Selama hatimu ditenangkan dengan keadaan berpasrah diri—dari segala sesuatu yang di luar kendalimu sebagai manusia—semuanya akan baik-baik saja.
Saya sematkan kalimat ini di akun Twitter saya sejak November 2019 yang lalu—dan bertahan hingga sekarang. Saya membuatnya sebagai pengingat pada hari-hari mendatang kalau segala sesuatu jika tak berjalan sesuai dengan aturan yang sudah dibuat (baca: sesuai yang saya harapkan dan saya doakan) maka saya tak perlu terlalu bersusah hati—setidaknya saya sudah berusaha semampu saya.
Lalu, bagaimana pasca 2020?Â
Oh, makin ajib tentunya!
Saya memang tidak bisa—ujug-ujug—mengubah, menerpa, menerjang segala apa yang ada; yang walau halangan dan rintangan semakin panjang membentang, tak jadi masalah dan tak akan jadi beban pikiran. Saya bukan Kera Sakti yang saya tonton di era tahun 90-an.
Dulu, siklus hidup (baca: cita-cita) masa muda saya saat usia 25 sangatlah sederhana—sesederhana siklus: sekolah-bekerja-menikah. Sangat sederhana setidaknya sebelum saya mendapat "pencerahan" dalam hidup saya.
Semula siklus hidup tadi saya yakini sebagai kebenaran yang "hakiki" dalam kehidupan dan tak akan membuat saya terlalu kerepotan—alih-alih mendapat kesulitan—dalam mewujudkannya meskipun sejak awal saya tahu formulanya adalah tetap akan menaklukkan banyak tantangan.Â
Karena saya tahu, tak satupun sesuatu yang telah atau kelak saya dapatkan dalam hidup tak saya lakukan dengan kompetisi walau sebenarnya jika mau jujur kompetitor sejati saya adalah (baca: mengalahkan) diri sendiri sendiri.
Semasa menempuh pendidikan, contohnya, saya tidak bilang kalau saya seseorang yang paling pandai. Tapi, saya adalah orang yang "lurus"Â dan tidak pernah neko-neko.Â
Nilai-nilai saya jarang jeblok—alih-alih jika tidak ingin dikatakan rata-rata memuaskan dan bisa membuat saya jumawa lantas kepengin memuji diri sendiri. Rajin adalah kunci meski kenakalan diusia remaja tak bisa terlalu saya hindari.
Sering datang telat, di kelas sering usil dan cekikikan, diam-diam ke kantin saat jam kosong pelajaran—atau ditantangin untuk kebut-kebutan adalah personal branding saya pada masa-masa itu.
Ya, saya terbilang agak badung semasa sekolah dan kuliah, itu saya akui.
Oh, c'mon, apa serunya hidup tanpa bersinggungan dengan risiko?
Tapi, setidaknya seiring waktu saya tahu ternyata ada yang lebih kompleks dari itu:Â
Bikin tugas dengan teman yang tak satu visi itu menjengkelkan—atau berusaha ramah dengan dosen yang konservatif itu lumayan menyebalkan.
Tapi, Thank God, saya tidak sampai harus dipanggil dekan. Saya boleh berbangga diri karena saya punya pengendalian diri yang baik selama yang saya hadapi itu tidak diluar akal sehat saya tentunya.Â
Lepas menempuh pendidikan, step selanjutnya apa lagi selain menjalani siklus kerja.Â
Pun dulu saya beranggapan, pencapaian hidup saya semuanya "harus" akan saya mulai dari sini: no pain no gain. Pokoknya kerja keras.
Dulu saya tak pernah tahu konsep kerja cerdas—alih-alih tahu apa itu efisiensi tubuh (baca: tenaga) dan waktu.
Suatu kali seorang dosen bertanya pada saat kelas berlangsung tentang apa yang akan kami lakukan setelah lulus kuliah—dan seolah bisa ditebak seluruh dari kami menjawab...ya apa lagi selain "mencari kerja".Â
Beliau tersenyum lalu berkata, "kalian itu anak-anak praktikum, seharusnya kalian mikir lepas dong, dari sini kalian harus bikin lapangan kerja kalian sendiri."
Jleb!
Saya salah satu mahasiswanya yang terpukau dengan kata-katanya ketika itu—bahkan terkadang hingga sekarang. Namun, ada yang luput dosen saya sadari bahwa yang dikatakannya saat itu hanya relevan untuknya—karena dia sudah menjalani fase itu—dan tidak untuk kami, para mahasiswanya.Â
Bagi saya, apa yang beliau katakan tak lebih dari fungsinya berbagi pengalaman—bukan sebuah doktrin kontrol di masa depan.
Kenapa saya katakan demikian? Karena lepas kuliah, saya masih memilih bekerja layaknya kebanyakan orang. Rupiah demi rupiah dikumpulkan—entah untuk membutuhi kebutuhan atau membeli keinginan.
Setidaknya itu sebelum saya tahu bahwa bekerja tak melulu dengan menghadirkan tubuh dan pikiran monoton delapan jam sehari tapi bisa juga sedikit santai-santai—alih-alih ketawa-ketiwi—dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi diselingi scrolling itu dan ini dan ngopi tak cukup sekali.
Dengan kata lain, setidaknya saya jadi tuan untuk waktu yang saya buat sendiri.
Last but not least: menikah.
Mungkin sebagian besar orang berpikir menikah adalah "keharusan"—setidaknya banyak orang yang dibuat stres dengan perkara ini.
Dulu saya pun begitu. Dulu saya juga menilai, memang apa lagi yang seorang puan lakukan setelah bekerja—dan setelah pas waktunya—selain menikah lalu punya anak (yang boleh jadi tak cukup satu atau dua)?
Percayalah, saya juga pernah berada di fase insecure berpikir soal menikah ini. Tanpa saya sadar ternyata masa depan justeru saya percayakan pada standar "apa kata orang"—alih-alih tahu apa itu feminisme dan apa pula yang (baca: para penganutnya) diperjuangkan.
Hingga pada akhirnya, saya memaksa diri saya untuk belajar bahwa urusan perkara menikah tak hanya soal seksual, mental dan finansial—melainkan menemukan orang yang "tepat".
Seseorang yang bagi saya tak cuma harus setia (baca: monogami), dan bertanggung jawab namun juga bisa saling isi-saling melengkapi; seseorang yang tak sekadar jadi sahabat, ayah namun juga layaknya saudara laki-laki untuk saya: yang akan memuji saya jika saya benar dan tak segera menghakimi ketika saya salah.
Seseorang yang sama rasa terhadap apa yang dirasa, yang jika saya bisa melakukannya, dia tak keberatan pula melakukan hal yang sama.
Dulu pemahaman saya soal akan menjadi apa di usia 25 dan bagaimana menjalaninya masih samar terlihat bagi saya—karena saya tanpa sadar masih dicekoki pemahaman dari siklus hidup kebanyakan orang: sekolah-bekerja-menikah.
Padahal banyak yang perlu dipertimbangkan untuk diperjuangkan, banyak pula mimpi yang ingin sekali diwujudnyatakan.Â
Sekarang semuanya bagi saya tak lebih penting setelah saya benar-benar menjalaninya—setelah berhasil melewatinya.
Hidup seseorang memang tak hanya bicara tentang bagaimana hukum semesta (baca: takdir Tuhan) bekerja melainkan juga tentang ragam pilihan yang dihadapkan padanya dan bertanggung jawab setelahnya.
Sampailah kita pada simpulan sederhana:
Saat usia 25, semua orang sibuk merasa tidak "aman" karena pencapaian-pencapaian, semua orang sibuk bertanya tentang aneka "kapan". Tapi, tak satupun benar-benar peduli atau sekadar ingin tahu apakah seseorang akan—atau telah—bahagia kah saat dia menjalaninya?
Melewati fase usia 25 kadang memang—dan akan—seaneh itu.
Tabik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H