Membacalah agar mengenal dunia lalu menulislah agar lebih memahami diri sendiri.
Selama perjalanan menulis, bukan barang sekali atau dua kali saya memandang "aneh" tulisan-tulisan yang sudah pernah saya tulis. Tak jarang jidat saya berkerut, pelipis saya urut-urut.Â
Kok jadinya begini ya?
Tapi, pada akhirnya, saya baca ulang, saya koreksi, saya sunting ulang pula. Selanjutnya, saya kirimkan ke media atau posting saja kemudian lupakan dan tugas pun selesai. Tinggal menunggu umpan balik.
***
Mari sepakati, setiap buku yang  dibaca, setiap harmonisasi lagu yang didengar, setiap film yang ditonton di bioskop—dan beberapa bentuk yang menawarkan kesenangan pada otak  adalah buah pikir dan buah perasaan seseorang. Ide itu dituangkan, disusun satu persatu-satu; diterjemahkan dengan caranya sendiri-sendiri.Â
Baca juga: Dalam Berkarya Semua Orang Punya Formula, Ini Satu di Antaranya
Kali ini, saya ingin mengajak pembaca mengulik cerita—sangat—ringan serta singkat dari proses menulis saya selama ini.Â
***
Menulis ya menulis saja dulu, begitu pikir saya tiap kali memulai sebuah tulisan, sekalipun itu hanya jurnal harian.Â
Tunggu dulu, "hanya"?
Seharusnya tidak ada kata itu;Â
jurnal harian adalah penting!
Seberapa penting?
Andai pertanyaan ini bisa ditanyakan pada Anna Frank sekarang—atau Soe Hok Gie?!
***
Seperti kita tahu, daya ingat manusia itu terbatas (dengan banyaknya informasi-informasi baru atau dari berbagai peristiwa yang terjadi di sekitar kita di keseharian kita) maka cara mengingat sesuatu yang dirasa penting adalah dengan menuliskannya.Â
Mungkin itu pula yang sempat ada dalam pikiran Anna belia saat ia menulis lembar demi lembar buku hariannya.
Siapa sangka buku harian yang ditulisnya selama ia dan keluarganya bersembunyi di Belanda dari kelompok Nazi tersebut mendunia?Â
Anna Frank jadi saksi untuk mewakili mereka yang hidupnya hancur dan berakhir karena pendudukan Nazi.
***
Tidak hendak mendahului para ahli seperti Psikolog, namun menulis sebagai sebuah bentuk terapi kejiwaan, rasanya tidak berlebihan. Dengan menulis seseorang bisa mengurai benang kusut yang ada dalam kepala atau segala bentuk gejolak hati yang dirasa.Â
Sedih, marah, gugup, kecewa—atau rasa takut serta harapan untuk tidak ditemukan seperti yang dirasakan Anna belia.
Setali tiga uang, saya masih ingat perasaan membuncah itu: hati yang begitu penuh.
Hari itu guru bahasa Indonesia yang mengajar di kelas berterima kasih pada saya di hadapan seluruh siswa satu sekolah sebelum upacara bendera bubar. Saya membawa nama sekolah; nama saya ada di rubrik cerita pendek di salah satu surat kabar di sana.Â
Untuk seorang anak remaja belasan tahun yang namanya ada di surat kabar tingkat kabupaten dan namanya disebut-sebut oleh guru kesayangan (beliau terkenal karena cara mengajarnya yang unik dan membuat pelajaran bahasa Indonesia begitu disukai oleh para siswa yang kelasnya beliau ajar) di antara begitu banyak orang, bangganya bukan kepalang. Semua mata tertuju pada saya waktu itu.Â
Salah tingkah tapi harus terlihat kalem, kalian tahu lah bagaimana rasanya.
Momen manis itu saya tulis dalam buku harian saya dengan perasaan riang pada malam harinya.
Ah, itu ternyata sudah bertahun-tahun lalu. Cepat sekali waktu berlalu dan saya sudah mulai tua rupanya.Â
***
Mungkin di mata orang-orang, kita adalah pribadi yang mereka kenal; yang ada dalam kepala mereka dengan segala interpretasinya.Â
Tapi, bagi saya sendiri, ketika menulis, rutinitas ini sangat membantu saya untuk menjadi manusia yang seutuhnya: merunut kejadian, mengolah rasa.
Menulis bagi saya bukanlah hobi yang dilakukan sesekali ketika senggang atau saat akhir pekan menjelang. Â
Pada prosesnya, saya total di sana; saya sangat serius. Memang tidak melulu harus menetapkan tujuan awal menghadirkan manfaat bagi orang lain—meskipun akan ada arahnya ke sana.
Sebagai sedikit penjelasan, saya adalah orang yang tidak terlalu jago bicara—alih-alih good communicator—dan terus terang saja, saya mengakui menulis adalah sebuah jalan ninja. Jurnal pribadi adalah wujud nyata bagaimana saya berusaha menyayangi diri sendiri; bentuk lain saya memberikan sebuah butterfly hug—tentu saja dalam barisan kata.Â
Baca juga: Selalu Ada Hipotesis untuk Dia yang Jago BicaraÂ
Di dalamnya ada saya dan sesuatu yang ingin saya ceritakan, semisal tentang pertanyaan mengapa warna pakaian saya didominasi warna Biru?; atau ke mana raibnya semua jarum pentul saya?;Â
atau benarkah orang Jepang lebih suka marah-marah saat bekerja seperti dalam sebuah seri dorama Jepang yang pernah saya tonton yang menceritakan
Baca juga: Dari WNI ke WNA: Andai Pindah Negara Semudah Pindah Rumah
Baca juga: Hikikomori di Jepang: Ternyata Tidak Memiliki Anak Tidak Selalu BurukÂ
tentang perjuangan gigih seorang anak muda belasan tahun untuk menjadi chef sushi nomor 1 di Jepang?; atau mengapa ya saya tidak suka kalau ujung celana panjang saya basah?
***
Jujur—menulis dimulai dengan jujur. Saya tahu, mengolah tema-tema berat ada bagiannya sendiri dan saya bisa beradaptasi dan sudah terbiasa dengan itu.
Seperti yang saya singgung-singgung di atas, bukankah tulisan-tulisan tercipta karena proses berpikir kita tentang sesuatu?;—danÂ
bagi saya berat atau ringan tergantung urgensinya—dan tentu saja kapan tenggatnya.
Ya, tugas saya menulis saja dan selama proses olah pikir dan olah rasa itu saya benahi cara saya menulis, saya pertanyakan gaya penulisan saya, pelan-pelan saya perkaya pula berbagai diksi, dan meski agak susah-susah gampang saya pelajari KBBI.
Karena bentuk jadi dari tulisan tersebut (dengan caranya sendiri) yang pada akhirnya akan mengundang orang lain ingin tahu.Â
Karena sebuah tulisan ada seorang cerpenis, novelis, scriptwriter radio dan tv, copywriter iklan, penulis naskah, dan lain sebagainya—entah sosok profesi seperti apalagi yang akan ada di masa depan dari kegiatan ini.
Karena sejatinya, menulis adalah sebuah seni untuk memahami bahwa kehidupan ini memang dinamis; bergerak mengikuti arus.
Selama masih ada manusia sebagai obyek utuh dari sebuah pikiran dan perasaan, maka kegiatan menulis juga akan tetap ada.
Tabik.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H