Mohon tunggu...
Kemarau Basah
Kemarau Basah Mohon Tunggu... -

http://kemaraubasah.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gelombang Sunyi Laut Andaman

4 April 2014   18:34 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:05 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gelombang Sunyi Laut Andaman
oleh: kemarau basah

Semuanya masih spekulasi. Meski telah diputuskan jatuh tercebur di Selatan Samudera Hindia, pesawat Boeing 777 yang hilang hingga kini belum bisa diketahui keberadaannya.

Para peneliti menggunakan teknologi satelit dan perhitungan matematis untuk menemukan remah-remah jejak pesawat yang tak tertangkap pantauan radar, sebuah cara baru yang belum pernah dipakai sebelumnya. Namun pertanyaan selalu kembali menghantui setiap kesimpulan.

"Perhitungan matematis mengolah data dan variabel. Ketepatan hasilnya tentu tergantung seberapa akurat data dan variabel tersebut. Misalkan hal sederhana, kita bisa menjatuhkan sebongkah batu ke dalam sebuah sumur gelap dan menunggu bunyi saat ia menghantam dasar sumur untuk memperkirakan kedalamannya. Kita harus mempunyai data kecepatan dan waktu dari batu itu secara tepat. Bukan asumsi. Apabila kita melakukannya sambil bergerak maka variabelnya akan bertambah. Bayangkan andai sumur itu juga bergerak. Atau bagaimana jika batu ternyata membentur dinding sumur dan berhenti di sebuah ceruk."

"Kau tak memercayai hasil kesimpulan itu?"

"Kau tahu aku bukan tipe orang yang tak memercayai teknologi. Tapi teknik baru itu, data dan variabelnya masih perlu diuji secara objektif. Ping. Efek Doppler. Inmarsat dan lainnya. Mereka boleh saja memercayai perhitungan para ahli dari Inggris, tetapi setidaknya perlu satu alat bukti lain. Satu yang nyata."

Semua mata mengalihkan pandangan dari layar televisi 24 inci di sisi atas ruangan. Percuma menyimak tayangan berita itu lebih lanjut sekarang. Sang pakar telah mulai membuka percakapan dan suara baritonnya memudarkan ucapan presenter perempuan di televisi. Mereka memilih menyesap gelas kopi mereka, mengunyah kue atau menghisap rokok. Lagi pula tidak banyak hal baru dari berita itu.

"Sebuah pesawat komersial lepas landas dari Kuala Lumpur menuju Beijing lalu hilang di tengah jalan dan berakhir tersembunyi di bawah Lautan Hindia, di dekat Kutub Selatan yang dingin. Bagaimana ceritanya?" Pak Umar menggeleng-gelengkan kepala, tersenyum lalu mencecap kopi panasnya.

"Mar, mereka pasti telah meneliti semua hipotesa. Aku yakin para peneliti itu bekerja berdasarkan ilmu pasti dan sekian banyak data," hanya tuan rumah yang mau menanggapi dengan lugas laki-laki flamboyan dengan rambut mulai diselingi uban. Usia mereka berdekatan dan keduanya bersahabat baik. "Kadang kita cenderung melawan sebuah kejadian yang sangat luar biasa dan enggan menerimanya."

Pagi buta, seorang pekerja rig lepas pantai Vietnam terheran menyaksikan sebuah benda kecil terbakar di atas langit. Sekitar lima belas detik kemudian nyala apinya padam. Benda itu terlihat di sebelah barat, jauh di ketinggian, tidak bergerak ke samping sehingga seakan ia mengapung di langit. Hari itu dia mengirimkan surel ke otoritas Vietnam serta atasannya di kantor pusat, segera setelah dia mendengar berita tentang pesawat hilang itu.

"Salah satu spekulasi mengatakan pesawat berputar balik karena terjadi kebakaran. Kejadiannya sangat cepat. Transponder dan komunikasi mati karena masalah tersebut. Tidak ada pembajakan, sabotase, bunuh diri, meteor ataupun alien. Pilot berusaha mendaratkan pesawat di landasan paling dekat dan paling aman dari tempat kejadian, sebuah bandara dengan landasan panjang di Pulau Langkawi persis di sebelah barat daya. Sangat sesuai dengan arah yang terlacak radar," Pak Umar menunjukkan garis di dalam gambar dan sebuah pulau di sisi barat laut Semenanjung Malaysia. Sahabatnya mengamati gambar pada halaman koran di atas meja itu, koran langganannya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun