Baca juga: Punya Anak Tak Cukup Perkara Seksual, Mental, dan Finansial
Bukan hasil sulap
Bagi hampir seluruh orangtua akan sangat membuat mereka senang dan bangga jika sang anak dapat berbicara lebih cepat dari anak seusianya (baca: anak usia kurang dari tiga tahun), saya berani jamin, tak seorang pun ayah atau ibu menginginkan anaknya mengalami keterlambatan dalam berbicara atau yang kita kenal dengan istilah speech delay.
Speech delay yang jamak kita tahu
Ketika menanggapi komen di laman Instagramnya, menurut Joirez Nayoan yang seorang Speech Languange Pathologist, speech delay adalah sebuah istilah bahasa Inggris yang di Indonesia sendiri dipahami untuk menjelaskan keterlambatan bicara yang disebabkan berbagai hal seperti gangguan pendengaran, gangguan neurologis, adanya kelainan pada struktur mulut atau kurangnya stimulus dari lingkungan pada anak dalam kesehariannya.
Agar anak mahir bicara, tentu tidak didapat karena hasil sulap melainkan proses. Dan bagi saya pribadi, melihat dan melibatkan diri secara langsung dalam proses tersebut senangnya bukan kepalang, meskipun si baby toddler bukan anak saya.
Mungkin bagi sebagian orang seperti saya, rasa senang itu sama seperti saat memenangkan hati calon mertua.Â
Baca juga: Trik Sederhana Mengenal dengan Singkat Calon Mertua
Cegah dengan cara-cara sederhana
Ada beberapa cara-cara sederhana yang saya praktikkan sendiri dalam analisis saya, dan tanpa mengurangi kredibilitas dan kapabilitas para ahli di bidangnya dalam mencegah speech delay tersebut, izinkan saya membagikan apa yang saya tahu dalam tulisan ini.
#1 Berperilaku layaknya anak kecil
Kita tidak pernah akan bisa masuk ke dunia anak yang ajaib tanpa lebih dulu melunturkan identitas kita sebagai manusia dewasa—yang seolah paling tahu segalanya.
Ingat, kawan, "lawan" kita adalah manusia kecil yang usianya tak lebih dari tiga tahun yang akan kita ajari lebih cakap untuk berbicara meskipun boleh jadi pada prosesnya kita sebagai orang yang mengajarinya bicara akan sama mengalami proses belajarnya seperti si anak (baca: memahami apa yang diucapkan si anak).
Saya sendiri selalu memposisikan diri saya sebagai teman yang "setara" di hadapan anak kecil yang bersinggungan dengan saya (baca: namun tentu saja memiliki kontrol secara sadar terhadap siapa yang menjadi lawan bicara saya).Â
Dengan keadaan polos saat berkomunikasi pada seorang anak, saya berusaha memasuki dunianya. Namun, meskipun demikian, tak lupa saya sudah lebih dulu menanamkan dalam diri saya bahwa apa yang saya lakukan orientasinya tak melulu hasil melainkan proses, karena sekali lagi saya bukan seorang yang ahli—saya bukan psikolog anak apalagi terapis wicara.