Seseorang bisa menakar isi kepalanya terhadap siapa lawan bicaranya.
Belajar dari Anak-anak
Memperlakukan seseorang dengan usia yang bisa dikatakan dewasa dengan seorang anak (berdasarkan usianya) jelas tidak sama.Â
Sebagai contoh, saya kenal baik dengan seorang anak perempuan usia tiga tahunan. Banyak runut kejadian dan celotehan yang tercipta antara saya dengannya.Â
Namun, sejak saya tahu pengetahuannya kian bertambah, tiap akan bertemu dengannya yang selalu saya tanyakan dalam pikiran saya adalah: apakah aku bisa bekerjasama dengannya kali ini?—meski saya sadar secara penuh bahwa saya tidak sedang melakukan sesuatu yang transaksional dengannya.Â
Saya hanyalah seseorang yang berusaha mengintip pelan-pelan isi kepala dan hatinya.Â
Seiring membersamainya, saya pun banyak belajar—yang bahkan saya sendiri tidak tahu sudah seberapa banyak saya belajar karena saya tidak pernah benar-benar menghitungnya dengan cermat.Â
Namun, yang saya tahu, saya belajar menjadi seseorang yang bisa bicara jauh lebih lembut, saya belajar dan mendisiplinkan diri agar jauh lebih panjang sabar, saya kian mahir mempraktikkan diksi-diksi sederhana terhadapnya, saya benar-benar merawat dengan penuh kesungguhan sisi kanak-kanak diri saya di balik tubuh dewasa saya ini—pun satu hal yang pasti, yang saya tahu, bahwa menjadi seorang negosiator dan komunikator (sekaligus komunikan) itu ternyata tidak mudah (apalagi temanmu bernegosiasi dan berbicara itu adalah seseorang bertubuh kecil yang tubuhnya tak melebihi panjang antara pinggang hingga telapak kakimu).
Darinya saya jadi tahu bagaimana perasaan seorang ibu sekaligus paham bagaimana rasanya menjadi seorang guru (terutama guru pendidikan anak usia dini) —atau berhadapan dengan seorang teman yang berseberangan pilihan denganmu?
Sebagai seorang perempuan kepala tiga, saya diam-diam takjub dan takzim melihatnya tumbuh semakin besar dan cakap. Ia memiliki senyum yang menawan (saya kerap mengabadikannya untuk dokumentasi pribadi atas nama kenangan dan memilih untuk tidak pernah satu orang pun tahu karena saya tidak ingin melewati batasan-batasan orangtuanya—atau kemungkinan terburuk disalahgunakan oleh orang lain yang tidak bertanggung jawab; publikasi bisa jadi akan menimbulkan masalah serta boleh jadi memperburuk keadaan)—dan kalau bisa saya tarik sedikit kesimpulan, ia akan mewarisi sikap seseorang yang berpendirian teguh di masa dewasanya. Semoga.Â
Kak Seto pernah berkata jangan pernah bermimpi punya anak penurut tapi berharaplah memiliki anak yang bisa diajak bekerjasama.Â