Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Photographer, Media Freelancer

Best in Opinion Nominee of Kompasiana Awards 2021 dan 2024 | Peduli menyoal isu-isu terkini terutama sosial-budaya dan gender | Verba Volant Scripta Manent | Kerja sama: kazena.krista@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Stigma Jelek dan Narasi Kebencian terhadap Juru Parkir

26 Januari 2025   12:56 Diperbarui: 26 Januari 2025   20:35 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi parkir liar di salah sudut kota besar. (Source Kompas.id)

Juru parkir selalu menjadi musuh—bahkan sebagian besar sudah menganggap mereka sebagai hama di masyarakat.

Setidaknya itu yang bisa diketahui di hampir semua pemberitaan media; juru parkir memang lebih banyak panen komentar buruk hingga cacian dibandingkan pembelaan dari mereka yang masih sudi mengatakan "dua ribu nggak langsung buat kamu jatuh miskin kok".

—

Ragam cerita menyoal perparkiran ini—meskipun saya sudah bisa menebak bahwa adalah sesuatu yang langka untuk saya menemukan sudut pandang yang berbeda, yang jauh lebih menyentuh akar masalah dari orang-orang yang sudah terlanjur memberikan komentar negatif—selalu saja membuat saya tertarik;

termasuk sejak saya menyadari ada kolom perparkiran saat registrasi awal beberapa dokumen finansial keuangan seperti pembukaan rekening tabungan atau reksadana (baca: ada kaitannya dengan sumber dana)—dan lain sebagainya.

Namun pekerjaan ini belakangan menjadi sesuatu yang mengundang polemik setelah menjamurnya banyak kantong-kantong parkir di hampir setiap sudut tempat—bahkan sudut jalan, terutama di kota-kota besar. 

Baca juga: Shako-shomei: Perlu Meniru Jepang Tanpa Parkir Mobil Sembarang

Lokasi yang tadinya dikira tidak memiliki jasa parkir (baca: sehingga kita dengan antengnya memarkirkan kendaraan pribadi kita untuk satu keperluan), alamat bisa saja "ditagih" sewa parkir jika kita tidak memperhatikan sebelumnya.

Parahnya sering pula terjadi "pungutan" parkir di lokasi yang jelas-jelas bertuliskan "dilarang parkir"  di jalan raya atau "parkir gratis" di tempat-tempat umum semacam minimarket;

Nah, bisa jadi itu parkir liar yang tentu saja  tidak memiliki izin dari otoritas yang berwenang/berkepentingan.

Parkir liar memang meresahkan, selain karena tidak memiliki kontribusi baik secara langsung atau tidak ke kas negara—melainkan ke kantong-kantong pribadi beberapa orang yang "bersekongkol" dalam pengelolaannya—tetapi juga cenderung membuat hati dongkol saat kita diminta membayar karena acapkali tidak disertai dengan pelayanan yang baik layaknya juru parkir profesional yang seharusnya yang mengarahkan, mengatur serta menjaga kendaraan untuk sementara.

Rusak Susu Sebelanga.

Tulisan ini tentu saja tidak dapat menghilangkan stigma terhadap juru parkir di benak setiap orang yang kadung jelek.

Namun ada fakta-fakta di lapangan yang rasanya tidak perlu saya tutup-tutupi bahwa tidak semua—juru—parkir itu liar, sebagian dari mereka justru benar-benar bekerja profesional dan penuh tanggung jawab—serta mungkin juga untuk digaris bawahi tidak untuk hidup bergelimang harta.

Mereka yang saya kenal tidak seperti hantu saat seseorang hendak memarkirkan kendaraannya lalu "prit" kemudian meminta uang parkirnya saat yang bersangkutan hendak pergi.

Para juru parkir konvensional ini justru mengarahkan kendaraan agar tidak bersenggolan dengan kendaraan lain lalu mempersilahkannya parkir—dan berusaha pula menjaga kendaraan yang "dititipkan" padanya agar tidak hilang.

Mereka memiliki surat tugas dari otoritas yang berwenang dan tentu saja mereka menyetor kontribusi yang legal dengan nominal setoran ke kas negara (baca: yang nantinya dikelola oleh Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda); yang karcis parkirnya pun bertuliskan Pemda setempat di bawah regulasi Dinas Perhubungan(Dishub));

tidak peduli kondisi "lapak" parkirnya sedang sepi atau tidak peduli hari libur atau tanggal merah, mereka harus terlebih dulu menyisihkan uang yang didapatnya untuk diberikan pada negara!

Tapi, nama baik profesi juru parkir konvensional resmi ini dirusak oleh "oknum" parkir liar hingga oleh karena mereka terbangunlah narasi-narasi jelek yang begitu tidak enak didengar—

bahkan parahnya oleh ulah oknum-oknum ini, profesi juru parkir pun SUDAH dilabeli profesi paling hina di muka bumi dan siapapun yang melakoninya dianggap pantas dibenci karena dianggap malas bekerja atau bekerja mau enaknya saja.

Boro-boro sudi diamini jadi orang kaya, juru parkir punya motor agak bagus saja dicurigai dan langsung dihitung-hitung berapa yang diperoleh sehari. Sungguh jahat.

Padahal bisa saja motor itu uang mukanya hasil menabung bertahun-tahun yang juga motornya akan dikredit tak cukup setahun; yang dibeli agar memiliki harta bergerak; yang tidak hanya digunakan sebagai kendaraan sehari-hari pergi-pulang ke lokasi parkir tempatnya mengais rezeki tetapi juga mungkin akan digunakan pula mencari penghasilan tambahan setelahnya.

