Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Photographer, Media Freelancer

Best in Opinion Nominee of Kompasiana Awards 2021 dan 2024 | Peduli menyoal isu-isu terkini terutama sosial-budaya dan gender | Verba Volant Scripta Manent |

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Gerakan Bawa Bekal: Kurangi Jajan dengan Pendidikan Makanan

25 Agustus 2024   12:41 Diperbarui: 26 Agustus 2024   14:55 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dua anak sekolah yang membawa bekal ke sekolah. (Sumber Shutterstock via Kompas.com)

Dibentuknya Badan Gizi Nasional oleh Pemerintah bukan tanpa alasan. 

Melalui rangkaian program yang—kelak—disusun dan bekerja sama dengan pihak-pihak terkait, badan ini diharapkan dapat mengatasi masalah-masalah gizi yang terjadi di masyarakat, tentu saja termasuk target utamanya gizi terhadap ibu hamil dan menyusui serta gizi pada anak-anak di Indonesia. 

Prioritas gizi pada anak-anak (baca: pemenuhan gizi yang baik dan seimbang) tentu menjadi sangat penting karena pemenuhan asupan yang bernutrisi dari makanan dan minuman yang dikonsumsi akan berbanding lurus dengan tumbuh kembang dan kecerdasan—bahkan akan dapat menentukan arah kemajuan suatu negara. 

Bagi para orang tua sendiri, di pesatnya zaman dewasa ini mendapatkan berbagai macam edukasi parenting dapat dikatakan mudah. 

Baca juga:

Tren Dumb Phone Menggugat Realitas

Informasi dari internet atau platform media gratisan (selama sumbernya bisa dipercaya) bisa menjadi rujukan penerapan gizi oleh orang tua—apalagi jika memang langsung dikonsultasikan dengan ahlinya. 

Jika gizi anak usia 0-5 tahun menjadi sesuatu yang VITAL maka izinkan pula saya mengatakan jika gizi anak usia 6-12 tahun tak kalah ESENSIAL.

Sekolah adalah rumah kedua

Seperti diketahui, Jepang adalah salah satu negara dengan harapan usia hidup yang termasuk paling tinggi di dunia; dan negara ini tentu saja memulainya dengan menerapkan pola makan sehat bahkan sejak mereka berusia dini.

Tak hanya diterapkan di setiap rumah-rumah, "prinsip" hidup ini juga dilakukan oleh hampir kebanyakan sekolah-sekolah di Jepang. 

Sekolah sebagai rumah kedua bagi anak-anak (yang dapat menjadi "wadah" dimulainya beragam kebiasaan baik yang bisa dilakukan secara kolektif) menjadi cara yang efektif bagaimana negara Jepang menerapkan pola makan sehat dengan pendidikan makanan.

Di Jepang sendiri, kegiatan makan menjadi sesuatu yang sangat diperhatikan oleh pihak sekolah—bahkan menjadi bagian wajib dalam siklus harian setiap siswa, terutama anak dengan jenjang pendidikan usia dini hingga sekolah dasar.

Ilustrasi bekal makanan (bento) anak-anak sekolah di Jepang yang memiliki tampilan cantik. (Sumber: Kompas.com) 
Ilustrasi bekal makanan (bento) anak-anak sekolah di Jepang yang memiliki tampilan cantik. (Sumber: Kompas.com) 

Bukan sesuatu yang aneh melihat bekal makanan anak-anak sekolah di Jepang yang menarik lagi menggugah selera saat jam makan mereka tiba (orang Jepang menyebut bekal makanan dengan bento).

Indonesia BUKAN Jepang tentu saja—(anak-anak di Jepang bahkan sudah diajarkan bagaimana "membaca" label kemasan pada makanan dan minuman yang dijual di pasaran); Indonesia memiliki ragam tantangannya sendiri. Meskipun demikian bukan berarti tidak bisa "menyerupai". 

Satu masalah menyoal gizi yang menjadi sasaran pemerintah Indonesia (baca: untuk diselesaikan) bisa dilakukan dari sini yakni membiasakan anak-anak ke sekolah membawa bekalnya sendiri.

Gerakan membawa bekal

Di awal penerapannya, gerakan bawa bekal ini mungkin terasa merepotkan, apalagi jika itu dilakukan oleh para orang tua pekerja. 

Namun, jika menempatkan anak sebagai bagian dari skala prioritas, itu akan dapat diatasi—tinggal bagaimana menyiasatinya. 

Baca juga:

Dari Daycare, Orang Tua Pekerja dan Masalah Sistemik di Dalamnya

Gerakan bawa bekal ke sekolah khususnya untuk anak dengan pendidikan usia dini dan sekolah dasar bisa menjadi sesuatu yang baik jika dilakukan dengan serius karena kebiasaan ini akan meminimalisir anak-anak jajan di luar atau mengonsumsi makanan atau minuman yang kurang sehat;

ia (baca: membawa bekal) bermanfaat untuk menerapkan pola makan sehat demi mencegah segala jenis malnutrisi dan penyakit tidak menular seperti diabetes, penyakit jantung, stroke, bahkan kanker.

Bukan berarti dilarang sama sekali, tapi anak-anak jadi tahu bahwa tidak semua jajajan yang dijual baik untuk dicerna oleh tubuh. 

Pemahaman ini penting dibangun mengingat jajanan-jajajan tersebut bisa jadi mengandung bahan-bahan yang tidak diketahui nilai gizinya—belum lagi tinggi gula, garam, lemak tidak sehat dan lain sebagainya. 

Baca juga:‌

Cegah Stunting: Praktikkan Diet Gula pada Anak Balita

Menyasar orang tua dan pihak sekolah

Pendidikan makanan melalui gerakan bawa bekal ini juga membuat para orang tua dan pihak sekolah aktif bersinergi. 

Bagi orang tua sendiri selain bisa menekan kebiasaan anak jajan yang kurang sehat di sekolah, ada beberapa manfaat baik lain dari gerakan bawa bekal ini:

#1 Orang tua jadi semakin teredukasi

Orang tua jadi terlibat lebih aktif pemenuhan asupan nutrisi yang baik terhadap anak. Karena kegiatan ini tidak menekankan makan hanya sekadar "kenyang"; 

orang tua di-"didik" untuk memikirkan makanan seperti apa yang akan dibawa anaknya—apakah karbo (baca: tidak hanya terpaku pada nasi), protein, serat, dan lain-lain sudah ada dalam bekal tersebut meski tidak selalu dengan bahan-bahan pangan yang mahal. 

Hal serupa dituturkan oleh pakar gizi dr. Jovita Amelia, Sp.GK (seperti yang saya kutip melalui Kompas.com). 

Ia menegaskan betapa pentingnya komposisi gizi lengkap bagi tumbuh kembang anak. Ketika dibawakan bekal untuk makan siang, misalnya, sebaiknya isi kotak makan sang buah hati tidak hanya terdiri dari karbohidrat. 

#2 terbangunnya bounding 

antara orang tua dan anak-anak juga bisa terbangun keterikatan secara emosional (bounding) pelan-pelan dari gerakan ini. 

Para orang tua bisa bertanya bagaimana suasana kegiatan makan di hari tersebut, bekal siapa yang paling cantik tampilannya (yang bisa jadi semakin memotivasi orang tua untuk semakin berkreasi tanpa meninggalkan nilai sehatnya)—

atau orang tua bisa mengajak anak mengolah bahan makanan yang nantinya akan diolah menjadi bekal untuk dibawanya keesokan hari.

***

Bagi pihak sekolah, kegiatan ini akan menjadi contoh nyata bagaimana sekolah tidak hanya sebagai tempat menempuh pendidikan; bukan hanya sarana belajar-mengajar, namun juga edukasi yang menyenangkan antara siswa dan guru. 

Boleh jadi seorang guru disegani saat ia mengajar, tapi kegiatan ini bisa membuat guru tidak berjarak dengan para siswanya: guru bisa ikut makan bersama dan duduk di antara mereka. 

Satu sekolah satu ahli nutrisi

Akan menjadi sesuatu yang wajib bagi sekolah menghadirkan seorang ahli nutrisi atau ahli gizi. 

Mengapa? 

Karena kebutuhan nutrisi masing-masing anak berbeda dan ahli nutrisi atau ahli gizi yang lebih tahu akan hal itu. 

Ahli nutrisi atau ahli gizi pula yang akan menjadi rujukan para orang tua untuk memilih bahan-bahan makanan apa yang cocok untuk diolah (beserta cara pengolahannya) demi santapan anak-anak mereka.

Ahli nutrisi atau ahli gizi juga yang dapat menjadi subyek nyata yang mewakili pihak sekolah memantau bekal makanan yang dibawa para siswa—atau dengan cara duduk makan bersama saat jam makan tiba. 

Jika ada yang perlu "dibenahi" maka ahli nutrisi atau ahli gizi inilah yang akan memberikan catatan khusus bagi orang tua dari anak yang bersangkutan. 

Pemilihan waktu makan sendiri, berpulang pada kebijakan masing-masing sekolah.

***

Pada prosesnya, memang dikembalikan pada orang tua; pihak sekolah hanya sebagai jembatan pemerintah. 

Badan Gizi Nasional mungkin memang perlu tapi edukasi langsung di lapangan setiap hari dari ahlinya tetap yang nomor satu! 

Tabik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun