Dalam beberapa dasawarsa terakhir, tema keuangan inklusif telah menjadi salah satu topik studi keuangan yang menarik. Secara sederhana, keuangan inklusif dapat dimaknai sebagai suatu sistem layanan keuangan yang pengelolaannya bersifat universal atau nonekslusif. Yang dimaksud dengan universal atau nonekslusif adalah bahwa sistem keuangan yang ada dapat diakses oleh seluruh kelompok masyarakat, bukan hanya kelompok masyarakat menengah atas, tetapi juga kelompok masyarakat miskin. Umumnya, keuangan inklusif mengambil bentuk pembiayaan mikro dalam bentuk kredit usaha yang ditujukan pada usaha skala kecil dan menengah, baik perorangan maupun institusi.
Kemunculan konsep keuangan inklusif pada dasarnya dipengaruhi oleh praktek layanan keuangan yang dirasa diskriminatif dengan tidak memberi akses yang memadai terhadap kelompok masyarakat miskin. Mereka ini diabaikan oleh sistem keuangan karena dianggap tidak bankable. Padahal justru secara sosial-ekonomi, masyarakat miskin adalah kelompok masyarakat yang sangat memerlukan akses keuangan untuk meningkatkan kualitas hidup.
Dengan bersifat diskriminatifnya sistem layanan keuangan, khususnya terhadap kelompok miskin, sistem layanan keuangan yang ada dianggap tidak mendukung terjadinya transformasi sosial dalam perekonomian.
Oleh karena itu, bergerak dari fenomena yang melatarinya, wacana keuangan inklusif sedikitnya memiliki dua tujuan, yaitu pertama, wacana keuangan inklusif bertujuan untuk mengoreksi paradigma lama di institusi keuangan, yang umumnya mengekslusi kalangan miskin atau nonbankable dari akses layanan keuangan. Yang kedua, dalam wacana keuangan inklusif terdapat suatu niatan untuk memasukkan kembali pihak yang selama ini terekslusi atau tersingkir dari institusi keuangan sebagai pihak yang pantas menikmati layanan keuangan (Wahid, 2014).
Yang menarik, fenomena pengekslusian kelompok miskin dari akses layanan keuangan tidak hanya terjadi di negara berkembang, tetapi juga di negara-negara yang ekonominya maju. Sebagaimana dituliskan oleh Klaper, et.al (2012) bahwa di negara-negara ekonomi maju sedikitnya ada satu dari lima orang dewasa yang masih belum teregistrasi di lembaga keuangan formal.
Atau dengan kata lain, orang itu belum memiliki akun bank. Konsekuensi dari hal ini adalah orang yang belum teregistrasi di lembaga keuangan formal itu belum dapat mengakses produk-produk keuangan yang ada, seperti tabungan, kredit, investasi, dan instrumen proteksi, yang sejatinya dibutuhkan untuk menaikkan taraf hidupnya.
Sedangkan di Indonesia, berbagai survey yang ada menunjukkan temuan yang negatif. Hasil survey Bank Dunia pada 2010 menunjukkan bahwa hanya 49 persen rumah tangga Indonesia yang memiliki akses terhadap lembaga keuangan formal. Pada 2011 Bank Dunia kembali mengadakan survey yang hasilnya memperihatkan bahwa hanya 20 persen orang dewasa di Indonesia yang memiliki rekening di lembaga keuangan resmi. Dibandingkan negara-negara ASEAN yang lain, Indonesia relatif tertinggal.
Dalam aspek “orang dewasa yang memiliki rekening di lembaga keuangan formal”, capaian Indonesia masih kalah dari Filipina (27 persen), Malaysia (66 persen), Thailand (73 persen) dan Singapura (98 persen). Studi lainnya yang dilakukan oleh Master Card pada 2013 menunjukkan hasil yang sama. Dari hasil studi terlihat bahwa index financial acces Indonesia pada 2013, yang sebesar 60 poin, masih kalah jika dibandingkan dengan Singapura (72 poin), Malaysia (70 poin), Thailand (68 poin) dan Vietnam (63 poin).
Hasil-hasil survey di atas mengindikasikan bahwa sistem layanan keuangan di Indonesia masih memiliki masalah yang serius dalam hal pengembangan akses dan pendalamannya. Seseorang akan mengalami banyak kerugian apabila tidak terkoneksi dengan sektor keuangan formal, yang salah satunya adalah tidak terhubungnya orang tersebut dengan sumber pembiayaan alternatif yang mungkin dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan tingkat kesejahteraannya. Oleh karena itu, dari sini disadari perlunya kebijakan politik ekonomi yang dapat meningkatkan aksesibilitas dan pendalaman sektor keuangan Indonesia.
Dalam konteks Indonesia, sekup sektor keuangan nasional yang belum aksesibel dan tidak mendalam pada dasarnya dapat dianalisis dari sisi penawaran (supply side) dan permintaan (demand side). Sebagaimana dijelaskan oleh Wahid (2014), dari sisi penawaran, kondisi penawaran di pasar keuangan sejatinya lebih kecil kuantitasnya dari yang dibutuhkan oleh pasar. Dalam kondisi yang demikian, kelompok miskin atau rakyat kecil akan senantiasa berada di posisi yang kalah. Implementasi prinsip kehati-hatian (prudentiality) yang terlalu kaku membuat kelompok miskin tidak menjadi pasar yang menjanjikan bagi penyedia layanan sektor keuangan.
Selain itu, dalam konteks produk, desain produk keuangan yang ditawarkan oleh penyedia jasa keuangan masih ditujukan untuk kalangan menengah atas. Hal ini tercermin dari tingginya komponen biaya administrasi bulanan, yang apabila jumlah tabungan berada di bawah level tertentu, nominal saldonya bukan malah bertambah tapi malah akan terus berkurang, hingga akhirnya akan ditutup oleh sistem. Untuk itu diperlukan pengembangan produk-produk keuangan yang desainnya proporsional terhadap kalangan miskin atau rakyat kecil.