja sayap yang engkau pakai, bukanlah milik dirimu. Suatu saat sayap itu akan terkoyak. Dan aku khawatir engkau jatuh di tempat kolam pekat. Lalu tenggelam menjadi ikan berwarna hitam.
“Ahh, jangan berkata demkian ilalang.”
“Hanya khawatir. Karena takdirmu telah indah pada tempatnya. Tanpa harus engkau merobek batas dari siapa dirimu. Hanya pesan diriku, saat engkau merasa rapuh, jangan engkau teruskan dulu kepakan sayapmu. Mengepaklah dengan lembut. Keperkasaanmu bukan dilihat dari kepakan laksana rajawali. Tapi keperkasaanmu adalah menaklukkan angin dengan liuk sayap indahmu,
Kupu kupu bersayap beludru tersenyum, lalu beranjak hendak terbang, "Tetaplah di sini wahai ilalang. Ku akan terbang mewarnai langit."
Kupu kupu terbang melayang. Berwindu masa Ilalang hanya memandang. Rindu pada kupu yang masih saja terbang. Sedikit oleng.
“Kupu kupu! Jangan menjelma capung, meski engkau ingin terbang bersama mereka!”
Kupu kupu tak mendengar. Masih saja beterbangan lupa akan ilalang yang menatapnya. Alam semakin sore. Kupu kupu tak lelah melayang terbang. Terbang oleng di atas kolam pekat.