Begitu pun dengan saya.
Tak masalah jika saya menjumpai mereka dengan keadaan tubuh ringkih. Karena memang disaat mereka pergi mereka sudah mengalami "sakit-sakit" para orang tua seperti asam urat dan rematik.
Sal dengan bahasa yang apa adanya mengajak mereka—saya—yang ditinggalkan menerka bagaimana tempat mereka yang lebih dulu pergi: berbicara tentang surga? atau yang menyerupainya?
Baca juga: Dari Daycare, Orang Tua Pekerja dan Masalah Sistemik di Dalamnya
Pun saya demikian.Â
Jika melihat hamparan rerumputan hijau di dataran pegunungan sudah bisa menimbulkan decak kagum saya, lalu bagaimana dengan surga indah yang diilustrasikan dengan sungai-sungai yang dialiri susu?
Saya tidak peduli, apakah Tuhan mengabulkan atau tidak, tapi saya selalu menyelipkan doa-doa semoga kedua orang tua saya selalu bahagia. Berharap di atas kepala mereka selalu diterangi sinar yang berkilauan: sinar kebaikan Tuhan.Â
Semoga Tuhan menempatkan kedua orang tua saya di sebaik-baiknya tempat, sekalipun itu belum pantas dikatakan surga karena kiamat pun belum terjadi.
Sal dengan tanpa majas yang berlebihan, membuat saya harus menyadari terus-menerus bahwa segala sesuatu terjadi bukan tanpa sebab, dan setiap pertanyaan pasti sudah menemukan pula jawabannya.
Ada penjelasan mengapa ibu yang lebih dulu pergi; mengapa ketika ibu pergi hanya Bapak yang melihatnya; tak satupun anaknya ada di dekat ibu ketika ia menutup mata;
ada penjelasan juga mengapa ketiga anaknya justru ada disaat Bapak pergi.