Meski ada penurunan kasus sebanyak 55.920 kasus (tidak melebihi 15%; hanya turun sebanyak 12%) dibandingkan tahun 2022;Â
tapi yang perlu yang digarisbawahi data yang tercatat itu hanya yang sudah dilaporkan.Â
Ibarat gunung es, yang tidak diketahui mungkin lebih banyak lagi.Â
Tidak mudah bagi korban KDRT berani bicara—alih-alih melaporkan kekerasan yang dialaminya (meminta bantuan), seperti halnya yang terjadi pada Intan.
Banyak hal mengapa para korban memilih untuk bertahan meski ia tahu bahwa rumah tangga yang dijalaninya sudah tidak sehat (terjadi KDRT di dalamnya).
Kita tahu, penyebab korban KDRT enggan lapor di antaranya seperti faktor ekonomi (hanya suami yang bekerja), demi anak (seperti yang terjadi pada Intan), malu terhadap lingkungan sekitar dan keluarga (dengan alasan takut membongkar aib rumah tangga), merasa pelaku akan berubah, kekerasan masih dianggap normal/belum parah, mendapat ancaman dan lain sebagainya;
atau di level menakutkan bagi perempuan: berstatus JANDA!
Baca juga: Dari Daycare, Orang Tua Pekerja, dan Masalah Sistemik di DalamnyaÂ
Tapi, pada akhirnya saya mengapresiasi Intan memilih untuk tidak bungkam—Intan berani bersuara; sekarang ia dan beserta ketiga anaknya telah mendapat perlindungan dan pendampingan untuk memulihkan trauma.Â
Hukum "sebab-akibat"
Tidak ada asap kalau tidak ada api.
Sesederhana itu pengandaiannya. Pelaku KDRT juga tidak ujug-ujug melakukan kekerasan tanpa ada latar belakang "masalah" sebelumnya. Sejujurnya, saya tidak mau terlalu melebar menyoal bahasan ini karena menyangkut ranah psikologi.Â
Namun, karena ini berbanding lurus dengan concern yang saya padanya menaruh perhatian maka saya berikan secara singkat beberapa di antaranya:
#1 Misogini