Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Fotografer

Best in Opinion Nominee Kompasiana Award 2021 | Peduli menyoal isu sosial-budaya dan gender | Kontak: kazena.krista@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

"Speech Delay": Cara-cara Sederhana Saya agar Anak Mahir Bicara, Sudahkah Dipraktikkan?

25 Juli 2022   01:39 Diperbarui: 25 Juli 2022   18:39 1425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi melatih anak bicara| Dok Sekolah Cikal via Kompas.com

Momentum Hari Anak Nasional 2022 telah usai diperingati namun seperti yang kita ketahui bersama, jelas masih banyak sekali "PR" yang menunggu diselesaikan. Seolah setali tiga uang, Presiden Jokowi sendiri berkata bahwasanya setiap hak anak harus dipenuhi. 

Hak dasar seorang anak

Apa saja yang menjadi hak-hak seorang anak?

Menurut Samantha Elsener, seorang Psikolog yang konsentrasinya pada bidang psikologi anak yang baru-baru ini membagikan video reels di akun Instagramnya menuliskan pada keterangannya bahwasanya ada sepuluh (10) hak dasar seorang anak: hak untuk bermain, hak untuk belajar, hak untuk dilindungi, hak untuk memiliki identitas, hak untuk makan dan minum, hak untuk disayang, hak untuk didengarkan, hak untuk sehat jiwa dan raga, hak untuk liburan/rekreasi, hak untuk berteman.

Sebagai onty-onty yang menyukai anak kecil, saya selalu merasa berdekatan dan berkomunikasi dengan mereka adalah sesuatu yang menarik, khususnya anak-anak di bawah usia tiga tahun, dimana kecakapan mereka dalam berbicara demi mengkomunikasikan apa yang mereka pikirkan dan atau yang mereka rasakan memiliki keterbatasan untuk dipahami oleh orang dewasa.

Jika merujuk pada klasifikasi hak-hak anak yang diuraikan oleh Psikolog Samantha, boleh jadi pada tahapan ini saya katakan seorang anak sedang berusaha mendapatkan haknya untuk belajar, meski mungkin pada uraian saya pada tulisan ini nantinya akan masuk pula poin hak-hak yang lain dari yang beliau katakan tadi.

Ilustrasi berkomunikasi dengan anak. (Sumber: Pexel.com | Foto oleh Kampus Production) 
Ilustrasi berkomunikasi dengan anak. (Sumber: Pexel.com | Foto oleh Kampus Production) 

Parenting itu penting

Sudah seperti menjadi tugas "wajib" orangtua di seluruh dunia mengajarkan anaknya berkomunikasi bahkan sejak si anak masih bayi—sekalipun kita tahu bahwasanya si anak hanya merespon dengan tatapan sekadarnya (baca: dengan kata lain tanpa mampu merespon dengan baik seperti seharusnya sebuah percakapan), kita terkadang tak henti-hentinya mengajak mereka bicara—alih-alih kita melakukan itu karena kita menganggap mereka lucu dan menggemaskan.

Namun, ada kalanya rutinitas sehari-hari atau deadline pekerjaan yang membuat kedekatan (intensitas) orangtua seperti kita dalam memperhatikan tumbuh kembang anak berkurang—atau malah menganggap mereka sudah tumbuh normal sebagai mana mestinya?—dalam hal berbicara.

Tak heran pada akhirnya ilmu parenting itu penting. 

Karena kecakapan kita sebagai orangtua dalam mengasuh seorang anak tidak hanya berbicara soal perjalanan waktu atau biaya (baca: yang akan atau yang sudah dikeluarkan) yang sengaja kita sisihkan demi mereka;.

Mengasuh anak tak cukup perkara kesiapan dari segi seksual, mental, dan finansial sebelum kita menikah, tetapi juga tentang keterlibatan emosi kita yang harus secara sadar bahwa apa yang kita berikan pada merekalah yang menjadikan siapa diri mereka pada hari ini dan diri mereka di masa-masa yang akan datang.

Ilustrasi parenting yang memerlukan keterlibatan emosi terhadap anak di masa-masa tumbuh kembangnya. (Sumber: Pexel.com | Foto oleh Victor L.)
Ilustrasi parenting yang memerlukan keterlibatan emosi terhadap anak di masa-masa tumbuh kembangnya. (Sumber: Pexel.com | Foto oleh Victor L.)
Baca juga: Punya Anak Tak Cukup Perkara Seksual, Mental, dan Finansial

Bukan hasil sulap

Bagi hampir seluruh orangtua akan sangat membuat mereka senang dan bangga jika sang anak dapat berbicara lebih cepat dari anak seusianya (baca: anak usia kurang dari tiga tahun), saya berani jamin, tak seorang pun ayah atau ibu menginginkan anaknya mengalami keterlambatan dalam berbicara atau yang kita kenal dengan istilah speech delay.

Speech delay yang jamak kita tahu

Ketika menanggapi komen di laman Instagramnya, menurut Joirez Nayoan yang seorang Speech Languange Pathologist, speech delay adalah sebuah istilah bahasa Inggris yang di Indonesia sendiri dipahami untuk menjelaskan keterlambatan bicara yang disebabkan berbagai hal seperti gangguan pendengaran, gangguan neurologis, adanya kelainan pada struktur mulut atau kurangnya stimulus dari lingkungan pada anak dalam kesehariannya.

Agar anak mahir bicara, tentu tidak didapat karena hasil sulap melainkan proses. Dan bagi saya pribadi, melihat dan melibatkan diri secara langsung dalam proses tersebut senangnya bukan kepalang, meskipun si baby toddler bukan anak saya.

Mungkin bagi sebagian orang seperti saya, rasa senang itu sama seperti saat memenangkan hati calon mertua. 

Baca juga: Trik Sederhana Mengenal dengan Singkat Calon Mertua

Cegah dengan cara-cara sederhana

Ada beberapa cara-cara sederhana yang saya praktikkan sendiri dalam analisis saya, dan tanpa mengurangi kredibilitas dan kapabilitas para ahli di bidangnya dalam mencegah speech delay tersebut, izinkan saya membagikan apa yang saya tahu dalam tulisan ini.

#1 Berperilaku layaknya anak kecil

Kita tidak pernah akan bisa masuk ke dunia anak yang ajaib tanpa lebih dulu melunturkan identitas kita sebagai manusia dewasa—yang seolah paling tahu segalanya.

Ingat, kawan, "lawan" kita adalah manusia kecil yang usianya tak lebih dari tiga tahun yang akan kita ajari lebih cakap untuk berbicara meskipun boleh jadi pada prosesnya kita sebagai orang yang mengajarinya bicara akan sama mengalami proses belajarnya seperti si anak (baca: memahami apa yang diucapkan si anak).

Saya sendiri selalu memposisikan diri saya sebagai teman yang "setara" di hadapan anak kecil yang bersinggungan dengan saya (baca: namun tentu saja memiliki kontrol secara sadar terhadap siapa yang menjadi lawan bicara saya). 

Dengan keadaan polos saat berkomunikasi pada seorang anak, saya berusaha memasuki dunianya. Namun, meskipun demikian, tak lupa saya sudah lebih dulu menanamkan dalam diri saya bahwa apa yang saya lakukan orientasinya tak melulu hasil melainkan proses, karena sekali lagi saya bukan seorang yang ahli—saya bukan psikolog anak apalagi terapis wicara.

Bukankah mengamati sesuatu itu akan sangat menyenangkan jika kita menyukai apa yang sedang kita amati itu?

Seorang anak dan dunianya adalah keindahan—dan saya menyukai keindahan.

Sedikit catatan, saya melakukan ini dengan tulus ketika berhadapan dengan anak karena saya menyadari sebenarnya anak akan dapat menangkap dengan baik tiap jenis emosi yang saya berikan pada mereka. 

Respon seorang anak tentu saja berdasarkan "umpan" orang yang menjadi partner komunikasinya.

#2 Jangan pernah lelah berkomunikasi dengan anak

Stok sabar kita dalam melatih anak bicara (baca: khususnya mengucapkan satu kata pada anak di bawah usia tiga tahun) akan sama banyaknya dengan stok sabar kita ketika mencegah seorang anak yang saling berkejaran dengan temannya ketika bermain.

Seberapa banyak sabar yang diperlukan itu?
Tentu saja tak mengenal batas!

Untuk itu jangan lelah apalagi malas dalam berkomunikasi dengan anak, sekalipun anak kita sedang sibuk sendiri dengan mainannya atau apapun yang menyita perhatiannya (mengacu pada diri saya, jika seorang anak dengan penuh dalam kontrol penjagaan saya tanpa melibatkan siapapun: hanya saya dan anak tersebut, saya tak pernah memberikan gadget padanya.

Beberapa pendapat para ahli mengatakan sangat tidak disarankan anak di bawah usia dua tahun melihat apapun dari gadget sekalipun untuk hiburan. 

Untuk anak rentang tiga hingga lima tahun, boleh diberi gadget—hanya saja sangat terbatas dan dalam pengawasan ketat orangtua), meski rasanya agak mustahil anak yang dalam keadaan diam, tidak menarik perhatian kita (baca: tanpa pendampingan oleh orang lain di luar kita, misalnya baby sitter). Karena sudah menjadi naluri kita sebagai orangtua untuk memastikan anak kita dalam baik-baik saja.

Ilustrasi seorang anak yang sibuk dengan mainannya. (Sumber: Pexel.com | Foto oleh Yan Krukov) 
Ilustrasi seorang anak yang sibuk dengan mainannya. (Sumber: Pexel.com | Foto oleh Yan Krukov) 
Kembali ke uraian, komunikasi akan melibatkan interaksi kita terhadap anak. Saya misalnya, saya bisa memancing lawan bicara saya yang seorang bayi lima belas bulan ketika yang ia sedang serius memainkan mainan aneka hewan yang ia punya—saya merangsang jumlah kosakatanya dalam berbicara pada saat yang bersamaan. 

"Ini kuda. Ini Harimau", sembari menunjuk mainan itu satu per satu padanya. Setelahnya saya memintanya mengulang apa yang saya ucapkan "Ini apa, nak? Ku..? Ku..da.." Tentunya saat mengucapkannya nyaris sama waktunya dengan si anak.

Jika di kemudian hari si anak masih salah mengidentifikasi obyek yang ia lihat, sebisa mungkin kita jangan langsung bantah apa yang ia ucapkan dengan kata "bukan" lalu buru-buru mengoreksinya dengan obyek yang seharusnya. 

Saya misalnya, saya akan menggantinya dengan memberikan "umpan" balik si anak seperti "oh, kamu melihatnya kuda, tante kok melihatnya itu domba ya?" 

Sekali lagi, jangan pernah merasa lelah apalagi malas dalam berkomunikasi dengan anak. Kegiatan interaksi dalam berkomunikasi ini bisa dilakukan saat kita berkegiatan apapun bersama anak dan atau bisa pula dimulai dengan mengenalkan apapun sejauh jangkauan mata.

#3 Kontak mata yang meyakinkan

Proses menuntun seorang anak cakap dalam berbicara tak hanya melibatkan emosi semata, usahakan pula ada kontak mata terhadap mereka.

Bagi saya pribadi proses ini sama pentingnya seperti proses ketika seorang anak mendengarkan apa yang kita ucapkan (baca: semacam kroscek bahwa apa yang ia dengar tidak salah).

Ucapkan kata yang kita ingin ia tahu dengan memperagakan melalui mulut dan lakukan dengan perlahan (baca: eja sesuai penggalan suku kata). Artikulasinya harus jelas dan intonasinya harus bisa ditangkap dengan baik oleh pendengaran anak kita. Tahapan ini dapat melatih tiga inderanya sekaligus: pendengaran, penglihatan dan pengucapan.

Misalnya saya ketika menyebut kata kuda, saya menggerakkan mulut saya menjadi: "ku"-"da", atau ketika saya melafadzkan kata harimau menjadi: "ha"-"ri"-"mau". 

Saya ketika mengucapkan setiap kata—apapun itu—selalu membuka lebar mulut saya sesuai penekanan suku kata dari tiap kata tersebut; saya praktikkan dengan benar bunyi setiap huruf vokal dan konsonan. 

#4 Membiasakan (kata) yang benar

Pada poin ini saya agak sedikit berhati-hati dalam menguraikan dan saya harap ketika kita sudah tahu di mana letak "hati-hati" itu kita sebaiknya tak membiasakannya lagi.

Mungkin seorang anak yang lebih cepat dan mahir berbicara akan menyenangkan hati tapi bukan berarti anak yang sedikit terlambat dalam berbicara berarti memiliki orangtua yang—bisa—dikatakan gagal (baca: saya yakin, tak ada seorang pun yang ingin menjadi orangtua yang gagal dalam mengiringi proses belajar anaknya meskipun metode yang diterapkan terkadang terbilang keliru atau salah).

Saat mengiringi proses belajar seorang anak agar mahir berbicara, kita sebisa mungkin jangan membenarkan apa yang salah terhadap apa yang diucapkan anak (baca: mengoreksi kembali apa yang dikatakannya. Jika kata yang ia ucapkan tidak pas dan seharusnya, segera koreksi).

Misalnya saya, contoh ketika saya mengulang lagi kata "daun" demi mengoreksi kata "dun" yang diucapkan keponakan saya saat saya mengajaknya bermain sore di halaman rumah, atau "bin" ketika ia menunjuk "mobil" yang ia lihat saat lewat, atau "ndon" ketika ia meminta untuk "digendong".

Ilustrasi setiap anak terlahir unik dan spesial. (Sumber: Pexel.com | Foto oleh Samer Daboul) 
Ilustrasi setiap anak terlahir unik dan spesial. (Sumber: Pexel.com | Foto oleh Samer Daboul) 
Dengan kata lain, kita sebagai partner bicara seorang anak jangan sekali-kali membenarkan hal tersebut. Meskipun (merujuk pada penjelasan Pathologist Joirez) bisa jadi ia sedang dihadapkan pada proses "dislalia" atau keterbatasan artikulasi fungsional (baca: yang boleh jadi disebabkan karena penempatan lidah yang kurang pas atau penyebutan huruf konsonan atau vokal yang belum akurat).

Apapun itu (baca: tiap kata yang keluar dari mulut kecilnya) harus kita koreksi ulang sesuai kata yang sebenarnya. Itu kita lakukan untuk membantu si anak— alih-alih malah membenarkan apa yang ia ucapkan itu. 

***

Di akhir tulisan ini, yang ingin saya katakan, bila anak kita masih belum mahir bicara (baca: termasuk mengutarakan apa yang ia inginkan)—apalagi jika kita merasa sudah sepantasnya anak kita jauh lebih mahir sesuai usia tumbuh kembangnya—alangkah baiknya kita mulai mengambil rencana untuk menemui seseorang yang pakar di bidangnya seperti psikolog anak atau terapis wicara. 

Semoga pengalaman saya ini dapat membantu. 

Tabik. 

Catatan:

Mungkin apa yang menjadi pengalaman saya dalam tulisan ini tak dapat menjadi pembenaran perihal cara-cara yang telah saya praktikkan. Semoga untuk dimaklumi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun