Warganet sepertinya murka dengan pernyataan Gita. Ia diserang karena opininya yang menyatakan child free sebagai tolok ukurnya terlihat awet muda.
Padahal, menurut hemat saya, ini lebih menitikberatkan perbedaan paham dan frekuensi: tak semua orang sepaham dengan Gita Savitri (baca: alih-alih satu frekuensi dan bisa menerimanya dengan logika)—ataupun sebaliknya.Â
Gita mungkin memandang warna Biru sebagai Nila dari tempatnya berpijak—dan warganet yang kontra dengan pahamnya tersebut, bersebrangan dengannya—dari tempat mereka berpijak pula.
Lantas apa yang terjadi setelahnya?Â
Tentu saja, Gita Savitri dikritik di sana-sini. Ia bahkan dihujat habis-habisan. Untung tidak dapat diraih (baca: boleh jadi Gita ingin mendapat validasi menyoal child free?), malang tidak dapat ditolak.
Pada akhirnya Gita lepas kendali setelah beberapa warganet ia anggap menciderainya secara personal bahkan sampai mengeluarkan sumpah serapah terhadap dirinya.Â
Ia pun lantas membuat klarifikasi live pada akun media sosialnya—dan apa yang dikatakannya semakin memperburuk situasi yang sudah buruk.
Warganet pun kaget Gitasav alias Gita Savitri ini bisa marah-marah pakai mukanya sendiri, bukan berlindung di balik avatar kpop atau anime.
Influencer harus sadar konsekuensi?Â
Jamak kita dengar bahwa:Â
Influencer harus sadar konsekuensi atas pilihannya menjadi figur masyarakat.
Masyarakat menuntutnya (baca: influencer) untuk selalu positive vibe—ia seolah diultimatum untuk taat aturan yang sifatnya mengikat dan tidak bebas nilai.Â
Seorang influencer pada akhirnya "digurui"Â dengan definisi: