Saat mengiringi proses belajar seorang anak agar mahir berbicara, kita sebisa mungkin jangan membenarkan apa yang salah terhadap apa yang diucapkan anak (baca: mengoreksi kembali apa yang dikatakannya. Jika kata yang ia ucapkan tidak pas dan seharusnya, segera koreksi).
Misalnya saya, contoh ketika saya mengulang lagi kata "daun" demi mengoreksi kata "dun" yang diucapkan keponakan saya saat saya mengajaknya bermain sore di halaman rumah, atau "bin" ketika ia menunjuk "mobil" yang ia lihat saat lewat, atau "ndon" ketika ia meminta untuk "digendong".
Dengan kata lain, kita sebagai partner bicara seorang anak jangan sekali-kali membenarkan hal tersebut. Meskipun (merujuk pada penjelasan Pathologist Joirez) bisa jadi ia sedang dihadapkan pada proses "dislalia" atau keterbatasan artikulasi fungsional (baca: yang boleh jadi disebabkan karena penempatan lidah yang kurang pas atau penyebutan huruf konsonan atau vokal yang belum akurat).
Apapun itu (baca: tiap kata yang keluar dari mulut kecilnya) harus kita koreksi ulang sesuai kata yang sebenarnya. Itu kita lakukan untuk membantu si anak— alih-alih malah membenarkan apa yang ia ucapkan itu.Â
***
Di akhir tulisan ini, yang ingin saya katakan, bila anak kita masih belum mahir bicara (baca: termasuk mengutarakan apa yang ia inginkan)—apalagi jika kita merasa sudah sepantasnya anak kita jauh lebih mahir sesuai usia tumbuh kembangnya—alangkah baiknya kita mulai mengambil rencana untuk menemui seseorang yang pakar di bidangnya seperti psikolog anak atau terapis wicara.Â
Semoga pengalaman saya ini dapat membantu.Â
Tabik.Â
Catatan:
Mungkin apa yang menjadi pengalaman saya dalam tulisan ini tak dapat menjadi pembenaran perihal cara-cara yang telah saya praktikkan. Semoga untuk dimaklumi.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H