Siapa pelakunya?Â
Laki-laki!Â
#4 Trauma
Trauma—ini boleh jadi pemicu. Orangtua (atau pengasuh?) dengan pola pengasuhan yang salah bisa menjadi bibit perilaku KDRT di kemudian hari.Â
Saya selalu menggarisbawahi bahwa menjadi orangtua yang bertanggung jawab itu tidak mudah.
Sekali lagi tidak mudah!
Membesarkan anak tidak hanya memastikan apa yang masuk ke mulut anak, melainkan pula mendidiknya.
Proses mendidik ini yang menjadi tantangan, yang bahkan saya sendiri tidak berani mengambil konklusi (simpulan) bagaimana formula yang tepat karena tiap anak berbeda dan memiliki keunikannya masing-masing; mendidik seorang anak ada "seni"-nya tersendiri.Â
Baca juga:Â Sal Priadi dan Gala Bunga Matahari: Sebuah Seni Merayakan Kehilangan
"Seni" mendidik ini pada prosesnya dipengaruhi banyak faktor seperti nada suara orangtua, pemilihan kata-kata oleh orangtua, kebiasaan dan rutinitas sehari-hari, batasan-batasan (boundaries) yang diterapkan, lingkungan pertemanan si anak dan lain sebagainya;Â
dari proses perjalanan mendidik ini bisa saja menimbulkan trauma jika tidak hati-hati.Â
Memutus rantai KDRT pada perempuan, mungkinkah?Â
Lantas, pertanyaannya, apakah rantai KDRT terhadap perempuan bisa diputus?Â
Jika tidak bisa mengubah keadaan yang "sekarang" bukan berarti tidak bisa melakukannya untuk masa yang akan datang; KDRT bisa dicegah dengan mengedukasi anak (terutama anak laki-laki)—sedini mungkin!Â