"Mereka tidak melihat pesawat benar-benar jatuh. Pesawat itu terbang rendah, berasap dan menghilang dari pandangan. Ada sebuah pesawat jatuh tetapi belum jatuh. Memang seharusnya mereka tidak bisa menunjukkan tempat jatuhnya pesawat. Jika kesaksian mereka benar dan posisi pesawat itu di utara Selat Malaka, maka urutan spekulasi itu bersambung," wajah Pak Umar terlihat cerah. Dia seperti menemukan salah satu kunci jawaban dari teka-teki sebuah peta harta karun.
"Belakangan juga diberitakan jika pesawat terlacak berbelok sebelum hilang dari radar," tambah Pak Umar.
Pesawat yang gagal mendarat itu kini terbang rendah dan mengeluarkan asap. Tidak ada satu negara pun di sekitar yang menangkapnya di radar mereka.
"Kemungkinan pesawat itu terbang rendah ke Laut Andaman," kini ucapan Pak Umar terdengar lirih.
Pencarian puing-puing di sebelah barat Perth terus dilakukan melalui satelit, kapal laut dan pesawat udara. Sangat tidak mudah. Gelombang tinggi dan ganas. Lokasi tersebut jauh terpencil di tengah lautan luas dan dalam, di Selatan samudera Hindia.
Sore keesokan harinya, Pak Umar hadir lebih cepat di kedai kopi sahabatnya, langsung sepulang dari kantor. Seorang perwira tentara berpangkat kolonel sudah duduk menunggunya sambil menikmati secangkir kopi hangat. Mereka hanya sedikit berbasa-basi.
"Aku sudah mempelajari dokumen yang kau kirim, Pak Umar."
"Kolonel, aku sampai susah tidur semalam."
"Tapi kemana saja kau kirimkan?"
"Kenapa? Hanya ke seorang teman lama di Jakarta."
"Kau serius?"