Baca juga: Makan Bergizi Gratis: Gizi Seorang Anak Terletak pada Orangtua, Edukasinya Tugas Negara

Diberi pelayanan tapi bukan berarti seenaknya.

Kebanyakan orang tidak tahu:

hanya karena merasa sudah membayar sewa parkir bukan berarti bisa seenaknya.

Saya berkata demikian karena saya memiliki kerabat dan beberapa temannya yang berprofesi sebagai juru parkir konvensional.

Gamblang kerabat bercerita, sering sekali orang-orang yang parkir justru menyerahkan kunci seenaknya dan menyuruh agar motornya digiring ke sisi ruas jalan untuk dinaiki meski kondisi parkir tidak ramai;

atau ada pula mereka yang membayar retribusi parkir tersebut telapak tangannya takut sekali tersentuh karena mungkin adalah si kaya (baca: apalagi mereka yang berkendara dengan kendaraan mahal bertenaga kuda);

hingga ada yang sengaja membayar uang dengan nominal besar agar tidak diminta jasa parkirnya karena ia tidak memiliki kembalian.

Saya kesal mendengarnya?
Tentu saja. Tapi, saat saya menyadari sebagian besar masyarakat Indonesia memang memiliki tabiat yang ajaib, ya, mau diapakan lagi?

Tapi, gaya sultan begini rasanya tidak berlaku jika parkir di mal atau plaza: masuk cari parkir sendiri, keluar parkir pun keluar sendiri. Toh bisa mandiri.
Tarifnya juga berlaku progresif alias lama sedikit alamat bayarannya juga bertambah; 

jika ada kehilangan dan kehilangannya tidak masuk kategori fatal, mungkin agak gengsi lapor ke pengelola gedung—belum lagi lama di waktu mengurusnya. 

Karcis parkir konvensional yang bertuliskan kehilangan bukan menjadi tanggung jawab juru parkir. (Foto oleh Kazena Krista; Source Dokumentasi Pribadi)
Karcis parkir konvensional yang bertuliskan kehilangan bukan menjadi tanggung jawab juru parkir. (Foto oleh Kazena Krista; Source Dokumentasi Pribadi)
Sementara di parkir konvensional resmi kerabat saya, ia mau tidak mau pernah beberapa kali HARUS mengganti rugi jika ada helm yang sialnya dicuri karena tersilap mengawasi (baca: jika kondisi parkir sedang ramai).

Padahal di karcis parkir yang dikeluarkan oleh pemerintah kota tercantum bahwa segala bentuk kehilangan menjadi tanggung jawab pemilik kendaraan.

Debu makanan sehari-hari, terik matahari dan hujan yang datang mengguyur sesekali tidak dianggap sesuatu yang luar biasa.

Jengkel boleh tapi jangan sampai nirempati.

Para juru parkir konvensional resmi ini untuk perlu diketahui juga seringkali berhadapan dengan para preman di lapangan yang terkadang tidak cukup satu preman yang minta "jatah"; kadang dua atau tiga orang dalam sehari.

Jangan ditanya mengenai keamanan atau perlindungan?!

Pekerja lapangan seperti juru parkir seperti kerabat atau temannya sudah barang tentu tidak memiliki fasilitas seperti pejabat yang dikawal saban waktu—hanya saja mereka sudah terbiasa.

Kenapa saya tahu?
Sekali lagi ini kisah nyata.

Masalah-masalah yang mendasar.

Lagi-lagi kita tidak perlu menutup mata bahwa karut-marut ini muncul akibat betapa jeleknya pengoperasian transportasi publik di Indonesia terutama di kota-kota besar yang membuat mobilitas masyarakat Indonesia mau tidak mau bergantung pada kendaraan pribadi.

Karena suatu negara maju bukan semata-mata diukur dengan banyaknya gedung-gedung pencakar langit melainkan pula majunya sistem transportasi publiknya;

belum lagi faktor rasa aman yang  yang pada akhirnya berdampak pada menjamurnya kantong-kantong parkir ini (termasuk parkir liar);

dan tentu saja kemiskinan struktural!

Menyoal yang satu ini tentu saja sangat kompleks dan sangat luas cakupannya jika dijabarkan satu persatu. Namun, main point-nya tetap berpusat pada kebijakan yang diambil pemerintah untuk seluas-luasnya kebermanfaatan masyarakat—serta implementasinya di lapangan.

Pesan untuk kita, jika tidak ingin merusak cashflow bulanan karena overbudget dikarenakan membayar parkir berlebihan, disarankan tidak perlu parkir sering-sering jika takut mengira itu parkir liar; mulailah rajin jalan kaki jika memang jarak yang ingin didatangi tidak jauh alias dekat;

jika tidak mau melakukannya maka sebaiknya jangan menggerutu. 

—

Pada akhirnya, membenci satu tindakan jelek dari satu profesi sah-sah saja tapi jangan sampai membuat kita mengaburkan kenyataan bahwa terkadang ada saja mereka yang tak pantas masuk di dalamnya. 

Juru parkir konvensional resmi yang saya kenal adalah mereka yang tidak memberi banyak untuk mengambil lebih banyak apalagi hanya sekadar ingin dianggap "hebat" oleh sanak.

Tabik.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun