yang untuk urusan tempat tinggal saja boleh jadi pasangan suami-istri harus bekerja untuk membayar kontrak rumah (?).Â
Jangan pernah bermimpi punya rumah jika tidak siap KPR puluhan tahun yang bahkan untuk uang mukanya saja harus entah menabung berapa lama.
Jika keduanya bekerja, anak siapa yang jaga?; siapa yang akan dikorbankan? Jelas bukan tetangga sebelah rumah, kan?
Di usia kicik mungkin si anak bisa diserahkan pengasuhannya sementara pada babysitter, nanny atau para pengasuh paruh waktu.Â
Tapi, pertanyaan lain muncul, bisakah mereka dibayar dengan layak sementara pendapatan pas-pasan?
Daycare boleh jadi opsi meski kali-kali perhari nya (membayar) cukup membuat ngeri.
Seiring berjalannya waktu si anak masuk usia sekolah dan kedua orangtuanya tetap bekerja (untuk memberikan fasilitas pendidikan yang terbaik, belum lagi tambahan les ini-itu, dan lain sebagainya.)
Sekolah selesai, masuk pula si anak perguruan tinggi dan orangtuanya masih terus bekerja untuk membayar UKT yang kian tahun kian tak masuk akal nominalnya.
Karena merasa diabaikan hanya demi memenuhi kebutuhan dasar (primer; sekunder?), si anak memendam kecewa diam-diam terhadap orangtuanya yang jarang hadir (bahkan tidak pernah?) dalam tiap fase hidupnya karena kesibukan bekerja: merasa tak benar-benar disayang.
***
Ini lah sejatinya lingkaran setan:Â syarat bekerja yang mendiskriminasi, pendapatan yang juga tidak tinggi, dan kebutuhan dasar hidup yang rasanya sulit untuk ditawar lagi.
Bagaimana dengan child free?