Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Photographer, Media Freelancer

Best in Opinion Nominee of Kompasiana Awards 2021 dan 2024 | Peduli menyoal isu-isu terkini terutama sosial-budaya dan gender | Verba Volant Scripta Manent | Kerja sama: kazena.krista@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Kepincut Jadi Female Wedding Photographer? Boleh Saja tapi 4 "Pakem" Ini Harus Dipegang

13 Juni 2021   05:39 Diperbarui: 13 Juni 2021   08:55 1248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pernikahan (Romanno via regional.kompas.com)

Dalam melakoni laku sebagai seorang fotografer pernikahan, kadang di lapangan saya tanpa sadar melakukan "akrobat" yang mengundang bisik-bisik oleh mereka yang melihat.

Jongkok demi sebuah low angle—bahkan frog angle—atau naik kursi demi sebuah olah visual yag ciamik (baca: high angle—atau bahkan bird view), sudah jadi santapan yang tak berbilang—atau diam-diam memencet shutter untuk menghasilkan foto candid yang memiliki cerita yang beragam.

Semuanya pernah saya lakukan.

Karenanya, bagi para puan, jangan pernah berpikir ingin menjadi seorang fotografer terutama fotografer rangkaian seremonial pernikahan jika tidak siap bertemu dengan banyak orang dari berbagai kalangan—dan atau dilihat oleh mereka saat mengabdikan sebuah cerita dalam bentuk "sastra" mata.

Malu? No, malu itu haram hukumnya!

3. Terbentur...terbentur...jadilah lentur

Dengan segala hal-hal teknis atau non teknis yang pasti akan ditemui, sudah barang tentu akan menyita perhatian seorang fotografer—terlebih sebagai wedding photographer—sehingga keadaan lelah (baca: baik fisik atau pikiran) adalah bagian yang tak terelakkan. 

Acapkali hal-hal tersebut yang sering membuat seorang fotografer mengeluh. Di sinilah perumpamaan menjadi "elastis"—alih-alih orang-orang menyebutnya dengan tahan banting—adalah pilihan.

Jujur saja, bagi seorang puan ini bukan perkara mudah. Saya berkata demikian karena saya juga seorang puan.

Jadi, tolong dipikirkan dengan matang sebelum menjadikan fotografi seremonial pernikahan sebagai tempat "bertualang".

4. Nalar estetika sebuah rasa

Sebuah foto yang diabadikan selalu berangkat dari sebuah momen dari perpaduan antara realita dan imajinasi—demikian Maya Flore berkata.

Dengan kata lain, bagi saya, sebuah nalar estetika seorang fotografer (baca: termasuk sebagai female wedding photographer) akan berkembang dengan sendirinya seiring waktu: practice makes perfect—dan kepekaan dalam "membacanya" hanya akan bisa disiasati dengan kemauan belajar dengan sesama kaum "intelektual" di bidang ini yang telah lebih dulu memiliki nama "besar"—atau setidaknya ada seorang fotografer yang benar-benar bisa dijadikan sebagai panutan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun