Sering datang telat, di kelas sering usil dan cekikikan, diam-diam ke kantin saat jam kosong pelajaran—atau ditantangin untuk kebut-kebutan adalah personal branding saya pada masa-masa itu.
Ya, saya terbilang agak badung semasa sekolah dan kuliah, itu saya akui.
Oh, c'mon, apa serunya hidup tanpa bersinggungan dengan risiko?
Tapi, setidaknya seiring waktu saya tahu ternyata ada yang lebih kompleks dari itu:Â
Bikin tugas dengan teman yang tak satu visi itu menjengkelkan—atau berusaha ramah dengan dosen yang konservatif itu lumayan menyebalkan.
Tapi, Thank God, saya tidak sampai harus dipanggil dekan. Saya boleh berbangga diri karena saya punya pengendalian diri yang baik selama yang saya hadapi itu tidak diluar akal sehat saya tentunya.Â
Lepas menempuh pendidikan, step selanjutnya apa lagi selain menjalani siklus kerja.Â
Pun dulu saya beranggapan, pencapaian hidup saya semuanya "harus" akan saya mulai dari sini: no pain no gain. Pokoknya kerja keras.
Dulu saya tak pernah tahu konsep kerja cerdas—alih-alih tahu apa itu efisiensi tubuh (baca: tenaga) dan waktu.
Suatu kali seorang dosen bertanya pada saat kelas berlangsung tentang apa yang akan kami lakukan setelah lulus kuliah—dan seolah bisa ditebak seluruh dari kami menjawab...ya apa lagi selain "mencari kerja".Â
Beliau tersenyum lalu berkata, "kalian itu anak-anak praktikum, seharusnya kalian mikir lepas dong, dari sini kalian harus bikin lapangan kerja kalian sendiri."
Jleb!