“Eh, ayo cepat, nanti ketinggalan! “
“Iyaa , Mak.. sebentar. Aku belum parfuman..”
“Udah cepat, nanti keburu ketinggalan kereta. Pake parfum Emak aja!”
“Aku khan laki, Mak... masak disuruh pake parfum perempuan, emak-emak lagi.”
“Daripada ketinggalan kereta. Ra sido lamaran, kowe!”
Tangan Rahmad segera disambar sang Emak. Dengan terpaksa ia pun manut saja. Dengan menumpang becak motor tetangga mereka segera menuju stasiun. Rombongan lainnya sudah sampai di stasiun. Dengan resah dan khawatir menunggu Rahmat, si tokoh utama dalam acara lamaran, yang belum muncul.
“Iki lho, Rahmad aneh aneh saja. Masak mau lamaran saja kok pake naik kereta. Mbokya carter mobil opo piye. Gawe ribet aja.” Kata seseorang berpeci miring setengah baya.
“Mbuh lah, dia yang punya acara, kita yang puyeng. Mau gak ikut, piye, tetangga sebelah rumah..” sahut seorang ibu yang membawa sebuah hantaran.
“Lha iya, kalo di kereta nggak berdiri., kalau berdiri? Bakalan asam uratku kambuh. Wadhuhh..” Bapak berpeci miring menyahut lagi.
“Ehh, udah udah, mbokya jangan gitu. Gimanapun juga Rahmad ama Emaknya udah baik di lingkungan. Masak kita tidak mau bantu. Kita khan malah enak, dikasih tumpangan gratis. Sekarang kereta nggak kayak dulu. Sekarang sudah nyaman.” Seorang ibu menimpali dengan suara kalem.