Sejak diterapkannya pada tahun 2005, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung telah menjadi elemen penting dalam sistem demokrasi Indonesia. Pemilu kepala daerah langsung dirancang untuk memberikan rakyat hak penuh dalam memilih pemimpinnya, sehingga memperkuat partisipasi politik dan meningkatkan akuntabilitas pemerintah. Namun, setelah hampir dua dekade, wacana tentang efisiensi dan dampak Pilkada langsung kembali menjadi sorotan, terutama terkait dengan biaya tinggi, potensi politisasi, dan ketidakadilan yang mungkin timbul.
Salah satu wacana yang muncul kembali adalah pemilihan kepala daerah melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Meskipun sistem ini dianggap lebih efisien dalam hal biaya, banyak pihak yang khawatir bahwa kualitas demokrasi akan terganggu. Pemilihan melalui DPRD berpotensi mengurangi partisipasi langsung rakyat, yang dapat memperlemah mandat demokratis seorang kepala daerah. Dalam sistem ini, pemilihan kepala daerah lebih bergantung pada kesepakatan politik antarpartai dan elite lokal, yang meningkatkan risiko politisasi dan transaksi politik yang mungkin tidak mencerminkan kehendak rakyat. Hal ini, pada gilirannya, dapat merugikan prinsip dasar demokrasi, di mana pemimpin dipilih berdasarkan suara rakyat.
Pernyataan Prabowo Subianto pada HUT Partai Golkar ke-60 pada 12 Desember 2024 memberikan dimensi tambahan dalam diskursus ini. Dalam pidatonya, Prabowo menekankan pentingnya stabilitas dan efisiensi dalam pemerintahan. Meskipun tidak secara eksplisit mengomentari isu Pilkada, pandangannya mempertegas kebutuhan untuk menata sistem pemerintahan yang lebih efektif dan efisien. Dalam konteks ini, efisiensi biaya dalam pilkada melalui DPRD menjadi relevan, namun ada peringatan penting terkait potensi pengurangan kualitas demokrasi. Jika sistem pemerintahan hanya diukur dari sisi efisiensi administratif tanpa memperhatikan partisipasi rakyat, maka dapat mengarah pada pengurangan hak-hak politik rakyat.
Mengingat hal ini, wacana tentang pemilihan melalui DPRD menjadi semakin kompleks. Ada kebutuhan untuk menemukan keseimbangan yang tepat antara efisiensi biaya dan menjaga kualitas demokrasi, di mana partisipasi politik rakyat tetap menjadi inti dari sistem pemilihan kepala daerah. Diskursus ini seharusnya tidak hanya berkisar pada aspek efisiensi anggaran, tetapi juga pada bagaimana memastikan bahwa setiap keputusan kebijakan tetap memperkuat hak-hak demokratis masyarakat Indonesia.
Menguji Legitimasi Melalui Teori Demokrasi
Untuk lebih memahami kompleksitas isu ini, kita perlu merujuk pada teori demokrasi yang mendasari pemilihan kepala daerah. Robert Dahl, dalam bukunya Democracy and Its Critics (1989), menekankan bahwa demokrasi sejati tidak hanya melibatkan partisipasi politik, tetapi juga hubungan langsung antara pemerintah dan rakyat. Pilkada langsung memberikan rakyat hak untuk memilih pemimpinnya, meningkatkan legitimasi politik, dan memperkuat hubungan antara pemimpin dan masyarakat. Sebaliknya, pemilihan melalui DPRD cenderung mengurangi rasa keterlibatan langsung rakyat, yang dapat mengurangi legitimasi pemerintahan.
Max Weber (1922) juga menyatakan bahwa legitimasi politik bergantung pada cara pemimpin terpilih. Pemilihan langsung memungkinkan masyarakat memilih pemimpin yang benar-benar mereka inginkan, sementara pemilihan melalui DPRD bisa menimbulkan perasaan bahwa pemimpin terpilih lebih didasarkan pada kesepakatan politik elite daripada kehendak masyarakat. Ini bisa mengurangi kepercayaan rakyat terhadap pemerintahannya.
Efisiensi Biaya vs Kualitas Demokrasi
Salah satu alasan yang sering dikemukakan untuk mendukung pemilihan kepala daerah melalui DPRD adalah efisiensi biaya. Memang, pemilihan langsung memerlukan biaya yang signifikan, baik untuk kampanye politik, logistik, maupun administrasi pemilu. Namun, dalam menilai biaya ini, perlu diingat bahwa bukan hanya pengeluaran yang harus diperhitungkan, tetapi juga kualitas demokrasi yang dihasilkan dari proses tersebut.
Mancur Olson (1965) berpendapat bahwa meskipun biaya politik tinggi, investasi ini dapat menghasilkan pemerintahan yang lebih transparan dan akuntabel. Penelitian oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI, 2022) menunjukkan bahwa mayoritas rakyat Indonesia masih merasa bahwa pilkada langsung memberikan mereka kesempatan untuk memilih pemimpin yang lebih sesuai dengan kebutuhan dan harapan mereka. Hal ini menegaskan bahwa meskipun biaya yang ditanggung tinggi, pilkada langsung menawarkan nilai lebih dalam hal partisipasi masyarakat yang langsung dan legitimasi politik yang lebih kuat, yang sulit digantikan hanya dengan efisiensi biaya.