Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Fotografer

Best in Opinion Nominee of Kompasiana Award 2021 | Peduli menyoal isu-isu terkini terutama sosial-budaya dan gender | Verba Volant Scripta Manent | Kontak: kazena.krista@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Music Artikel Utama

Sal Priadi dan Gala Bunga Matahari: Sebuah Seni Merayakan Kehilangan

13 Agustus 2024   06:20 Diperbarui: 13 Agustus 2024   18:10 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gempita Nora Marten (Tangkapan Layar YouTube Sal Priadi via Kompas.com)

Ada yang berkata disaat orang yang telah berpulang datang ke dalam mimpi maka ia sedang rindu ingin menyapa— hanya tidak tahu bagaimana caranya. Saya tidak tahu perihal benar atau tidaknya. Saya cukup realistis untuk tidak melibatkan diri pada duga-duga semacam itu.

Mimpi-mimpi didatangi seperti itu justru kerap dialami adik bungsu saya. Tiap kali ia berbagi cerita, saya—meski terkadang sembari mengerjakan sesuatu—bisa melihat ada gemuruh semangat yang mungkin ia sendiri sulit menggambarkannya. Tapi, binar mata dan nada suaranya cukup menjelaskan.

Saya tidak tahu bagaimana ia bisa mengingatnya: ia terlalu pandai merinci.

Sementara saya, saya nyaris tidak pernah; atau mungkin pernah tapi itu sangat kabur dalam ingatan saya, hingga saya pun tidak mampu mengingatnya dengan baik;—

atau mungkin saya punya alasannya mengapa... 

***

Ibu sudah berpulang sepuluh tahun lalu dan tanggal 6 September yang akan datang peringatannya; sementara Bapak, 7 Agustus tadi genap 2 tahun meninggalkan kami.

Baca juga: Menjadi Seorang Ibu Sangat Dekat dengan Gangguan Kejiwaan

Ada saat di mana saya meromantisasi keprihatinan terhadap diri sendiri dengan mematut di depan cermin sembari tersenyum dan berkata "hai kamu anak yatim, lagi piatu, semoga kamu bisa menciptakan bahagiamu sendiri ya?"

Realita meninggalnya kedua orang tua tentu saja menyeret saya dengan paksa untuk sepenuhnya sadar bahwa mereka tidak ada lagi di rumah: mereka tidak ada lagi bersama saya dan bersama kedua adik saya. 

Saya menyimpan dengan baik sosok kedua orang tua saya; mereka yang membuat saya ada sampai hari ini, berikut baik buruknya. Mungkin hal ini juga dilakukan oleh kedua adik saya.

***

Perjalanan berkabung tiap orang berbeda saat ditinggalkan seseorang tapi merayakan kehilangan akan membuatnya terdengar tidak menyedihkan.

Ini yang coba disiratkan oleh Sal Priadi, musisi sekaligus pencipta lagu Gala Bunga Matahari yang video klipnya sendiri baru saya sadari dibawakan dengan apik oleh Gempi, anak perempuan semata wayang Gisella Anastasia dan Gading Marten yang beradu peran dengan Landung Simatupang. 

Saya sempat kurang ngeh dengan postingan Gisel di laman Instagramnya saat Gempi syuting untuk video klip ini tatkala lewat di beranda saya beberapa waktu lalu. Saya memang mengikuti Gisel di Instagram. 

Sal Priadi (Sumber Instagram Sal Priadi) 
Sal Priadi (Sumber Instagram Sal Priadi) 

Saya kali pertama mendengar lagu Gala Bunga Matahari ini saat dibawakan ulang (di-cover) oleh Jemimah Cita yang tanpa sengaja lewat di kolom pencarian Instagram saya. 

Penyanyi jebolan Indonesian Idol itu meski bagi saya terlalu magis saat menyayikannya, tapi bukan itu yang membuat perhatian saya tersita—melainkan penggalan liriknya. Lirik yang tentu saja bisa dengan cepat saya artikan sebagai lirik merayakan kehilangan.

Mungkinkah, mungkinkah
mungkinkah kau mampir hari ini?

Bila tidak mirip kau

jadilah bunga matahari

yang tiba-tiba mekar di taman

meski bicara dengan bahasa tumbuhan.

Ceritakan padaku

bagaimana tempat tinggalmu yang baru.

Tengoklah bagaimana penggalan lagu ini.

***

Sal dengan tutur jujur berharap dengan sungguh sebuah pertemuan terhadap mereka yang telah lebih dulu pergi; pertemuan yang ia bahasakan sederhana, tidak mengapa jika tidak dengan wujud nyata seperti yang ia kenal. Meski akan sangat membuat bahagia jika mereka datang dengan rupa yang sama. 

Bahkan tak apa-apa jika ia ingin bertandang dalam wujud bunga matahari. 

Saya tentu saja ingin orang tua saya menjumpai saya dengan rupa mereka yang saya kenal. Bagaimana mungkin saya terikat secara emosional jika tidak demikian?

Anak ayam pun akan mengenali induknya dengan rupa yang akrab dengan mereka.

Begitu pun dengan saya.

Tak masalah jika saya menjumpai mereka dengan keadaan tubuh ringkih. Karena memang disaat mereka pergi mereka sudah mengalami "sakit-sakit" para orang tua seperti asam urat dan rematik.

Sal dengan bahasa yang apa adanya mengajak mereka—saya—yang ditinggalkan menerka bagaimana tempat mereka yang lebih dulu pergi: berbicara tentang surga? atau yang menyerupainya?

Baca juga: Dari Daycare, Orang Tua Pekerja dan Masalah Sistemik di Dalamnya

Pun saya demikian. 

Jika melihat hamparan rerumputan hijau di dataran pegunungan sudah bisa menimbulkan decak kagum saya, lalu bagaimana dengan surga indah yang diilustrasikan dengan sungai-sungai yang dialiri susu?

Gempita Nora Marten (Tangkapan Layar YouTube Sal Priadi via Kompas.com)
Gempita Nora Marten (Tangkapan Layar YouTube Sal Priadi via Kompas.com)

Saya tidak peduli, apakah Tuhan mengabulkan atau tidak, tapi saya selalu menyelipkan doa-doa semoga kedua orang tua saya selalu bahagia. Berharap di atas kepala mereka selalu diterangi sinar yang berkilauan: sinar kebaikan Tuhan. 

Semoga Tuhan menempatkan kedua orang tua saya di sebaik-baiknya tempat, sekalipun itu belum pantas dikatakan surga karena kiamat pun belum terjadi.

Sal dengan tanpa majas yang berlebihan, membuat saya harus menyadari terus-menerus bahwa segala sesuatu terjadi bukan tanpa sebab, dan setiap pertanyaan pasti sudah menemukan pula jawabannya.

Ada penjelasan mengapa ibu yang lebih dulu pergi; mengapa ketika ibu pergi hanya Bapak yang melihatnya; tak satupun anaknya ada di dekat ibu ketika ia menutup mata;

ada penjelasan juga mengapa ketiga anaknya justru ada disaat Bapak pergi.

Hidup memang selalu berdampingan dengan tanya namun selayaknya pula dipahami dengan cara yang berbeda. 

***

Ada yang berkata disaat orang yang telah berpulang datang ke dalam mimpi maka ia sedang rindu ingin menyapa.

Tapi, ada pula yang berkata jika yang ditinggalkan tidak pernah didatangi mereka yang lebih dulu pergi, itu berarti yang ditinggalkan tidak terlalu sayang.

Konyol, bagaimana mungkin saya tidak menyayangi orang tua saya, pikir saya, meskipun mungkin rasa sayang saya memiliki paralelnya sendiri.

Bagaimana mungkin saya tidak menyayangi ibu saya yang suka diam-diam mengunjungi kamar saya untuk mengusap kening saya lalu menciumnya meski saya akui ibu itu cerewetnya setengah mati?;

bagaimana mungkin saya tidak menyayangi bapak saya yang suka diam-diam menyelimuti saya saat saya setengah sadar tertidur—atau menawarkan saya sarapan bila saya kebetulan sibuk dikejar deadline tulisan—meski ia sosok yang keras kepala dan mudah marah?

Baca juga: Catatan Ringan Perjalanan Proses Menulis: Seni Memahami Kehidupan yang Dinamis 

Mereka tidak sering datang ke dalam mimpi saya, bukan karena saya tidak sayang—alih-alih tidak pernah merasakan kehilangan sejak kepergian mereka. 

Tidak juga karena sejak menghayati lagu ini saya baru memahami apa itu kehilangan; 

Seperti penggalan lirik lagunya, adakalanya saya memang menangis. Tapi, bukan penyesalan karena belum menjadi anak yang baik buat mereka apalagi sampai berani mendebat Tuhan mengapa mereka pergi disaat saya belum jadi apa-apa sesuai yang mereka mau.

Bukan karena itu.

Tapi, saya menangis karena saya menyadari bahwa saya tetaplah seorang anak yang pada akhirnya menghadapi kenyataan ditinggal pergi kedua orang tuanya untuk selamanya (tak peduli saya adalah telah menjadi manusia dewasa yang mampu bertanggung jawab terhadap diri sendiri)—yang selanjutnya akan menghidupi kenangan demi kenangan yang mereka tinggalkan—setiap hari.

Mengapa saya merasa saya tidak pernah didatangi lewat mimpi?

Itu karena jauh sebelum saya mendengar Gala Bunga Matahari—beserta dengan caranya merayakan kehilangan—saya sudah menyadari dengan penuh sungguh jika kematian itu niscaya dan saya telah "selesai" pada keduanya. 

Tapi, cinta mereka sebagai orang tua tetap untuk selamanya. 

***

Saya bukan pengekor hanya karena lagu ini viral dan menjadi tren (sering dilantunkan di banyak platform media sosial), lantas saya merasa perlu ikut ambil bagian membagi kisah kehilangan saya;

Baca juga: Trend Dumb Phone Menggugat Realitas

ini hanya sebagai pengingat bahwa saya adalah sosok yang ditinggalkan itu. 

Meski sekarang saya berjuang untuk terus menghidupkan kenangan dengan memperdengarkan lagi bagaimana suara dan wajah keduanya—selama mereka membersamai saya—dalam ingatan saya namun sekarang saya semakin jauh memperlebar ruang ikhlas di hati saya. 

Saya baik-baik di sini. Berbahagialah. 

Terima kasih, Sal... 

Tabik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun