Semakin canggih suatu ponsel maka semakin banyak pula kemampuan yang ia kerjakan; banyak aplikasi bisa masuk ke dalamnya—dari yang bisa mempermudah pekerjaan hingga yang digunakan untuk memperkuat "eksistensi" di mata orang-orang—dan ini mudah saja dilakukan hanya dengan bermodalkan kuota internet—dan uang berlangganan.
Menyoal internet, kita tahu bersama, semuanya ada: dari informasi yang berguna hingga yang mirip sampah!Â
Keingintahuan seseorang yang lebih banyak (atau hanya sekadar "mengintip") terhadap kabar atau isu terkini merangsang sistem penghargaan dopamin, yang di otak manusia sendiri diartikan seperti pemberian sebuah hadiah. Ini bukan opini melainkan fakta penelitian.Â
Jadi, tak heran pada akhirnya banyak orang yang terjebak pada label FOMO (Fear Of Missing Out) karena terlalu takut melewatkan "sesuatu" di internet—alih-alih dianggap "kudet".
Internet menyediakan "panggung" bagi orang-orang, segala tipu-tipuan dunia ditawarkan, hate speech dan hoak bertebaran. Belum lagi kasus-kasus yang tampaknya tak berkesudahan dan lain sebagainya.Â
Tiap sepuluh menit cek smartphone, janji lima menit scroll, tahu-tahu sudah sejam. Terkadang hingga lupa waktu terhadap pekerjaan apa yang akan atau sedang dilakukan.Â
Keasyikan ini sepertinya mustahil disediakan oleh dumb phone; smartphone—sebenarnya— adalah antitesis dari dumb phone itu sendiri.Â
Maka izinkan saya mengatakan bahwa tren dumb phone pada dasarnya sedang menggugat realitas kecanduan orang-orang terhadap penggunaan internet.
Seseorang sebenarnya tidak adiksi terhadap smartphone; ia adiksi terhadap internet.
***
Jadi, jangan salahkan smartphone; ia hanya benda mati.Â
Hingga pada akhirnya yang ingin saya katakan, tiap orang memang memiliki cara sendiri untuk lepas dari kecanduan—dan jika memang kecanduan terhadap internet bisa diatasi dengan kembali ke "setelan" awal sebagai pengguna dumb phone, itu kembali ke pilihan masing-masing pribadi.
Tabik.Â