Seseorang bisa menakar isi kepalanya terhadap siapa lawan bicaranya.
Belajar dari Anak-anak
Memperlakukan seseorang dengan usia yang bisa dikatakan dewasa dengan seorang anak (berdasarkan usianya) jelas tidak sama.Â
Sebagai contoh, saya kenal baik dengan seorang anak perempuan usia tiga tahunan. Banyak runut kejadian dan celotehan yang tercipta antara saya dengannya.Â
Namun, sejak saya tahu pengetahuannya kian bertambah, tiap akan bertemu dengannya yang selalu saya tanyakan dalam pikiran saya adalah: apakah aku bisa bekerjasama dengannya kali ini?—meski saya sadar secara penuh bahwa saya tidak sedang melakukan sesuatu yang transaksional dengannya.Â
Saya hanyalah seseorang yang berusaha mengintip pelan-pelan isi kepala dan hatinya.Â
Seiring membersamainya, saya pun banyak belajar—yang bahkan saya sendiri tidak tahu sudah seberapa banyak saya belajar karena saya tidak pernah benar-benar menghitungnya dengan cermat.Â
Namun, yang saya tahu, saya belajar menjadi seseorang yang bisa bicara jauh lebih lembut, saya belajar dan mendisiplinkan diri agar jauh lebih panjang sabar, saya kian mahir mempraktikkan diksi-diksi sederhana terhadapnya, saya benar-benar merawat dengan penuh kesungguhan sisi kanak-kanak diri saya di balik tubuh dewasa saya ini—pun satu hal yang pasti, yang saya tahu, bahwa menjadi seorang negosiator dan komunikator (sekaligus komunikan) itu ternyata tidak mudah (apalagi temanmu bernegosiasi dan berbicara itu adalah seseorang bertubuh kecil yang tubuhnya tak melebihi panjang antara pinggang hingga telapak kakimu).
Darinya saya jadi tahu bagaimana perasaan seorang ibu sekaligus paham bagaimana rasanya menjadi seorang guru (terutama guru pendidikan anak usia dini) —atau berhadapan dengan seorang teman yang berseberangan pilihan denganmu?
Sebagai seorang perempuan kepala tiga, saya diam-diam takjub dan takzim melihatnya tumbuh semakin besar dan cakap. Ia memiliki senyum yang menawan (saya kerap mengabadikannya untuk dokumentasi pribadi atas nama kenangan dan memilih untuk tidak pernah satu orang pun tahu karena saya tidak ingin melewati batasan-batasan orangtuanya—atau kemungkinan terburuk disalahgunakan oleh orang lain yang tidak bertanggung jawab; publikasi bisa jadi akan menimbulkan masalah serta boleh jadi memperburuk keadaan)—dan kalau bisa saya tarik sedikit kesimpulan, ia akan mewarisi sikap seseorang yang berpendirian teguh di masa dewasanya. Semoga.Â
Kak Seto pernah berkata jangan pernah bermimpi punya anak penurut tapi berharaplah memiliki anak yang bisa diajak bekerjasama.Â
Ah, saya memang bisa jadi sangat emosional jika berbicara tentang anak-anak—sekalipun saya termasuk orang yang irit bicara di keseharian, namun kalau soal anak, saya bisa menjadi seseorang yang melankoli.Â
Hingga akhirnya berbilang hari pointer-pointer tentang anak dalam buku catatan khusus saya tentang anak kian bertambah dan jika bertemu kesempatan akan segera merampungkannya dalam bentuk storytelling dengan gaya saya.Â
Sesuatu yang serius dan diselami sendiri sebagai pengalaman dengan segala suka-dukanya akan selalu punya tempatnya sendiri bukan?
***
Hari Anak Nasional 2024: Dari Slogan menjadi Praktik Harian
23 Juli ditetapkan sebagai Hari Anak Nasional. Saya pribadi memperingatinya sejak tahun 2010 disaat saya masih jadi seorang Producer di sebuah radio swasta di kota saya. Monthly thematic kala itu didedikasikan untuk setiap anak di Indonesia (yang puncaknya diperingati tanggal 23 Juli).Â
Setiap program radio selama sebulan waktu itu diselipkan tentang hal-hal yang berkaitan dengan anak, para penyiar "dipaksa" mengeksplor skrip yang Producer tulis dan arahkan—bahkan insert yang muncul di antara lagu dan iklan, digarap dengan serius dan matang. What a moment!Â
Tahun ini adalah tahun ke-40 peringatan Hari Anak Nasional. Mengutip sedikit dari artikel yang tayang di Kompas dengan judul Tema Hari Anak Nasional 2024, Logo dan Sejarahnya tertanggal 18 Juli 2024, tahun ini setidaknya ada 6 sub tema yang menjadi fokus utama atas persoalan-persoalan menyangkut anak:
- ‌Anak Cerdas, Berinternet Sehat
- ‌Suara Anak Membangun Bangsa
- ‌Pancasila di Hati Anak Indonesia
- ‌Dare to Lead and Speak Up: Anak Pelopor dan Pelapor
- ‌Pengasuhan Layak untuk Anak: Digital Parenting
- ‌Anak Merdeka dari Kekerasan, Perkawinan Anak, Pekerja.
Keenam sub tema yang menjadi perhatian, saya rasa tidak menjadi yang lebih utama satu dengan yang lainnya: semua sama penting.Â
Ya, hari-hari ini, tantangan yang berkaitan dengan anak kian kompleks. Setiap bidang kehidupan tanpa disadari atau tidak terkadang menyasar anak.
Seringkali kita mendapatkan informasi berita tentang anak yang jadi korban dari gagalnya pengasuhan, pengawasan, atau bahkan perbuatan buruk dari orang-orang yang katanya dewasa—atau yang berstatus orang tua.Â
Kita bisa menyaksikannya di televisi atau melihatnya melalui gawai kita. Pelakunya mungkin tidak kita kenal, atau bisa jadi tetangga komplek beda RT—atau bisa jadi diri kita sendiri!Â
Sengaja atau tidak sengaja?—atau memang literasi kita yang bisa disebut payah?
Dampaknya tentu saja menyerang anak tersebut, yang bisa saja tak hanya fisik namun juga psikis—yang terakhir saya sebut, bukan main-main lagi penanganannya jika sudah menggoreskan trauma.Â
Psikis dan segala sesuatu yang menyangkut Psikologi jelas bukan bidang saya, oleh karenanya saya tidak ingin berbicara lebih jauh meski saya tertarik menyelami pikiran dan hati manusia (mengobservasi manusia itu menarik jika benar-benar tahu caranya).Â
Ada satu kutipan dari Psikolog Verauli yang saya catat di fitur catatan di telepon seluler saya:Â bagi yang lain kita mungkin dihayati sebagai predator namun pada saat yang bersamaan kita menghayati diri kita sebagai korban.Â
Apakah itu berlaku juga bagi seorang anak? Semua bergantung dari observasi lanjutan (berdasarkan usianya?) dan lagi-lagi itu menyangkut ranah Psikologi, maka tak elok saya perpanjang.
Yang bisa saya katakan adalah praktikkan pada anak sesuatu yang bisa dilakukan berulang secara harian.Â
Bonding itu penting, tak peduli sebanyak apapun pekerjaan yang akan dilakukan atau selelah apapun hari yang dilewati. Seorang anak butuh diakui kehadirannya, dicintai pribadinya, dihargai tiap usahanya mengerjakan sesuatu, didukung tiap kali gagal, dibersamai ketika lelah dan lain sebagainya—dan tentu saja disesuaikan dengan usia mereka.Â
Seorang anak ada tidak untuk dibentak atau dihujani kata-kata kasar (meskipun kita terlihat gagal dan payah bekerjasama dengannya; jika kau saja tidak ingin dibentak lantas mereka juga mau diperlakukan yang sama?); seorang anak ada tidak untuk disakiti fisik dan mental.Â
Masih mengutip Kompas, Hari Anak Nasional dilatarbelakangi oleh Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dimana ada aturan setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Betapa luhur bukan amanat UUD kita?
Tapi, pada kenyataannya tidak benar-benar demikian.Â
Sebagai contoh, beberapa hari yang lalu sesuatu viral di jagat XÂ (Twitter) tentang kekerasan seksual yang dialami seorang anak oleh ayah sambungnya!
Saya seketika mengumpat dalam hati saat membacanya sewaktu lewat di timeline.Â
Ada lagi desas-desus pemotongan anggaran makan siang gratis untuk setiap anak di Indonesia dari program yang digaung-gaungkan presiden (dan wakilnya) terpilih yang menuai cibiran: keduanya bersinggungan dengan anak.Â
Untuk keduanya yang saya sebutkan, anak tidak ditempatkan sebagai predator melainkan (calon?) korban!
Samantha Elsener, seorang Psikolog yang konsentrasinya pada bidang psikologi dalam satu video reels di akun Instagramnya menuliskan pada keterangannya bahwasanya ada sepuluh (10) hak dasar seorang anak: hak untuk bermain, hak untuk belajar, hak untuk dilindungi, hak untuk memiliki identitas, hak untuk makan dan minum, hak untuk disayang, hak untuk didengarkan, hak untuk sehat jiwa dan raga, hak untuk liburan/rekreasi, hak untuk berteman.
Jika slogan Hari Anak Nasional 2024 adalah Anak Terlindungi, Indonesia Maju maka perlindungan terhadap anak-anak tentu menjadi sangat penting; 10 hak dasar yang Psikolog Samantha sebutkan dan 6 sub tema (yang jadi fokus utama Hari Anak Nasional 2024) yang saya singgung sebelumnya, semuanya bisa dijadikan satu di bawah payung bernama perlindungan (untuk melindungi setiap anak di Indonesia).Â
Bisa?Â
Tentu bisa—asal tidak mementingkan diri sendiri dengan mengabaikan apa yang sudah seharusnya menjadi hak seorang anak.Â
Sesuatu yang bersifat privat dari rumah yang dijalankan bersama secara kolektif di masyarakat sudah pasti menciptakan satu perubahan, tak peduli sekecil apa perubahan itu.Â
Banyak sekali yang ingin saya bagi, tapi jika menjabarkannya berdasarkan apa yang saya alami sendiri (pointer-pointer yang saya catat) atau uraian dari banyaknya harapan saya untuk setiap anak-anak di negeri ini rasa-rasanya bisa jadi sangat panjang dan tak semua pembaca tahan.
Setiap anak Indonesia berhak bahagia dan sejahtera dengan mendapatkan hak-haknya.
Selamat memperingati momentum Hari Anak Nasional 2024.Â
Tabik.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H