Dulu syarat menikah bagi perempuan sangat sederhana, sepertinya tidak jauh-jauh dari ganteng dan kaya (minimal PNS lah).
Tapi, sekarang para perempuan pemikirannya sudah bergerak maju, syarat menikah tidak lagi dua hal itu, ditambahkan pula kriteria pada calon pasangannya agar tidak melakukan KDRT, tidak selingkuh, tidak doyan judi online, mau bantu beberes rumah, mau bantu urus anak, bisa kerja sampingan, tidak candu rokok, dan lain sebagainya.
Menyoal KDRT sendiri, kasusnya terjadi lagi.
***
Baca juga: Kekerasan Seksual dan Bagaimana Darvo Memainkan Peran
Adalah Cut Intan Nabila, seorang selebgram yang mengalami KDRT berupa pemukulan oleh suaminya, Armor Toreador (AT).
KDRT yang dialami perempuan yang juga seorang mantan atlet anggar tersebut juga menimpa anak ketiga mereka yang belum genap berusia sebulan.
Bukti otentik Circuit Closed Television (CCTV) memperlihatkan dengan jelas bahwa sang bayi tertendang oleh suaminya saat melakukan kekerasan terhadap Intan.
Kekerasan yang terjadi terhadap Intan—menurut keterangan polisi saat konferensi pers—bermula dan dipicu karena Intan memergoki AT menonton video porno.
Mirisnya, selama lima tahun pernikahan, Intan tak hanya sekali mengalami kekerasan (fisik dan verbal), tetapi ia juga diselingkuhi berkali-kali oleh suaminya tersebut—bahkan selingkuhan suaminya justru ada yang menjadi temannya.
Memilih Speak Up
Dilansir dari website Komnas Perempuan melalui Catatan Tahunan 2023 tertanggal 7 Maret 2024 yang lalu, data menunjukkan sepanjang tahun 2023 telah terjadi sebanyak 401.975 kasus kekerasan terhadap perempuan.
Data ini didapat dari kompilasi data Komnas Perempuan dan beberapa instansi atau lembaga terkait seperti Badan Peradilan Agama (Badilag), rumah sakit, pengadilan, catatan kepolisian dan lain sebagainya.
Meski ada penurunan kasus sebanyak 55.920 kasus (tidak melebihi 15%; hanya turun sebanyak 12%) dibandingkan tahun 2022;
tapi yang perlu yang digarisbawahi data yang tercatat itu hanya yang sudah dilaporkan.
Ibarat gunung es, yang tidak diketahui mungkin lebih banyak lagi.
Tidak mudah bagi korban KDRT berani bicara—alih-alih melaporkan kekerasan yang dialaminya (meminta bantuan), seperti halnya yang terjadi pada Intan.
Banyak hal mengapa para korban memilih untuk bertahan meski ia tahu bahwa rumah tangga yang dijalaninya sudah tidak sehat (terjadi KDRT di dalamnya).
Kita tahu, penyebab korban KDRT enggan lapor di antaranya seperti faktor ekonomi (hanya suami yang bekerja), demi anak (seperti yang terjadi pada Intan), malu terhadap lingkungan sekitar dan keluarga (dengan alasan takut membongkar aib rumah tangga), merasa pelaku akan berubah, kekerasan masih dianggap normal/belum parah, mendapat ancaman dan lain sebagainya;
atau di level menakutkan bagi perempuan: berstatus JANDA!
Baca juga: Dari Daycare, Orang Tua Pekerja, dan Masalah Sistemik di Dalamnya
Tapi, pada akhirnya saya mengapresiasi Intan memilih untuk tidak bungkam—Intan berani bersuara; sekarang ia dan beserta ketiga anaknya telah mendapat perlindungan dan pendampingan untuk memulihkan trauma.
Hukum "sebab-akibat"
Tidak ada asap kalau tidak ada api.
Sesederhana itu pengandaiannya. Pelaku KDRT juga tidak ujug-ujug melakukan kekerasan tanpa ada latar belakang "masalah" sebelumnya. Sejujurnya, saya tidak mau terlalu melebar menyoal bahasan ini karena menyangkut ranah psikologi.
Namun, karena ini berbanding lurus dengan concern yang saya padanya menaruh perhatian maka saya berikan secara singkat beberapa di antaranya:
#1 Misogini
Pelaku KDRT mungkin termasuk seorang yang misogini atau terlalu membenci perempuan sebagai subyek. Diskriminasi terhadap gender perempuan ini menganggap bahwa perempuan memang pantas-pantas saja ditindas, disudutkan bahkan dieksploitasi.
Mirisnya, perilaku (mindset) ini tak hanya dilakukan oleh laki-laki yang mendominasi sebagai pelaku KDRT, perempuan pun terkadang tak sadar menjadi pelaku.
#2 Patriarki
Induk dari kekerasan yang terjadi terhadap perempuan adalah patriarki.
Kita tidak perlu menyangkal bahwa kultur budaya dan tradisi menjadi akar mengapa patriarki terjadi—bahkan literatur agama pun mempertegasnya (jika tidak benar-benar dipahami dengan baik).
Dalam budaya patriarki laki-laki HARUS lebih tinggi dan perempuan tidak boleh melampaui.
Ini lah mengapa perempuan tidak lebih mendominasi di ruang-ruang publik; perempuan dinilai hanya pantas melakoni kerja-kerja "domestik".
#3 "Maskulinitas" yang toksik
Laki-laki tidak boleh terlihat lemah, tidak boleh cengeng, tidak boleh selalu bergantung, harus jadi pemimpin dan role model dan lain sebagainya.
Beberapa yang disebutkan di atas adalah ciri-ciri toxic masculinity yang sering menyerang laki-laki.
Banyak laki-laki yang tidak sadar diserang, bahkan untuk hal-hal yang sangat sepele.
Saya bukan barang sekali disalip di jalan saat saya berkendara dengan sepeda motor. Padahal saya tidak berniat sama sekali adu balap, saya hanya mengejar waktu tenggat.
Saya rasa itu tidak semata-mata lonjakan hormon testosteron.
Siapa pelakunya?
Laki-laki!
#4 Trauma
Trauma—ini boleh jadi pemicu. Orangtua (atau pengasuh?) dengan pola pengasuhan yang salah bisa menjadi bibit perilaku KDRT di kemudian hari.
Saya selalu menggarisbawahi bahwa menjadi orangtua yang bertanggung jawab itu tidak mudah.
Sekali lagi tidak mudah!
Membesarkan anak tidak hanya memastikan apa yang masuk ke mulut anak, melainkan pula mendidiknya.
Proses mendidik ini yang menjadi tantangan, yang bahkan saya sendiri tidak berani mengambil konklusi (simpulan) bagaimana formula yang tepat karena tiap anak berbeda dan memiliki keunikannya masing-masing; mendidik seorang anak ada "seni"-nya tersendiri.
Baca juga: Sal Priadi dan Gala Bunga Matahari: Sebuah Seni Merayakan Kehilangan
"Seni" mendidik ini pada prosesnya dipengaruhi banyak faktor seperti nada suara orangtua, pemilihan kata-kata oleh orangtua, kebiasaan dan rutinitas sehari-hari, batasan-batasan (boundaries) yang diterapkan, lingkungan pertemanan si anak dan lain sebagainya;
dari proses perjalanan mendidik ini bisa saja menimbulkan trauma jika tidak hati-hati.
Memutus rantai KDRT pada perempuan, mungkinkah?
Lantas, pertanyaannya, apakah rantai KDRT terhadap perempuan bisa diputus?
Jika tidak bisa mengubah keadaan yang "sekarang" bukan berarti tidak bisa melakukannya untuk masa yang akan datang; KDRT bisa dicegah dengan mengedukasi anak (terutama anak laki-laki)—sedini mungkin!
Tidak perlu menguras isi laut untuk memulainya, terapkan saja dari mulai hal-hal sederhana dalam proses tumbuh kembangnya.
#1 Perempuan dan laki-laki setara di rumah
Ajarkan anak sedini mungkin bahwa tidak ada "pekerjaan" perempuan atau laki-laki. Ajak anak untuk terlibat pada segala sesuatu yang berhubungan dengan urusan domestik rumah tangga. Karena tidak ada ruginya laki-laki bisa memasak, perempuan juga bisa membersihkan kamar mandi atau pasang regulator gas.
Baca juga: Cegah Stunting: Praktikkan Diet Gula pada Anak Balita
#2 Perempuan dan laki-laki setara dalam memperoleh pendidikan
Sebuah fakta yang tak terbantahkan bahwa banyak pernikahan yang terjadi terhadap perempuan di beberapa daerah di Indonesia lantaran akses pendidikan yang tidak setara.
Kultur budaya "dapur-sumur-kasur" yang masih dipraktikkan menempatkan perempuan pada posisi yang lemah dan tidak berdaya sehingga akibat dari praktik ini tak jarang banyak mengakibatkan pernikahan dini atau pernikahan di bawah umur (pernikahan anak?).
Pemikiran kritis dari satu individu TIDAK terbentuk dalam semalam. Percayalah.
Jadi, jangan jadikan perjuangan R.A Kartini dan kedua saudara perempuannya sia-sia!
#3 Luruskan mindset dan stigma jelek
Seiring bertambahnya usia anak, para orang tua juga bisa mengedukasi dengan meluruskan beberapa mindset dan stigma jelek.
Ada beberapa yang bisa dijadikan highlight dalam pointer ini:
➡️ Anggapan laki-laki HARUS wajib mencari nafkah tidak sepenuhnya benar;
Perempuan yang memilih mengaktualisasikan dirinya dengan bekerja sebagai panggilan hati juga tidak sepenuhnya salah.
Baca juga: Klinik Kecantikan (Seharusnya) Melawan Stigma
➡️ Perkara mengurus anak juga harus menjadi tanggung jawab bersama—tidak peduli siapa yang bertarung di luar, siapa yang tinggal di rumah;
Pengelolaan uang juga harus didiskusikan bersama. Tidak melulu perempuan yang harus pegang, jika memang laki-lakinya yang lebih cakap, kenapa tidak?
Highlight di atas tentu belum termasuk pembagian kerja-kerja domestik dalam rumah tangga.
Tekankan tak ada kerja perempuan atau kerja laki-laki: semua bisa DILAKUKAN oleh siapapun selama mampu untuk dilakukan.
➡️ Jika literatur agama "mengajarkan" bahwa laki-laki wajib ditaati, pada prosesnya tidak ujug-ujug demikian.
Jadi, jangan ajarkan anak untuk berbuat jahat terhadap orang lain (perempuan); jangan manipulasi pikirannya. Ajarkan literatur agama dengan sebaik-baiknya.
Tahu orang yang lebih jahat dari orang jahat? Ia adalah orang yang pandai tapi MANIPULATIF.
***
Apa yang tertulis dalam tulisan ini tidak mencakup semua hal (ini hanya garis besarnya saja), perlu daya juang yang ampun-ampunan juga untuk mewujudkannya (KDRT menghilang?);
Meski tidak bisa langsung memutuskan rantai KDRT (dengan menihilkan semua kasus, rasanya mustahil) tapi hasil nyata dari upaya pencegahannya patut dirayakan—sekecil apapun itu.
What happened to us was the result of generations of ignorances and lack of guidances. Let's decide not to pass on this cycle of trauma.
Tabik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H