Sedih, marah, gugup, kecewa—atau rasa takut serta harapan untuk tidak ditemukan seperti yang dirasakan Anna belia.
Setali tiga uang, saya masih ingat perasaan membuncah itu: hati yang begitu penuh.
Hari itu guru bahasa Indonesia yang mengajar di kelas berterima kasih pada saya di hadapan seluruh siswa satu sekolah sebelum upacara bendera bubar. Saya membawa nama sekolah; nama saya ada di rubrik cerita pendek di salah satu surat kabar di sana.Â
Untuk seorang anak remaja belasan tahun yang namanya ada di surat kabar tingkat kabupaten dan namanya disebut-sebut oleh guru kesayangan (beliau terkenal karena cara mengajarnya yang unik dan membuat pelajaran bahasa Indonesia begitu disukai oleh para siswa yang kelasnya beliau ajar) di antara begitu banyak orang, bangganya bukan kepalang. Semua mata tertuju pada saya waktu itu.Â
Salah tingkah tapi harus terlihat kalem, kalian tahu lah bagaimana rasanya.
Momen manis itu saya tulis dalam buku harian saya dengan perasaan riang pada malam harinya.
Ah, itu ternyata sudah bertahun-tahun lalu. Cepat sekali waktu berlalu dan saya sudah mulai tua rupanya.Â
***
Mungkin di mata orang-orang, kita adalah pribadi yang mereka kenal; yang ada dalam kepala mereka dengan segala interpretasinya.Â
Tapi, bagi saya sendiri, ketika menulis, rutinitas ini sangat membantu saya untuk menjadi manusia yang seutuhnya: merunut kejadian, mengolah rasa.