Dalam "kamus" menjadi seorang female wedding photographer sabar menempati bagian yang paling "tebal".
Karena apa?
Karena, lewat urusan yang satu ini, jika sudah bisa dikuasai, hal-hal yang lain tinggal mengikuti.
Sabar yang saya maksud akan diuji dalam dua kondisi. Pertama, seorang female wedding photographer akan dihadapkan dengan stigma—tentang betapa orang-orang masih aneh melihat profesi ini dilakukan oleh seorang puan. Saya pribadi sudah kenyang dengan perlakuan ini.
Ucapan "wah, fotografernya cewek lho" bisa diartikan sebagai cibiran jika tidak disikapi dengan dewasa—dan tak peduli sudah berapa ratus pasangan yang momen sakral pernikahannya saya abadikan, masih saja seringkali kata-kata itu mampir di telinga saya.
Kondisi kedua—tentu saja—saat berhadapan dengan klien yang project-nya ditangani.
Well, dalam kasus saya, tentu tidak mudah "mengatur" isi kepala klien lalu menyesuaikannya dengan apa yang ada dalam kepala saya bukan?
Di sinilah skill interpersonal seorang fotografer digunakan.
Baca juga ini: Selalu Ada Hipotesis untuk Dia yang Jago Bicara
2. Malu? Tunda dulu
Saya akui, dalam kehidupan yang sesungguhnya, saya adalah tipikal orang yang tidak terlalu jago bicara—alih-alih bisa dikatakan clumsy karena tidak piawai berbasa-basi. Tapi, tidak ketika saya sedang memegang kendali terhadap "show" yang saya jadi pemimpinnya.