Mohon tunggu...
Kenanga PutriAyu8
Kenanga PutriAyu8 Mohon Tunggu... Mahasiswa - saya berprofesi sebagai mahasiswa

Nama Dosen : Apollo. Prof. Dr, M.Si. Ak Nama : Kenanga Putri Ayu NIM : 43221010011 Universitas Mercu Buana

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

TB2 - Mencegah Adanya Kejahatan Struktural dan Korupsi dalam Perspektif Model Anthony Giddens

12 November 2022   17:11 Diperbarui: 12 November 2022   17:11 639
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nama  : Kenanga Putri Ayu

NIM : 43221010011

Mata Kuliah : Pendidikan Anti Korupsi dan Etik UMB

Dosen Pengampu : Prof. Dr. Apollo, M.Si.Ak

Korupsi adalah gejala masyarakat yang dapat dijumpai di hampir segala tempat. Korupsi berasal dari kata latin "corruptio" atau "corruptus" yang berarti kerusakan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, dan tidak bermoral kesucian. Upaya pemberantasan korupsi sudah dilakukan sejak lama dengan menggunakan berbagai cara, sanksi terhadap pelaku korupsi sudah diperberat, namun hampir setiap hari kita masih membaca atau mendengar adanya berita mengenai korupsi.

Soemardjan sebagaimana dikutip oleh Parwadi (2007: 58) menyatakan  bahwa  korupsi  itu  ibarat  'pelacuran'.  Siapapun  yang  terlibat, apakah pihak yang langsung melakukan korupsi atau penikmat, sama-sama mendapatkan bagian hasil korupsi. Lain halnya dengan Parwadi yang mengatakan korupsi tak ubahnya seperti 'candu' dan pelakunya seperti 'pecandu' pengguna obat-obatan terlarang, sekali korupsi me-reka akan ketagihan untuk mengulanginya dan mengulanginya lagi.Korupsi tidak pernah dapat dilepaskan dari interaksi kekuasaan. 

Sebagaimana dikatakan Arendt (1993: 302), para politikus yang masih bermental animal laborans dimana orientasi kebutuhan hidup dan obsesi akan konsumsi masih mendominasi, cenderung menjadikan politik sebagai  mata  pencaharian  utama. Akibatnya, korupsi  pun  tidak  terelakkan lagi

Apa sebenarnya struktur itu? 

Menurut  Giddens  (2003:  21)  struktur  adalah rules  and  resources (aturan-aturan dan sumberdaya-sumberdaya) yang bisa disendirikan dan  menghasilkan  risiko  yang  jelas,  yakni  kesalahan  interpretasi. Struktur dapat dikatakan ada di berbagai sendi kehidupan masyara-kat; seperti ilmu pengetahuan, wacana, budaya, tradisi, dan ideologi. Struktur terbentuk atau melekat dalam tindakan. Struktur merupakan 'pedoman'  yang  dapat  merentang  dalam  ruang  dan  waktu  menjadi prinsip-prinsip  sang  agen  untuk  melakukan  suatu  tindakan  (seperti kejahatan).

Struktur lambat laun akan menjadi sistem dalam kehidupan jika berulang dan teregulasi atau terlegitimasi oleh gugusan struktur yang akhirnya menjadi sistem budaya yang tidak dipertanyakan lagi. Nilai-nilai yang sudah mapan dalam kondisi ini akan tergerus seiring deng-an proses strukturasi yang berulang dalam kehidupan masyarakat. Daya kritis akan melemah dan tergantikan dengan struktur-struktur yang melembaga akibat 'kesadaran praktis (Priyono, 2002: 28-29).

Mengapa Kejahatan Korupsi Mempunyai Makna?

Istilah 'kejahatan korupsi' mengarah pada bentuk penilaian afir-matif untuk meyakinkan bahwa korupsi memang menjadi bagian dari kejahatan dan perbuatan tercela dari penyakit masyarakat. Korupsi di-identifikasi sebagai varian kejahatan yang bersifat laten yang potensial merugikan  dan  membahayakan  negara,  sebagaimana  tindak  pidana lainnya  yang  identik  dengan  ancaman  terhadap rule  of  law, keadilan dan kemanusiaan. 

Perspektif para ekonomi yang memandang bahwa korupsi dapat mendorong  pertumbuhan  ekonomi  mulai  ditinggalkan  banyak  kalangan. Korupsi dipandang bukan hanya sebagai permasalahan moral, tetapi sebagai permasalahan multidimensional (politik, hukum, eko-nomi, sosial, dan budaya). Perubahan cara pandang dan pendekatan terhadap korupsi, yang diikuti menjamurnya kerja sama antarbangsa dalam isu ini menyemai optimisme bahwa perang melawan korupsi adalah  perang  yang  dapat  dimenangi  oleh  semua  pihak  (Wijayanto dan Zachrie, 2009: 5).

Istilah  korupsi  pada  awalnya  berasal  dari  bahasa  Latin  yaitu corruptive, corruptus, corruption = menyuap, penyuapan. Kata ini berasal dari kata corrumpore = merusak (suatu kata Latin tua), dari bahasa Latin inilah kemudian diadaptasi ke bahasa Eropa seperti Inggris: corruption, corrupt; Perancis: corruption; Belanda corruptive atau.

Corrupt dalam  bahasa  Inggris  berarti  jahat,  buruk  (Echols  dan Shadily,  1996:  149).  Kamus  bahasa  Indonesia  menyebutkan,  'korup' berarti: busuk, buruk; suka menerima uang sogok (memakai kekuasa-annya untuk kepentingan sendiri dsb); korupsi': perbuatan yang buruk (seperti penggelapan uang, penerimaan uang, sogok dan lain sebagai-nya) (Poerwadarminta, 1984: 524). Korupsi dalam Kamus Ilmiah Popular  berarti:  kecurangan,  penyelewengan/penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan diri, pemalsuan.

Beberapa literatur dapat menjelaskan secara deskriptif saja dari makna korupsi dibanding sebagai makna konseptual. Sebuah definisi korupsi yang banyak dikutip, adalah tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan sta-tus  atau  uang  yang  menyangkut  pribadi  negara  karena  keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri) atau melanggar aturan-aturan pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi.

 

Bagaimana struktur itu dimaknai dan disadari oleh pelaku kejahatan?

Korupsi  sebagai  kejahatan  struktural  dipandang  oleh  sebagian kalangan sebagai akibat langsung dari politik kekuasaan. 'Kekuasaan' seringkali didefinisikan berdasarkan tujuan dan kemauan, yakni seba-gai kemampuan mencapai hasil-hasil yang diinginkan dan dimaksud-kan. Sebaliknya Parsons (1971) dan Foucault (1979) misalnya, sebagai-mana dikemukakan oleh Giddens (1984: 15), memandang 'kekuasaan' sebagai milik masyarakat atau komunitas sosial. Hal ini mencermin-kan dualisme antara subjek dan objek, antara agen dan struktur.

Kekuasaan dalam agensi menurut Giddens (1984: 14) berarti kemampuan bertindak sebaliknya atau mampu melakukan campur tangan di dunia atau  menarik  intervesi  itu,  dengan  efek  mempengaruhi  proses  atau keadaan khusus secara sadar maupun tidak. Korupsi sebagai kejahatan struktural melibatkan sarana material salah satunya adalah uang. 

Konsepsi Giddens dijelaskan, uang merupakan alat perentangan waktu dan ruang. Uang merupakan alat sim-bolis atau sarana pertukaran yang bisa diedarkan terlepas dari siapa atau kelompok mana yang memegangnya pada waktu dan tempat tertentu. Ekonomi uang (money economy) telah menjadi sedemikian abs-trak dalam kondisi dewasa ini. Money bracket time and space (Giddens, 1991: 18)

Korupsi dalam ilmu-ilmu sosial biasa disebut sebagai kejahatan struktural namun struktur di sini dimaknai sebagai sesuatu yang me-ngekang di luar kuasa sang agen. Sebagai kejahatan struktural, pelaku tidak merasa melakukan tindak kejahatan karena struktur yang membiarkan atau mengamini (Siswanto, 2008: 120). 

Pandangan Giddens (1984: 13) tentang penyebab tindakan kejahatan, menurutnya dapat dianalisis melalui akumulasi-akumulasi pe-ristiwa yang berasal dari keadaan pemicu yang tanpa keadaan ini tidak akan bisa ditemukan akumulasi tersebut. Keadaan tersebut dapat di-pahami  dalam  logika  strukturasi,  yakni  penataan  relasi-relasi  sosial lintas ruang dan waktu berdasarkan dualitas struktur.

Masyarakat sosial biasa mengkaitkan adanya kejahatan dengan tindakan seseorang. Pada level ini, ada pengandaian antropologis ma-nusia dari kejahatan struktural yang layak ditelusuri, yakni manusia sebagai makhluk yang memiliki kehendak, konteks atau situasi, dan tujuan atau hasil di dalam hidupnya. Teori strukturasi bermula dari kritik Giddens terhadap cara kerja Giddens mengkritik perspektif struk-turalis merupakan penolakan yang penuh skandal terhadap subjek.

Sebagai contoh dalam memahami gejala dalam masyarakat kapitalis, perhatian strukturalis tidak terpusat pada perilaku para pemodal atau konsumen, tetapi  justru  pada  logika-internal  kinerja  modal;  dengan kata lain, strukturalisme adalah bentuk dualisme (Giddens, 2008: 335)

Dualisme  ini  juga  ada  pada  perspektif  post-strukturalis  (Gid-dens, 1987: 348). Pemikir penting post-strukturalis, Jasques Derrida misalnya, melihat perbedaan bukan hanya menunjuk sesuatu, melainkan sebagai pembentuk identitas yang bahkan merupakan hakikat sesuatu tersebut; atau dualisme yang ada pada fungsionalisme Talcott Parsons. Fungsionalisme merupakan cara berpikir yang mengklaim bahwa sis-tem sosial punya kebutuhan yang harus dipenuhi. 

Bagi Giddens, sistem  sosial  tidak  punya  kebutuhan  apapun,  yang  punya  kebutuhan adalah para pelaku. Fungsionalisme memberangus fakta bahwa ma-nusia  sebagai  pelaku,  bukan  orang-orang  dungu,  dan  bukan  robot yang  bertindak  berdasar naskah  (peran  yang  sudah  ditentukan).

Sebagai sebuah aturan dan sumberdaya, struktur memiliki tiga gugus dimensi yaitu: Pertama, struktur penandaan (signification) yang menyangkut skemata simbolik, pemaknaan, penyebutan, dan wacana. Kedua, struktur penguasaan atau dominasi (domination) yang menca-kup skemata penguasaan atas orang (politik) dan barang/hal (ekonomi). Ketiga, struktur  pembenaran  atau  legitimasi  (legitimation)  yang menyangkut skemata peraturan normatif, yang terungkap dalam tata hukum (Giddens, 1984: 29).

Pertama, Bahwa untuk melakukan komunikasi, seseorang mem-butuhkan sistem tanda dan bingkai interpretasi (tata simbol, wacana/ lembaga  bahasa),  sehingga  struktur  signifikasi  itu  ada.  Aktor-aktor sosial, dalam perilaku kehidupan sehari-harinya, secara aktif mengha-silkan makna dalam tataran yang telah mereka beri makna; secara ber-samaan mereka dipengaruhi oleh cara dimana makna-makna tersebut telah menjadi dirutinkan dan direproduksi.

Hal yang dilakukan dan dikatakan masyarakat memiliki konsekuensi bagi struktur sosial. Individu- Praktik-praktik struktur sosial, sebagian selalu berakar pada pertemuan tatap muka, tetapi perjumpaan ini tidak pernah terjadi dalam ruang hampa yang tidak berstruktur, dunia sosial ditengahi dan dipe-ngaruhi oleh sumber daya yang telah memiliki signifikasi sosial dan budaya. Struktur adalah 'proses dialektika' dimana hal yang dilakukan oleh individu adalah juga hal yang mereka bangun. Inilah essensi dariindividu menggerakkan sumber daya, ketrampilan dan pengetahuan yang telah didapatkan dari interaksi sebelumnya

Kedua, Untuk mendapatkan atau mempraktikkan kekuasaan, seseorang membutuhkan mobilisasi dua struktur dominasi sebagai fasi-litas.  Pada  dimensi  penguasaan,  fasilitas  ini  terdiri  dari  sumberdaya alokatif (ekonomi) dan otoritatif (politik). Sumberdaya alokatif mengacu  pada  kemampuan-kemampuan  atau  bentuk-bentuk  kapasitas transformatif yang memberikan komando atas barang-barang, objek-objek atau fenomena material.

 Adapun sumberdaya otoritatif mengacu pada  jenis-jenis  kapasitas  transformatif  yang  menghasilkan  perintah atas orang-orang atau aktor-aktor. Istilah 'kekuasaan' harus dibedakan dengan istilah dominasi. Do-minasi  mengacu  pada  asimetri  hubungan  pada  dataran  struktur,  sedang kekuasaan menyangkut kapasitas yang terlibat dalam hubungan sosial pada dataran pelaku (interaksi sosial).

Karena itu kekuasaan selalu menyangkut kapasitas transformatif,  sebagaimana  tidak  ada struktur tanpa pelaku, begitu pula tidak ada struktur dominasi tanpa relasi kekuasaan yang berlangsung diantara pelaku yang kongkret. Kekuasaan  terbentuk  dalam  dan  melalui  reproduksi  dua  struktur/ sumberdaya dominasi (alokatif dan otoritatif). 

Meski demikian, menurut Giddens tidak pernah mungkin terjadi penguasaan total atas orang entah dalam sistem totaliter, otoriter, ataupun penjara karena adanya dialektika kontrol (the dialectic of control). Artinya dalam penguasaan selalu terlibat relasi otonomi dan ketergantungan, baik pada yang me-nguasai maupun pada yang dikuasai sekalipun dalam kadar yang minimal.

Ketiga; untuk memberlakukan sebuah sanksi, orang membutuh-kan sarana legitimasi berupa norma atau peraturan (tata hukum/lem-baga hukum). Aspek legal (normatif) dibutuhkan untuk memberikan rasa aman (ontological security) dan keabsahan atas interaksi yang dilakukan oleh agen-agen sosial. Perubahan sosial tidak bisa ditempuh de-ngan kontradiksi sistem, tetapi perubahan dapat ditempuh melalui ko-ordinasi praktik yang dilembagakan dalam sistem dan struktur sosial yang mengatasi ruang dan waktu.

Korupsi dari sudut pandang ekonomi dikategorikan sebagai bentuk Commercial  Crime,  yaitu  bentuk  kejahatan-kejahatan  serius  yang implikasinya  berhubungan  dengan  ekonomi,  keuangan,  dan  perdagangan (Parwadi, 2010: 15). Korupsi dalam ilmu akuntansi merupakan bagian dari kecurangan atau penggelapan (fraud). Secara umum kecu-rangan berkaitan dengan beberapa hal: ketidakjujuran (dishonesty), penipuan (deceit), pelanggaran  kepercayaan  (breach  of  trust),  pencurian (theft), maksud berbuat salah (intention to do wrong), dan rencana men-dapatkan  manfaat  atau  keuntungan  dengan  merugikan  pihak  lain.

Mengembangkan budaya antikorupsi dan menumbuhkan rasa malu menikmati hasil korupsi merupakan hulu yang penting dalam pencegahan tindak pidana korupsi. Pendidikan antikorupsi harus diperluas untuk melahirkan generasi masa depan yang antikorupsi. Tetapi, membangun sistem yang menutup peluang terjadinya tindak pidana korupsi juga merupakan kunci utama.

Demikian disampaikan Presiden Joko Widodo saat memberikan sambutan pada acara peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) tahun 2020. Dalam acara yang digelar secara virtual melalui konferensi video dari Istana Negara dan Gedung Juang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut, Presiden juga menekankan pentingnya peningkatan transparansi dan akuntabilitas lembaga pemerintahan.

"Semua lembaga pemerintahan harus terus meningkatkan transparansi, meningkatkan akuntabilitas, melakukan penyederhanaan proses kerja dan proses pelayanan kepada masyarakat untuk meminimalisir ruang korupsi, sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat," ujar Presiden dari Istana Negara, Jakarta, Rabu (16/12/2020).

Presiden menjelaskan, upaya pemerintah untuk melakukan reformasi di sektor perizinan dan sektor layanan publik merupakan upaya penting untuk memperkecil peluang terjadinya korupsi. Sektor-sektor yang berkaitan langsung dengan kepentingan rakyat banyak, sektor-sektor yang memengaruhi ekosistem berusaha terutama pada UMKM, menjadi perhatian utama pemerintah.

"Pemerintah berusaha keras untuk melakukan reformasi struktural secara besar-besaran. Regulasi yang tumpang tindih dan prosedur yang rumit terus akan kita pangkas. Mekanisme dan prosedur birokrasi yang rumit kita sederhanakan yang kemudian didukung dengan penggunaan teknologi digital seperti e-budgeting, e-procurement, e-audit, dan aplikasi-aplikasi lainnya," ungkapnya.

Pembenahan sistem yang sedang dilakukan tersebut pasti memerlukan dukungan pengawasan yang efektif, baik yang dilakukan oleh pengawas internal di institusi pemerintah, pengawas eksternal yang melibatkan beberapa lembaga di luar pemerintah, dan juga dengan mengundang partisipasi publik untuk mengawasi kerja aparat pemerintah. Menurut Presiden, profesionalitas aparat penegak hukum memiliki posisi yang sangat sentral dalam penindakan dan juga pencegahan.

"Namun, orientasi dan mindset dalam pengawasan dan penegakan hukum harus diarahkan untuk perbaikan dan tata kelola pencegahan korupsi. Kinerja penegakan bukan diukur dari seberapa banyak kasus yang ditemukan, tetapi pada bagaimana mencegah secara berkelanjutan agar tindak pidana korupsi itu tidak sampai terjadi lagi," tegasnya 

Kepala Negara memandang bahwa upaya pemberantasan korupsi membutuhkan kegigihan dan konsistensi yang luar biasa dan butuh orkestrasi kebersamaan yang luar biasa untuk mencegahnya. Selain itu juga butuh inovasi dan kerja sistematis untuk menutup peluang bagi terjadinya korupsi, serta perlu tindakan yang adil dan konsisten untuk menindak para pelaku pidana korupsi.

"Saya berharap dengan langkah-langkah yang sistematis, yang sistemik, dari hulu sampai hilir, kita bisa lebih efektif memberantas korupsi, lebih efektif memberantas kemiskinan dan mengurangi pengangguran, dan menjadikan Indonesia negara maju yang kita cita-citakan," tandasnya.

Pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini didasarkan pada  Undang-Undang  Nomor  31 Tahun 1999 jo  Undang - Undang  Nomor  20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Dengan demikian pada prinsipnya pencegahan dan pemberantasan korupsi telah menjadi komitmen bangsa Indonesia. Komitmen ini ditunjukkan dengan penyelenggaraan pemberantasan tindak pidana korupsi secara represif dengan menegakkan Undang Undang  Tindak Pidana Korupsi serta dengan membentuk suatu lembaga yang secara khusus diadakan untuk mencegah dan memberantas korupsi yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK.

Upaya pemberantasan korupsi pun sudah dilakukan sejak lama dengan menggunakan berbagai cara. Sanksi terhadap pelaku korupsi sudah diperberat, namun  kita masih membaca atau mendengar adanya berita mengenai korupsi.

Sebenarnya apa penyebab terjadinya korupsi? Ada beberapa teori penyebab terjadinya korupsi yang pada intinya terbagi atas faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal merupakan penyebab orang melakukan korupsi atas dorongan (pengaruh) pihak luar atau lingkungan. 

Faktor internal penyebab korupsi datangnya dari diri pribadi atau individu. Faktor internal sangat ditentukan oleh kuat tidaknya nilai-nilai anti korupsi tertanam dalam diri setiap individu. Oleh karena itu, perlu adanya penanaman dan implementasi nilai-nilai anti korupsi sebagai upaya pembentengan diri dari perilaku korupsi.

Ada Sembilan nilai anti korupsi yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam kehidupan berkeluarga, bekerja, maupun bersosialisasi dalam masyarakat. Kesembilan nilai anti korupsi dibagi menjadi tiga bagian utama, yaitu inti (jujur, disiplin, dan tanggung jawab) yang dapat menumbuhkan sikap (adil, berani, dan peduli) sehingga mampu menciptakan etos kerja (kerja keras, mandiri, sederhana).

Penjabaran singkat arti nilai-nilai tersebut penting dilakukan oleh kita semua dalam setiap perilaku di kesehariannya dalam interaksi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Arti nilai jujur adalah sikap dan perilaku yang mencerminkan kesatuan antara pengetahuan, perkataan, dan perbuatan. Jujur berarti mengetahui apa yang benar, mengatakan dan melakukan apa yang benar. Orang yang jujur adalah orang yang dapat dipercaya, lurus hati, tidak berbohong, dan tidak melakukan kecurangan.

Disiplin adalah kebiasaan dan tindakan yang konsisten terhadap segala bentuk peraturan atau tata tertib yang berlaku. Disiplin berarti patuh pada aturan. Tanggung jawab adalah sikap dan perilaku seseorang dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, baik yang berkaitan dengan diri sendiri, sosial, masyarakat, bangsa, negara maupun agama. Adil berarti tidak berat sebelah, tidak memihak pada salah satu. Adil juga berarti perlakuan yang sama untuk semua tanpa membeda-bedakan berdasarkan golongan atau kelas tertentu.

Berani adalah hati yang mantap, rasa percaya diri yang besar dalam menghadapi ancaman atau hal yang dianggap sebagai bahaya dan kesulitan. Berani berarti tidak takut atau gentar. Peduli adalah sikap dan tindakan memperhatikan dan menghiraukan orang lain, masyarakat yang membutuhkan, dan lingkungan sekitar. Arti nilai kerja keras yaitu sungguh-sungguh berusaha ketika menyelesaikan berbagai tugas atau amanah dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Kerja keras berarti pantang menyerah dan terus berjuang. 

Mandiri adalah dapat berdiri sendiri. Mandiri berarti tidak bergantung pada orang lain, juga berarti mampu menyelesaikan, mencari, dan menemukan solusi atas masalah yang dihadapi. Sederhana adalah bersahaja. Sederhana berarti menggunakan sesuatu secukupnya dan tidak berlebihan.

