atau ada pula mereka yang membayar retribusi parkir tersebut telapak tangannya takut sekali tersentuh karena mungkin adalah si kaya (baca: apalagi mereka yang berkendara dengan kendaraan mahal bertenaga kuda);
hingga ada yang sengaja membayar uang dengan nominal besar agar tidak diminta jasa parkirnya karena ia tidak memiliki kembalian.
Saya kesal mendengarnya?
Tentu saja. Tapi, saat saya menyadari sebagian besar masyarakat Indonesia memang memiliki tabiat yang ajaib, ya, mau diapakan lagi?
Tapi, gaya sultan begini rasanya tidak berlaku jika parkir di mal atau plaza: masuk cari parkir sendiri, keluar parkir pun keluar sendiri. Toh bisa mandiri.
Tarifnya juga berlaku progresif alias lama sedikit alamat bayarannya juga bertambah;Â
jika ada kehilangan dan kehilangannya tidak masuk kategori fatal, mungkin agak gengsi lapor ke pengelola gedung—belum lagi lama di waktu mengurusnya.Â
Sementara di parkir konvensional resmi kerabat saya, ia mau tidak mau pernah beberapa kali HARUS mengganti rugi jika ada helm yang sialnya dicuri karena tersilap mengawasi (baca: jika kondisi parkir sedang ramai).
Padahal di karcis parkir yang dikeluarkan oleh pemerintah kota tercantum bahwa segala bentuk kehilangan menjadi tanggung jawab pemilik kendaraan.
Debu makanan sehari-hari, terik matahari dan hujan yang datang mengguyur sesekali tidak dianggap sesuatu yang luar biasa.
Jengkel boleh tapi jangan sampai nirempati.
Para juru parkir konvensional resmi ini untuk perlu diketahui juga seringkali berhadapan dengan para preman di lapangan yang terkadang tidak cukup satu preman yang minta "jatah";Â kadang dua atau tiga orang dalam sehari.
Jangan ditanya mengenai keamanan atau perlindungan?!
Pekerja lapangan seperti juru parkir seperti kerabat atau temannya sudah barang tentu tidak memiliki fasilitas seperti pejabat yang dikawal saban waktu—hanya saja mereka sudah terbiasa.
Kenapa saya tahu?
Sekali lagi ini kisah nyata.