Jumlah penganiayaan anak terus terjadi.
Saya tidak kaget dengan hal itu—meskipun tak urung memantik rasa geram—dan pelakunya kerap dari lingkungan orang-orang terdekat di lingkungan si anak seperti orangtua kandung, kakek-nenek dan lain sebagainya.
Namun, yang terjadi baru-baru ini jujur membuat saya benar-benar kaget dan takut-takut—
kaget karena pelakunya adalah justru seorang influencer parenting yang tampaknya getol dan vokal bicara tentang edukasi pengasuhan di media sosialnya (sebelumnya saya tidak mengenalnya, saya kali pertama tahu melalui satu videonya yang pernah dimuatnya di Tiktok—yang postingannya di-posting ulang di sebuah akun X (Twitter)) dan terlanjur menuai viral;
takut-takut karena mungkin saja saya bisa keliru dalam menerjemahkan hal yang saya rasa penting untuk mendapat highlight dalam tulisan ini.
Baca juga:Â 5 Menit: Seandainya Kita Tak Sibuk Debat di Media Sosial
Beritanya telah beredar, MI, seorang perempuan tega menganiaya dua orang anak yakni seorang balita 2 tahun (MK)Â dan seorang bayi 9 bulan (HW).
Peristiwa itu terjadi di sebuah daycare bernama Wensen School Indonesia di kawasan Depok pada tanggal 10 Juli 2024 yang lalu. MI adalah pemilik daycare tersebut—yang setelah diselidiki lebih lanjut ternyata ilegal karena sejak awal perizinannya hanya sebatas tempat untuk Kelompok Bermain (KB).
Baca juga: Setop Mengganggu Anak yang Sedang Bermain Sendiri, Ini 4 Alasannya
Baca juga: Cegah Stunting: Praktikkan Diet Gula pada Anak Balita
Penganiayaan diketahui melalui rekaman circuit closed television (CCTV)—dan yang kali pertama melaporkan kejadian tersebut pada masing-masing orangtua dari dua anak itu justru karyawan MI sendiri.
MI—yang sejak tanggal 31 Juli 2024 yang lalu telah ditetapkan sebagai tersangka—mengaku khilaf telah melakukan penganiayaan;Â
saya berani bertaruh, sejak kasus ini terangkat ke permukaan media, jutaan orangtua di luar sana sedang diberikan daya kejut untuk lebih aware dalam memantau anak-anak mereka yang penjagaannya mungkin diserahkan sementara pada orang lain ketika mereka tidak bersama (atau mereka sedang bekerja).
Sungguh kasihan nasib para babysitter, nanny atau pengasuh anak paruh waktu yang benar-benar tulus dari hati memperlakukan anak-anak seperti anak mereka sendiri tatkala dalam penjagaan mereka: hanya karena ulah segelintir orang, mereka diawasi; dicurigai.
Hanya saja untung tidak dapat diraih, malang tidak dapat ditolak.Â
Lagipula, rasa khawatir para orangtua adalah wajar.
Hingga pada akhirnya yang ingin saya katakan:
Persona yang ditampilkan seseorang terkadang bagai dua sisi mata uang.
***
RUU Pengasuhan Anak
MI sudah menjadi tersangka dan ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di muka hukum.Â
Dilansir dari sebuah artikel (yang dimuat Kompas.com), salah satu orangtua dari anak yang menjadi korban sudah pula membuat pengaduan ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) untuk ditindaklanjuti dan tanggapan KPAI atas kasus ini KPAI mendorong untuk disahkannya RUU Pengasuhan Anak sebagai payung hukum terhadap kekerasan anak yang sering terjadi.Â
Langkah ini dinilai perlu dan mendesak untuk diambil sebagai bentuk pencegahan.Â
***
Di sisi lain, apakah kita mau ambil peduli terhadap MI yang diketahui tengah hamil empat bulan itu?Â
Tidakkah tersisa sedikit saja rasa penasaran kita terhadapnya dan bertanya mengapa perbuatan (penganiayaan) itu ia lakukan sementara sebelumnya ia gembar-gembor sebagai seseorang yang paham betul terhadap parenting dan seluk beluknya?;
atau apakah memang ia benar-benar sedang bermain lakon personanya di masyarakat sementara perilakunya tidak demikian?;
atau kita yang hanya mengedepankan emosi kekanak-kanakan kita lalu dengan sewenang-wenang mengatakan memang ia sepantasnya dihukum?—
jika saya ditanya menyoal ini, respon saya cukup tegas: saya tidak pernah tahu beban psikologis apa yang pernah dan tengah dirasakannya (berikut dengan proses kehamilannya yang sekarang), sehingga saya memutuskan untuk tidak berdiri serta merta di antara orang-orang yang langsung menilainya salah meskipun perbuatannya jelas-jelas—sangat—salah.Â
Saya merasa tidak perlu mengambil bagian para Psikolog (berikut serangkaian assesment-nya) dalam hal ini. Saya selalu berusaha sangat berhati-hati jika menyangkut masalah kejiwaan seseorang (sebisa mungkin) dan saya rasa menarik diri darinya pada beberapa kasus adalah sesuatu yang bijaksana.
Baca juga: Menjadi Seorang Ibu Sangat Dekat dengan Gangguan Kejiwaan
***
Saya lebih tertarik pada hal lain yakni mengapa daycare (tempat penitipan anak) belakangan kian dicari khususnya di kota-kota besar dan harganya pun tidak bisa dikatakan murah.
Di lokasi tempat tinggal saya sendiri ada sebuah daycare. Saya memang belum ke pernah ke sana, saya hanya melihat plang namanya yang berderet rapi dan sejajar dengan plang lain. Tapi, meskipun demikian, rasa-rasanya saya tahu seperti apa aktivitas di dalamnya.
Menjadi orangtua yang bertanggung jawab itu tidak mudah.
Saya selalu menanamkan hal ini baik-baik dalam kepala saya, bahkan hanya 5 senti tepat di depan wajah saya agar terus saya "lihat".Â
Bertanggung jawab yang saya tahu tidak sebatas memberi apa yang masuk ke mulut anak, melainkan—jenis dan cara—pengasuhan pun termasuk di dalamnya:
parenting itu penting.
***
Karena berusaha untuk bertanggung jawab lah mungkin sebagian para orangtua yang juga berstatus pekerja memilih untuk tidak menyerahkan anak mereka pada orang tua (kakek-nenek si anak) sehingga menggunakan jasa babysitter, nanny, atau pengasuh paruh waktu menjadi pilihan—atau seperti daycare yang tengah menjadi sorotan.Â
Daycare ada untuk menjawab kebutuhan para orangtua pekerja.
Lingkaran sistemik kebijakan atas pekerja
Ada sesuatu yang mencengangkan bagi saya menyoal putusan para hakim yang "berkantor" di Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat usia kerja dan berpenampilan menarik yang mereka nilai tidak masuk pada kategori diskriminasi.
Putusan MK yang baru beberapa hari diputuskan itu semakin mempertegas dan menunjukkan bahwa sistem yang ada di Indonesia belum berubah; kian pula melanggengkan citra buruk Indonesia di mata dunia.
Siapa yang sebenarnya yang dibela para hakim ini?Â
Andai para hakim ini benar-benar mau ambil peduli, pikir saya.
***
Berapa persen dari orang-orang di negara ini yang bekerja dan memiliki gaji dua digit dengan level jabatan yang nyaris menyentuh langit?
Saya berani bertaruh, yang menjadi pemenangnya tetap middle-lower class (kelas menengah ke bawah)Â yang pendapatannya bisa dikatakan sangat "ngepas" bahkan rendah;Â
yang untuk urusan tempat tinggal saja boleh jadi pasangan suami-istri harus bekerja untuk membayar kontrak rumah (?).Â
Jangan pernah bermimpi punya rumah jika tidak siap KPR puluhan tahun yang bahkan untuk uang mukanya saja harus entah menabung berapa lama.
Jika keduanya bekerja, anak siapa yang jaga?; siapa yang akan dikorbankan? Jelas bukan tetangga sebelah rumah, kan?
Di usia kicik mungkin si anak bisa diserahkan pengasuhannya sementara pada babysitter, nanny atau para pengasuh paruh waktu.Â
Tapi, pertanyaan lain muncul, bisakah mereka dibayar dengan layak sementara pendapatan pas-pasan?
Daycare boleh jadi opsi meski kali-kali perhari nya (membayar) cukup membuat ngeri.
Seiring berjalannya waktu si anak masuk usia sekolah dan kedua orangtuanya tetap bekerja (untuk memberikan fasilitas pendidikan yang terbaik, belum lagi tambahan les ini-itu, dan lain sebagainya.)
Sekolah selesai, masuk pula si anak perguruan tinggi dan orangtuanya masih terus bekerja untuk membayar UKT yang kian tahun kian tak masuk akal nominalnya.
Karena merasa diabaikan hanya demi memenuhi kebutuhan dasar (primer; sekunder?), si anak memendam kecewa diam-diam terhadap orangtuanya yang jarang hadir (bahkan tidak pernah?) dalam tiap fase hidupnya karena kesibukan bekerja: merasa tak benar-benar disayang.
***
Ini lah sejatinya lingkaran setan:Â syarat bekerja yang mendiskriminasi, pendapatan yang juga tidak tinggi, dan kebutuhan dasar hidup yang rasanya sulit untuk ditawar lagi.
Bagaimana dengan child free?
And then, we owe Gita Savitri an apology?!
Baca juga: Gita Savitri dari Child Free Sampai Anti Aging Alami, Ini 4 untuk Bersikap Biasa-Biasa Saja
Baca juga: Belajar dari Gita Savitri: Sejak Kapan Influencer Harus Jaga Perasaan Warganet?
Sekali lagi ingin saya katakan, semoga saya tidak salah dalam menerjemahkan hal-hal penting dalam tulisan ini meski hanya secara garis besar saja, lagi singkat. Namun, saya menilai para pembaca sudah bisa menangkap maksudnya.Â
Sejatinya, menuntut pengesahan RUU Pengasuhan Anak memang perlu namun beberapa kebijakan pemerintah yang terkait di dalamnya juga harus diubah; langkah preventif boleh jalan, tapi masalah sistemiknya bereskan!
Tabik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H