Dokpri
Dokpri

Lalu, Bagaimana Korupsi Jika Dalam Persfektif Islam ?

Korupsi dalam konteks ajaran Islam adalah tindakan yang ber-tentangan dengan prinsip keadilan (al-'adalah), akuntabilitas (al-ama-nah), dan tanggung jawab. Korupsi dengan segala dampak negatifnya yang menimbulkan berbagai distorsi terhadap kehidupan negara dan masyarakat dapat dikategorikan termasuk perbuatan fasad, kerusakan di muka bumi, yang sekali-kali amat dikutuk Allah SWT (Semma, 2008: 32-33).

Seorang koruptor pada dasarnya telah merusak kebutuhan dasar manusia  lainnya,  memporakporandakan  dan  mengabaikan  norma-norma essensial sebagai manusia. Berbagai pola kejahatan berdimensi baru (new dimention crime) seperti perbuatan korupsi dengan cara sin-dikat  dan  mafia  kejahatan  internasional  melalui crime  a  business, organized  crime,  white  collar  crime,  bank  crime,  monopoly  oligopoly dan manipulation  crime.

Hal-hal  yang  manusiawi  belum  tentu  berperikemanusiaan,  dalam arti korupsi bisa saja disebut sebagai tindakan yang manusiawi se-seorang yang mencari cara untuk memenuhi hasrat kebutuhan dasar, keinginan, dan kebahagiaan hidup. Akan tetapi, korupsi tidak sekedar dorongan-dorongan manusiawi saja, korupsi tidak bebas nilai sebab ia menyangkut moralitas seseorang. Korupsi adalah tindakan merusak, merugikan manusia dan lingkungan tempat manusia hidup. Oleh karena itu, korupsi adalah 'jahat' karena secara struktural menciptakan penderitaan bagi orang lain, korupsi merupakan extra ordinary crime.

Manusia diciptakan adalah untuk mengemban tugas sebagai in-dividu dan sebagai makhluk sosial. Secara personal manusia bertanggung  jawab  terhadap  pencipta-Nya,  dan  secara  sosial  manusia  ber-tanggung jawab terhadap sesamanya. Filsuf muslim, Fazlur Rahman, berpendapat, hakikat hidup manusia adalah perjuangan moral yang tidak  berkesudahan.  

Di  dalam  perjuangan  ini,  Allah  berpihak  pada manusia asalkan melakukan usaha-usaha yang diperlukan, karenanya di antara ciptaan Tuhan manusia memiliki posisi yang unik. Manusia diberi kebebasan berkehendak agar dapat menyempurnakan missinya sebagai khalifah Allah  di  muka  bumi.  Misi  inilah,  perjuangan  untuk menciptakan sebuah tata sosial yang bermoral di atas dunia, yang dika-takan al-Qur'an sebagai amanah (Rahman, 1980: 27).

Dokpri
Dokpri

Faktor Penyebab Internal :

1. Sifat Manusia Yang Rakus

Keserakahan menyebabkan manusia selalu merasa tidak mampu atas apa yang dimilikinya dan selalu menginginkan lebih. Serakah, seseorang jatuh cinta dengan kekayaan terlalu banyak. Meskipun dia memiliki banyak kekayaan, meskipun posisinya tinggi. Ketika manusia dikuasai oleh keserakahan, mereka mengabaikan halal dan haramnya ketika mencari makanan. Sifat ini menjadikan korupsi sebagai kejahatan yang dilakukan oleh para profesional yang berkedudukan tinggi dan hidup berkecukupan.

2. Gaya Hidup Konsumtif

Keserakahan dan gaya hidup konsumtif merupakan faktor internal korupsi. Mengkonsumsi gaya hidup seperti membeli barang mewah dan mahal serta mengikuti trend gaya hidup urban yang glamor. Korupsi dapat terjadi ketika seseorang menjalani gaya hidup konsumtif tetapi tidak memiliki penghasilan yang layak.

3. Moral Yang Lemah

Orang dengan semangat rendah atau orang yang mempunyai moral yang rendah rentan terhadap korupsi. Kelemahan di sisi moral misalnya, kurang beriman, jujur, atau malu melakukan korupsi. Moral yang rendah membuat masyarakat sulit menahan godaan korupsi. Godaan korupsi bisa datang dari atasan, rekan kerja, bawahan, atau pihak lain yang menawarkan peluang.

Faktor Penyebab Eksternal

1. Aspek Sosial

Kehidupan sosial seorang berpengaruh pada mendorong terjadinya korupsi, terutama pada keluarga bukannya mengingatkan atau memberi hukuman, keluarga malah justru mendukung seorang korupsi buat memenuhi keserakahan mereka. Aspek sosial lainnya merupakan nilai & budaya pada warga yang mendukung korupsi. Misalnya, warga hanya menghargai seorang lantaran kekayaan yg dimilikinya atau terbiasa menaruh gratifikasi pada pejabat.

Dalam means-ends scheme yg diperkenalkan Robert Merton, korupsi adalah konduite insan yg diakibatkan sang tekanan sosial, sebagai akibatnya mengakibatkan pelanggaran norma-norma. Menurut teori Merton, syarat sosial pada suatu loka terlalu menekan sukses ekonomi akan tetapi membatasi kesempatan-kesempatan buat mencapainya, mengakibatkan taraf korupsi yg tinggi.

Teori korupsi dampak faktor sosial lainnya disampaikan sang Edward Banfeld. Melalui teori partikularisme, Banfeld mengaitkan korupsi menggunakan tekanan keluarga. Sikap partikularisme adalah perasaan kewajiban buat membantu & membagi asal pendapatan pada eksklusif yg dekat menggunakan seorang, misalnya keluarga, sahabat, kerabat atau kelompoknya. Akhirnya terjadilah nepotisme yang sanggup berujung dalam korupsi.

2. Aspek Politik

Keyakinan bahwa politik buat memperoleh laba yang besar sebagai faktor eksternal penyebab korupsi. Tujuan politik buat memperkaya diri dalam akhirnya membangun money politics. Dengan money politics, seorang sanggup memenangkan kontestasi menggunakan membeli bunyi atau menyogok para pemilih atau anggota-anggota partai politiknya.

Pejabat yang berkuasa menggunakan politik uang hanya ingin menerima harta, menggerus kewajiban utamanya yaitu mengabdi pada masyarakat. Melalui perhitungan untung-rugi, pemimpin output money politics nir akan peduli nasib masyarakat yg memilihnya, yg terpenting baginya merupakan bagaimana ongkos politiknya sanggup pulang & berlipat ganda.

Balas jasa politik misalnya jual beli bunyi pada DPR atau dukungan partai politik jua mendorong pejabat buat korupsi. Dukungan partai politik yg mengharuskan imbal jasa akhirnya memunculkan upeti politik. Secara rutin, pejabat yg terpilih membayar upeti ke partai pada jumlah besar, memaksa korupsi.

3. Aspek Hukum

Hukum sebagai faktor penyebab korupsi bisa dilihat dari dua sisi, sisi perundang-undangan dan lemahnya penegakan hukum. Koruptor akan mencari celah di perundang-undangan untuk bisa melakukan aksinya. Selain itu, penegakan hukum yang tidak bisa menimbulkan efek jera akan membuat koruptor semakin berani dan korupsi terus terjadi.

Hukum menjadi faktor penyebab korupsi jika banyak produk hukum yang tidak jelas aturannya, pasal-pasalnya multitafsir, dan ada kecenderungan hukum dibuat untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu. Sanksi yang tidak proporsional, terlalu ringan, atau tidak tepat sasaran bagi pelaku korupsi juga akan menghalangi pelaku mencuri uang negara.

4. Aspek Ekonomi

Faktor ekonomi seringkali dipandang sebagai penyebab utama terjadinya korupsi. Ini termasuk tingkat pendapatan atau gaji yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan. Fakta juga menunjukkan bahwa orang dengan gaji pas-pasan tidak melakukan korupsi. 

Korupsi besar-besaran sebenarnya dilakukan oleh orang-orang kaya dan berpendidikan tinggi. Kita sering melihat pemimpin daerah dan anggota DPR ditangkap karena korupsi. Mereka korup bukan karena tidak memiliki kekayaan, tetapi karena mereka serakah dan tidak bermoral.

Di negara-negara dengan sistem ekonomi monopoli, kekuasaan negara disusun untuk menciptakan peluang ekonomi bagi pegawai negeri untuk memajukan kepentingan mereka sendiri dan sekutu. Kebijakan ekonomi dikembangkan secara non-partisipatif, tidak transparan dan tidak akuntabel.

5. Aspek Organisasi

Faktor eksternal lain yang menyebabkan korupsi adalah organisasi penyuapan. Biasanya organisasi ini membuka peluang atau peluang dan dengan demikian berkontribusi terhadap terjadinya korupsi.

Menurut kutipan Eko Handoyo dari bukunya Pendidikan Anti Korupsi, organisasi rawan korupsi di antara anggotanya. Anggota telah menjadi birokrat dan bermain di antara celah peraturan. Misalnya, partai politik menggunakan metode ini untuk mendanai organisasinya. Pengangkatan pejabat daerah juga menjadi sarana bagi partai politik untuk mencari dana agar roda organisasi tetap berjalan lancar, dan akhirnya ada kebijakan moneter yang menghidupkan kembali siklus korupsi.

Cara Memberantas Korupsi Di Indonesia

Dilansir dari laman web Inspektorat Jenderal Kementerian PUPR, dalam panduan memberantas korupsi secara mudah dan menyenangkan oleh KPK RI, terdapat 3 (tiga) strategi yang dapat dilakukan guna memberantas korupsi, antara lain:

1. Represif

Strategi represif dilakukan dengan cara KPK menjerat koruptor ke pengadilan, membacakan tuntutan, dan menghadirkan para saksi beserta alat musik yang menguatkan.

2. Perbaikan Sistem

Di dalam strategi perbaikan sistem, KPK memberikan rekomendasi pada kementerian atau lembaga terkait untuk melakukan langkah-langkah perbaikan. Tak hanya itu saja, strategi ini pula dilakukan melalui penataan layanan publik lewat koordinasi dan supervisi pencegahan serta mendorong transparansi penyelenggara negara. Guna mendorong transparansi penyelenggara negara, KPK menerima LHKPN dan gratifikasi.

3. Edukasi dan Kampanye

Edukasi dan kampanye dilakukan sebagai bagian dari pencegahan dan mempunyai peran strategis dalam memberantas korupsi. Lewat edukasi dan kampanye inilah, KPK meningkatkan kesadaran masyarakat tentang dampak korupsi, mengajak masyarakat untuk terlibat dalam gerakan pemberantasan korupsi dan membangun perilaku dan masyarakat anti korupsi. Kegiatan edukasi dan kampanye tersebut sebaiknya dilakukan sebagai bagian dari pencegahan yang dilakukan tak cuma kepada mahasiswa dan masyarakat umum.

Pemerintah dapat berganti di setiap tahun periodenya, tetapi upaya memerangi korupsi tidak akan pernah berakhir. Berbagai landasan dan instrumen hukum telah diciptakan di Indonesia untuk menekan dan membarantas tindak korupsi. Kita sebagai makhluk sosial harus terus berusaha untuk memiliki undang-undang dan peraturan nasional untuk mencegah korupsi dan menghukum pelaku dengan tepat. Karena Indonesia memiliki undang-undang antikorupsi, yang memberikan pedoman dan dasar untuk pencegahan dan penuntutan. 

Salah satunya menjadi dasar pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menjadi pengawal pemberantasan korupsi di tanah air. Dasar hukum ini merupakan bukti keseriusan pemerintah Indonesia dalam memberantas korupsi. Berbagai perubahan telah dilakukan terhadap undang-undang untuk menyesuaikannya dengan situasi penuntutan kasus korupsi saat ini. Pemerintah, yang menyadari tidak bisa bekerja sendiri, menghimbau masyarakat untuk ikut mengungkap dan melaporkan korupsi melalui surat keputusan.

Berikut adalah dasar-dasar hukum pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia : 

1. UU No. 3 tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang-undang ini dikeluarkan di masa Orde Baru pada kepemimpinan Presiden Soeharto. UU No. 3 tahun 1971 mengatur pidana penjara maksimum seumur hidup serta denda maksimal Rp 30 juta bagi semua delik yang dikategorikan korupsi.

Korupsi, kolusi, dan nepotisme masih merajalela pada saat itu, meskipun undang-undang memiliki definisi yang jelas tentang korupsi, merusak keuangan pemerintah untuk kepentingan diri sendiri dan orang lain, undang-undang anti korupsi muncul dengan berbagai perbaikan sana sini. UU No. 3 tahun 1971 ini dinyatakan tidak berlaku lagi setelah digantikan oleh Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

2. Ketetapan MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN

Usai rezim Orde Baru tumbang diganti masa Reformasi, muncul Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Sejalan dengan TAP MPR tersebut, pemerintah Presiden Abdurrahman Wahid membentuk badan-badan negara untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi, antara lain: Tim Gabungan Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara dan beberapa lainnya.

TAP MPR menekankan kebutuhan hati nurani rakyat untuk keberhasilan reformasi pembangunan, termasuk pelaksanaan fungsi dan tugas ketatanegaraan yang baik dan bertanggung jawab tanpa korupsi. TAP MPR juga mengamanatkan pemeriksaan aset penyelenggara negara untuk membangun kepercayaan publik.

3. UU no 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN

Undang-undang ini dibentuk di era Presiden BJ Habibie pada tahun 1999 sebagai komitmen pemberantasan korupsi pasca tergulingnya rezim Orde Baru. Dalam UU no 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN ini dijelaskan definisi soal korupsi, kolusi dan nepotisme, yang kesemuanya adalah tindakan tercela bagi penyelenggara negara. Undang-undang juga mengatur pembentukan Komisi Penyelidikan independen untuk menyelidiki properti pegawai negeri dan mantan pegawai negeri untuk mencegah korupsi. Bersamaan dengan itu, dibentuk Badan Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan Ombudsman.

4. UU Nomor 20 Tahun 2001 jo UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang-undang di atas merupakan landasan hukum untuk memberantas korupsi di dalam negeri. Undang-undang tersebut menyatakan bahwa korupsi adalah setiap perbuatan melanggar hukum yang dimaksudkan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau untuk merugikan bangsa atau perekonomian nasional. 

Korupsi didefinisikan berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dipetakan ke dalam 30 bentuk dan 7 jenis yaitu, penyelewengan jabatan, pemerasan, gratifikasi, suap, benturan kepentingan dalam pengadaan dan penipuan, perbuatan, dan kerugian keuangan negara.

5. Peraturan Pemerintah No 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dengan adanya regulasi ini, pemerintah ingin mengajak masyarakat untuk ikut berkontribusi dalam pemberantasan korupsi. Keterlibatan masyarakat yang diatur dalam peraturan ini adalah untuk mengumpulkan, memperoleh dan memberikan data atau informasi yang berkaitan dengan korupsi. Mereka juga didorong untuk menyampaikan saran dan pendapat mengenai pencegahan dan pemberantasan korupsi.  

Hak-hak masyarakat dilindungi dan investigasi penegakan hukum sedang berlangsung. Atas partisipasinya, masyarakat juga mendapatkan penghargaan dari pemerintah. Hal ini juga diatur dalam PP ini.

6. UU No 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang-Undang No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi pencetus lahirnya KPK di masa Kepresidenan Megawati Soekarno Putri. Ketika itu, Kejaksaan dan Kepolisian dianggap tidak efektif memberantas tindak pidana korupsi sehingga dianggap pelu adanya lembaga khusus untuk melakukannya.

Sesuai amanat UU tersebut, KPK dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. UU ini kemudian disempurnakan dengan revisi UU KPK pada 2019 dgn terbitnya Undang-Undang No 19 Tahun 2019. Dalam UU 2019 diatur soal peningkatan sinergitas antara KPK, kepolisian dan kejaksaan untuk penanganan perkara tindak pidana korupsi. 

7. UU No 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang

Pencucian uang adalah cara orang koruptor menutupi atau menghilangkan barang bukti tindak pidana korupsinya. Undang-undang ini mengatur penanganan dan pelaporan kasus pencucian uang dan transaksi keuangan mencurigakan sebagai bagian dari upaya antikorupsi.

Undang-undang ini juga memperkenalkan lembaga pertama Pusat Analisis Pelaporan Transaksi Keuangan (PPATK). PPATK mengkoordinasikan pelaksanaan upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia.

8.  Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK)

Perpres ini merupakan pengganti dari Perpres No 55 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Jangka Panjang Tahun 2012-2025 dan Jangka Menengah Tahun 2012-2014 yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan pencegahan korupsi.

Stranas PK yang tercantum dalam Perpres ini adalah arah kebijakan nasional yang memuat fokus dan sasaran pencegahan korupsi yang digunakan sebagai acuan kementerian, lembaga, pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya dalam melaksanakan aksi pencegahan korupsi di Indonesia. Sementara itu, Aksi Pencegahan Korupsi (Aksi PK) adalah penjabaran fokus dan sasaran Stranas PK dalam bentuk program dan kegiatan.

Ada 3 (tiga) fokus dalam Stranas PK, yaitu Perizinan dan Tata Niaga, Keuangan Negara, dan Penegakan Hukum dan Demokrasi Birokrasi.

9. Peraturan Presiden No.102/2020 tentang tentang Pelaksanaan Supervisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Diterbitkan Presiden Joko Widodo, Perpres ini mengatur supervisi KPK terhadap instansi yang berwenang melaksanakan pemberantasan tindak pidana korupsi, yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Kejaksaan Republik Indonesia. Perpres ini juga mengatur wewenang KPK untuk mengambil alih perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani oleh Polri dan Kejaksaan. Perpres ini disebut sebagai bagian dari upaya untuk memperkuat kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi.

10. Permenristekdikti Nomor 33 Tahun 2019 tentang Kewajiban Penyelenggaraan Pendidikan Anti Korupsi (PAK) di Perguruan Tinggi

Pemberantasan korupsi bukan hanya tindakan, tetapi juga pendidikan dan pencegahan. Oleh karena itu, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi telah mengeluarkan surat keputusan tentang penyelenggaraan pelatihan anti korupsi (PAK) di perguruan tinggi.   

Permenristekdikti Nomor 33 Tahun 2019 mewajibkan perguruan tinggi negeri dan swasta menyelenggarakan kursus pelatihan anti korupsi di semua jenjang, baik diploma maupun sarjana, tentang kewajiban menyelenggarakan pelatihan anti korupsi (PAK) di perguruan tinggi. Selain mata kuliah, PAK juga dapat berupa kegiatan kemahasiswaan dan penelitian. Dari itu diwujudkan dalam bentuk kegiatan seperti Kurikulum, Ekstrakurikuler, atau di unit kemahasiswaan. Oleh karena itu Kegiatan penelitian dapat berbentuk pusat penelitian, pusat pengkajian, serta pusat studi.

Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia sudah dilakukan melalui berbagai cara, namun hingga saat ini masih saja terjadi korupsi dengan berbagai cara yang dilakukan oleh berbagai lembaga. Terdapat beberapa bahaya sebagai akibat korupsi, yaitu bahaya terhadap: masyarakat dan individu, generasi muda, politik, ekonomi bangsa dan birokrasi. Terdapat hambatan dalam melakukan pemberantasan korupsi, antara lain berupa hambatan: struktural, kultural, instrumental, dan manajemen. 

Oleh karena itu, perlu dilakukan langkah-langkah untuk mengatasinya, antara lain: mendesain dan menata ulang pelayanan publik, memperkuat transparansi, pengawasan dan sanksi, meningkatkan pemberdayaan perangkat pendukung dalam pencegahan korupsi. Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 korupsi diklasifikasikan ke dalam: merugikan keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan dalam pengadaan, gratifikasi. Dalam rangka pemberantasan korupsi perlu dilakukan penegakan secara terintegrasi, adanya kerja sama internasional dan regulasi yang harmonis.

Kesimpulan

Meskipun pemberantasan korupsi menghadapi berbagai kendala, namun upaya pemberantasan korupsi harus terus-menerus dilakukan dengan melakukan berbagai perubahan dan perbaikan. Perbaikan dan perubahan tersebut antara lain terkait dengan lembaga yang menangani korupsi agar selalu kompak dan tidak sektoral, upaya-upaya pencegahan juga terus dilakukan, kualitas sumber daya manusia (SDM) perlu ditingkatkan, kesejahteraan para penegak hukum menjadi prioritas. 

Meskipun tidak menjamin korupsi menjadi berkurang, perlu dipikirkan untuk melakukan revisi secara komprehensif terhadap Undang- Undang tentang Pemberantasan Korupsi.

Daftar Pustaka

Artanti, N. P. (2021, Juni Selasa ). Meningkatkan Kesadaran Untuk Berperilaku Anti Koruptif Berlandaskan Sembilan Nilai Anti Korupsi. Retrieved from www.djkn.kemenkeu.go.id: https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-malang/baca-artikel/13948/Meningkatkan-Kesadaran-Untuk-Berperilaku-Anti-Koruptif-Berlandaskan-Sembilan-Nilai-Anti-Korupsi.html

Azizah, L. N. (2022, Juli). Apa itu Korupsi? Penyebab dan Dampaknya. Retrieved from www.gramedia.com: https://www.gramedia.com/literasi/apa-itu-korupsi/amp/

Doni. (2020, Desember). Sistem Pencegahan Kunci Utama Pemberantasan Korupsi. Retrieved from www.kominfo.go.id: https://www.kominfo.go.id/content/detail/31519/sistem-pencegahan-kunci-utama-pemberantasan-korupsi/0/berita

IMADAH THOYYIBAH, D. M. (2011). MAKNA KEJAHATAN STRUKTURAL KORUPSI DALAM PERSPEKTIF TEORI STRUKTURASI ANTHONY GIDDENS. Retrieved from etd.repository.ugm.ac.id: http://etd.repository.ugm.ac.id/home/detail_pencarian/52376

Kenali Dasar Hukum Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. (2022, Mei 10). Retrieved from aclc.kpk.go.id: https://aclc.kpk.go.id/aksi-informasi/Eksplorasi/20220510-kenali-dasar-hukum-pemberantasan-tindak-pidana-korupsi-di-indonesia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun