Sudah berapa jumlah fotografer profesional yang pernah mengabadikan momen dalam hidupmu?
Sepertinya, orang-orang tidak akan terlalu peduli dengan pertanyaan semacam ini—bahkan seandainya jika saya tidak melemparkannya, kau pun mungkin tidak akan mau repot-repot memutar segala peristiwa yang pernah singgah demi memancing sebuah ingatan untuk menjawabnya bukan?
Kalau begitu bagaimana rasanya jadi seorang fotografer profesional?
Well, waktu telah berhasil membantu saya menjawab pertanyaan ini, kawan—dan sepertinya semesta "mendengar" khayalan saya tahun-tahun masa lampau sewaktu saya menginginkannya untuk menjadikannya sebagai salah satu profesi mendulang rupiah.
So, lemme say, when fortune calls you, offer him a seat.
Bagi saya, menjadi seorang fotografer terutama sebagai fotografer dalam rangkaian momen sakral pernikahan (baca: pre-wedding, wedding, post-wedding) adalah sebuah kebanggaan.Â
Bagaimana tidak, saya dipercaya sebagai salah satu orang yang mengabadikan foto-foto dua sejoli—berikut keluarga besar mereka; tentang betapa foto-foto itu akan layak untuk mereka kenang dua puluh tahun ke depan—atau lebih dari itu—terhitung sejak saat foto-foto itu diabadikan.
Sesuatu yang mungkin saja bentuk fisiknya kelak bisa usang dimakan usia, namun tidak dengan cerita yang ada di dalamnya.
Percayalah, selalu akan ada motif di balik sebuah pilihan dan tindakan yang diambil seseorang. Pun saya demikian—dan menjadi seorang female wedding photographer bukanlah perkara sembarangan. Setidaknya, saya sudah membuktikan itu (baca: di hampir satu dekade saya menggelutinya) sebagai karir—alih-alih hobi.
Baca juga ini: Jadi Female Wedding Photographer Bukan untuk Gaya-gayaan
Namun, tunggu dulu, jangan lekas patah arang. Sekalipun saya katakan menjadi seorang fotografer pernikahan bagi seorang puan bukan perkara yang gampang, saya tak akan ujug-ujug memupuskan harapan yang sudah terlanjur berkembang—dan jika ada seorang puan yang sudah terlanjur kepincut untuk jadi salah salah satu di antaranya, saya bersedia berbagi pengalaman.Â
 (baca: semua hal ini bisa kau cari tahu sendiri karena tekonologi informasi sudah terlampau memanjakan kita) yang sudah saya pelajari yang harus seorang puan lakukan jika tertarik ingin menjadi seorang female wedding photographer dan hal-hal yang akan saya bagikan ini akan sangat membantu para puan mewujudkan impian itu—dan dari sekian banyak hal-hal non teknis yang jadi acuan, saya sudah mengerucutkannya menjadi empat (4) dan keempat ini adalah "pakem" dasarnya.
Ada beberapa hal di luar persoalan teknis1. Sabar adalah anugerah terbesar
Dalam "kamus" menjadi seorang female wedding photographer sabar menempati bagian yang paling "tebal".
Karena apa?
Karena, lewat urusan yang satu ini, jika sudah bisa dikuasai, hal-hal yang lain tinggal mengikuti.
Sabar yang saya maksud akan diuji dalam dua kondisi. Pertama, seorang female wedding photographer akan dihadapkan dengan stigma—tentang betapa orang-orang masih aneh melihat profesi ini dilakukan oleh seorang puan. Saya pribadi sudah kenyang dengan perlakuan ini.
Ucapan "wah, fotografernya cewek lho" bisa diartikan sebagai cibiran jika tidak disikapi dengan dewasa—dan tak peduli sudah berapa ratus pasangan yang momen sakral pernikahannya saya abadikan, masih saja seringkali kata-kata itu mampir di telinga saya.
Kondisi kedua—tentu saja—saat berhadapan dengan klien yang project-nya ditangani.
Well, dalam kasus saya, tentu tidak mudah "mengatur" isi kepala klien lalu menyesuaikannya dengan apa yang ada dalam kepala saya bukan?
Di sinilah skill interpersonal seorang fotografer digunakan.
Baca juga ini: Selalu Ada Hipotesis untuk Dia yang Jago Bicara
2. Malu? Tunda dulu
Saya akui, dalam kehidupan yang sesungguhnya, saya adalah tipikal orang yang tidak terlalu jago bicara—alih-alih bisa dikatakan clumsy karena tidak piawai berbasa-basi. Tapi, tidak ketika saya sedang memegang kendali terhadap "show" yang saya jadi pemimpinnya.
Dalam melakoni laku sebagai seorang fotografer pernikahan, kadang di lapangan saya tanpa sadar melakukan "akrobat" yang mengundang bisik-bisik oleh mereka yang melihat.
Jongkok demi sebuah low angle—bahkan frog angle—atau naik kursi demi sebuah olah visual yag ciamik (baca: high angle—atau bahkan bird view), sudah jadi santapan yang tak berbilang—atau diam-diam memencet shutter untuk menghasilkan foto candid yang memiliki cerita yang beragam.
Semuanya pernah saya lakukan.
Karenanya, bagi para puan, jangan pernah berpikir ingin menjadi seorang fotografer terutama fotografer rangkaian seremonial pernikahan jika tidak siap bertemu dengan banyak orang dari berbagai kalangan—dan atau dilihat oleh mereka saat mengabdikan sebuah cerita dalam bentuk "sastra" mata.
Malu? No, malu itu haram hukumnya!
3. Terbentur...terbentur...jadilah lentur
Dengan segala hal-hal teknis atau non teknis yang pasti akan ditemui, sudah barang tentu akan menyita perhatian seorang fotografer—terlebih sebagai wedding photographer—sehingga keadaan lelah (baca: baik fisik atau pikiran) adalah bagian yang tak terelakkan.Â
Acapkali hal-hal tersebut yang sering membuat seorang fotografer mengeluh. Di sinilah perumpamaan menjadi "elastis"—alih-alih orang-orang menyebutnya dengan tahan banting—adalah pilihan.
Jujur saja, bagi seorang puan ini bukan perkara mudah. Saya berkata demikian karena saya juga seorang puan.
Jadi, tolong dipikirkan dengan matang sebelum menjadikan fotografi seremonial pernikahan sebagai tempat "bertualang".
Nalar estetika sebuah rasa
4.Sebuah foto yang diabadikan selalu berangkat dari sebuah momen dari perpaduan antara realita dan imajinasi—demikian Maya Flore berkata.
Dengan kata lain, bagi saya, sebuah nalar estetika seorang fotografer (baca: termasuk sebagai female wedding photographer) akan berkembang dengan sendirinya seiring waktu: practice makes perfect—dan kepekaan dalam "membacanya" hanya akan bisa disiasati dengan kemauan belajar dengan sesama kaum "intelektual" di bidang ini yang telah lebih dulu memiliki nama "besar"—atau setidaknya ada seorang fotografer yang benar-benar bisa dijadikan sebagai panutan.
Banyak cara yang bisa dilakukan untuk mengasah nalar estetika dan kepekaan ini, hanya saja fotografi membuka kesempatan yang seluas-luasnya untuk siapapun mempelajarinya.
Tidak ada hukum mutlak yang membatasi; fotografer bebas berkreasi.
Memang benar, seseorang menggunakan foto sebagai "alat" untuk mengunjungi ingatan dari sebuah momen atas peristiwa yang pernah terjadi sehingga tak heran kenangan yang dihadirkan oleh foto tersebut jauh lebih kuat dibandingkan siapa yang mengabadikannya.
Tapi, meskipun demikian, itu tidak akan jadi soal. Karena saat seorang fotografer berada di belakang lensa, di saat itulah sebenarnya dia sudah menemukan "jalan" kebahagiaannya sendiri sebagai seorang seniman.Â
Hanya saja, jika setelah membaca tulisan ini keinginan itu justeru surut teratur—apa mau dikata—tah, akan selalu ada seratus alasan untuk mundur.Â
Salam jepret dari saya.Â
Tabik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H