Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Photographer, Media Freelancer

Best in Opinion Nominee of Kompasiana Award 2021 | Peduli menyoal isu-isu terkini terutama sosial-budaya dan gender | Verba Volant Scripta Manent |

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Buku Harian Seorang Istri, Consent dan Jahatnya Patriarki yang Sistemik

25 Maret 2021   04:20 Diperbarui: 25 Maret 2021   07:40 828
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para pemain utama sinetron Buku Harian Seorang Isteri (Sumber Galamedia-Pikiran Rakyat)

Bukankah jika pun dia dilecehkan saat dia disekap, tidak ada consent yang terjadi karena dia tidak sadarkan diri?

Dan jika dibenturkan pada realitas sesungguhnya, pertanyaan paling pentingnya adalah: mengapa sedangkal itu pemikiran seseorang (baca: individu dalam masyarakat dalam cakupan luas) yang menganggap kehormatan seorang perempuan semata-mata hanya terletak pada organ-organ tertentu pada dirinya?!

Apa yang dirasakan Nana dan apa yang digugat oleh ibu dari suaminya itu tidak akan terjadi jika perempuan punya otoritas terhadap dirinya sendiri (baca: mampu bertanggung jawab atas tubuh—dan pemikirannya—sebagai individu yang merdeka)—dengan kata lain memilih untuk menolak menjadi korban dari konstruksi yang menyudutkan perempuan. 

Tapi, realitas yang terjadi di kultur masyarakat, justeru kebalikannya. 

Sejak dulu (menurut Thamrin Tamagola*, sosiolog UI yang pada tahun 1990, saat ia meneliti mengenai perempuan dalam iklan di majalah wanita) perempuan digambarkan tak jauh-jauh dari citra 5 P yaitu citra pilar (pengelola rumah tangga), citra pinggan (berkaitan dengan dapur sebagai penyedia makan dan minum), citra peraduan (berhubungan dengan seks), citra pigura (berkaitan dengan kecantikan dan pemikat) serta citra pergaulan (dalam urusan publik hanya digambarkan sebagai pendamping di lingkungan kerja)—dan menurut saya, tulisan ini setidaknya menyasar pada citra ketiga dan keeempat.

Dua citra yang saya maksud secara kontekstual berbicara tentang perempuan yang pada akhirnya diimplementasikan sebagai sosok yang harus nrimo dalam bingkai "taat" terhadap laki-laki (suami) dengan memberikan yang terbaik menyoal seks (berbalut rupanya yang dituntut harus menawan—serta manut?) dalam konsep sistem patriarki; lewat perannya dalam bingkai ketaatan itulah kebanyakan perempuan memang "kebablasan" dalam menyikapinya. 

Bahkan kebanyakan perempuan tak sadar jika sedang dieksploitasi atau dimanipulasi—atau sadar diperlakukan demikian namun menolak untuk melawan karena merasa wajar dilakukan hanya karena gender-nya perempuan.

Miris? Tentu saja!

Namun, apa mau dikata?

Lenyap atau tidaknya patriarki sistemik ini adalah kerja bersama; adalah kerjasama. Bukan semata tugas para Social Justice Warrior (dalam hal ini mengambil rupa seorang feminis dengan paham feminisme-nya) melainkan semua pihak harus ikut ambil peran, lintas gender sekalipun. 

Di sisi yang bersebrangan, tidak elok sebenarnya jika media (sinetron) mengeksploitasi dan memanipulasi habis-habisan perempuan dengan menempatkan perempuan sebagai sosok yang "selalu" teraniaya atau menganiaya sesamanya, sebagai obyek yang di-"kompetisi"-kan dan sebagai korban dari kejahatan "stigma" seperti yang sudah saya uraikan di atas—sekalipun dengan dalih jalan cerita semacam itu masih diinginkan oleh pasar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun