"ketika ilmu pengetahuan bertambah yang bertambah seharusnya kebijaksanaannya untuk menahan diri (baca: berempati pada society)—bukan malah menumpuk dan mempertegas ego.
Bahasa sederhananya, influencer dilarang berpendapat sesuka hati.
Tapi, kan, influencer juga manusia?Â
Sayangnya, tidak semua orang tahu akan hal ini; jika semua orang paham, maka aman dan tentram dunia.Â
Layaknya gonjang-ganjing Gita ini, people just literally got angry cause she didn't respon the way that they wanted.Â
Lemme say this: you can't control everything, guys, why you so mad?—dan untuk Gita, semua orang yang kontra mungkin cuma ingin bilang: being a mother is learning about strengths you didn't know you had and dealing with fears you never knew existed.
Dari dua pihak
Ada aksi ada reaksi, ini hukum kimia yang sangat dasar yang kita bawa ke kehidupan kita sehari-hari.Â
Layaknya trending Gita Savitri yang pelik ini, seperti warganet yang juga manusia, pun dengan Gita sebagai sosok influencer yang jadi muasal gonjang-ganjing ini tercipta, Gita juga berhak marah.Â
Hingga pada akhirnya izinkan saya mengatakan ini, attitude tidak berbicara pada satu pihak saja.Â
Pertanyaan pentingnya adalah sejak kapan influencer harus jaga perasaan warganet?Â
Jawabnya mungkin tidak ada waktu yang benar-benar spesifik karena sejak awal kita sendirilah yang punya standar pada siapa orang yang ingin kita jadikan sebagai orang yang memiliki pengaruh (baca: influencer) dalam hidup kita—
dan jika suatu saat nanti influencer tersebut menciderai citranya sendiri, kita diperbolehkan kembali pada titik awal bahwa: influencer juga manusia.Â
Lagipula, influencer juga warganet, saudara-saudara, bedanya terletak pada jumlah followers aja.