Orang tua jadi terlibat lebih aktif pemenuhan asupan nutrisi yang baik terhadap anak. Karena kegiatan ini tidak menekankan makan hanya sekadar "kenyang";Â
orang tua di-"didik" untuk memikirkan makanan seperti apa yang akan dibawa anaknya—apakah karbo (baca: tidak hanya terpaku pada nasi), protein, serat, dan lain-lain sudah ada dalam bekal tersebut meski tidak selalu dengan bahan-bahan pangan yang mahal.Â
Hal serupa dituturkan oleh pakar gizi dr. Jovita Amelia, Sp.GKÂ (seperti yang saya kutip melalui Kompas.com).Â
Ia menegaskan betapa pentingnya komposisi gizi lengkap bagi tumbuh kembang anak. Ketika dibawakan bekal untuk makan siang, misalnya, sebaiknya isi kotak makan sang buah hati tidak hanya terdiri dari karbohidrat.Â
#2 terbangunnya boundingÂ
antara orang tua dan anak-anak juga bisa terbangun keterikatan secara emosional (bounding) pelan-pelan dari gerakan ini.Â
Para orang tua bisa bertanya bagaimana suasana kegiatan makan di hari tersebut, bekal siapa yang paling cantik tampilannya (yang bisa jadi semakin memotivasi orang tua untuk semakin berkreasi tanpa meninggalkan nilai sehatnya)—
atau orang tua bisa mengajak anak mengolah bahan makanan yang nantinya akan diolah menjadi bekal untuk dibawanya keesokan hari.
***
Bagi pihak sekolah, kegiatan ini akan menjadi contoh nyata bagaimana sekolah tidak hanya sebagai tempat menempuh pendidikan; bukan hanya sarana belajar-mengajar, namun juga edukasi yang menyenangkan antara siswa dan guru.Â
Boleh jadi seorang guru disegani saat ia mengajar, tapi kegiatan ini bisa membuat guru tidak berjarak dengan para siswanya: guru bisa ikut makan bersama dan duduk di antara mereka.Â
Satu sekolah satu ahli nutrisi
Akan menjadi sesuatu yang wajib bagi sekolah menghadirkan seorang ahli nutrisi atau ahli gizi.Â