Sejak awal saya sudah menggaransikan (berangkat dari sinopsis yang saya baca sebelumnya diawal-awal mulainya sinetron ini) jika sinetron ini akan memantik sisi emosional saya sebagai seorang perempuan sekalipun saya tidak dengan sengaja meluangkan waktu saya untuk menontonnya.
Dan benar saja, kian hari sinetron ini kian meresahkan!
Berangkat dari jalan cerita yang kian hari kian bikin gemas itulah, membuat saya merasa harus menulis artikel singkat ini.
Sedikit kilas balik, konflik utama dari sinetron ini diawali dari pernikahan terpaksa yang dijalani antara Nana (Zoe Abbas Jackson) dengan Dewa Buwana (Cinta Brian) atas permintaan Wawan (Umar Lubis), ayah Nana, jika Dewa tidak ingin dilaporkan ke polisi setelah menabraknya.
Singkat cerita permulaan sinetron ini diawali dengan digambarkannya secara jelas bahwa pernikahan Nana dan Dewa tidak bahagia karena memang tidak didasari dengan cinta sebagai konsep dasar berumahtangga dan dengan alasan itu pula lah—seolah bisa ditebak—Nana kerap mendapat perlakuan kasar dari keluarga barunya itu, termasuk dari suaminya. Seolah belum cukup, Dewa pun berselingkuh dengan Alya (Hana Saraswati) diawal pernikahan mereka.
Lihat, sejak awal saja betapa sudah jatuh tertimpa tangga—besi—pula apa yang dialami Nana!
Data survei yang dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pada Februari 2020 yang menyatakan enam puluh persen penduduk Indonesia masih merupakan penonton setia sinetron—dan itu seharusnya menjadi acuan bagi media (termasuk rumah-rumah produksi) untuk menghadirkan produk tontonan yang "sehat" ke tengah-tengah masyarakat.Â
Sayangnya, Buku Harian Seorang Isteri (yang menjadi sorotan dalam tulisan ini) menjadi bukti konkret betapa harapan itu masih jauh panggang dari api.Â
Dengan dalih masih diminati pasar: rating dipertuankan, harapan mendapat tontonan mendidik bagi kita masihlah bagai pungguk merindukan bulan.
Namun, dari sekian banyak kritik keras yang tak berkesudahan yang saya layangkan pada diri sendiri terhadap jalan cerita sinetron ini (baca: karena melanggengkan sistem patriarki dengan segala kerugian yang diakibatkan olehnya), ada satu yang benar-benar bikin saya mengurut dada beberapa hari belakangan—dan itu adalah masalah consent tentang hubungan (yang menyoal seks) yang menyangkut di antara laki-laki dan perempuan!
Berangkat dari dialog antara tokoh-tokoh pemeran Buku Sinetron Seorang Isteri itu sendirilah saya tahu (yang saya dengar tatkala saya sering berkutat dengan revisi tulisan atau desain yang saya kerjakan dari kamar saya) hal tersebut.
Tersebutlah jika Nana pernah disekap berhari-hari oleh Kevin (Kevin Kambey), pesaing perusahaan keluarga Buwana (yang pernah menjadi mantan pacar dari mantan tunangan Dewa, Claudia, yang telah meninggal dunia akibat kecelakaan. Kevin yang menurut jalan cerita tetap setia pada asumsinya dengan menuduh bahwa kematian mantan pacarnya itu diakibatkan karena Dewa tidak menjaganya dengan baik. Kevin sangat mencintai Claudia.).
Singkat cerita (karena satu dan lain hal), Alya lah yang merekayasa (meskipun bukan yang menjadi pelaku penyekapan Nana) agar keluarga Buwana termasuk Dewa mempertanyakan apakah Nana mendapat pelecehan (atau perkosaan?)—atau tidak dari Kevin. Karena selama dia disekap, Nana tak sadarkan diri akibat dibius terus-menerus. Tentu saja, Alya melakukan itu sebagai bentuk perlawanannya yang merasa tertindas karena porsinya dalam kehidupan Dewa pelan-pelan hilang seiring terbukanya hati Dewa yang mulai menaruh hati pada Nana—selain motif terselubungnya yang dendam terhadap Farah (Dian Nitami), ibu Dewa.Â
Tentu saja dugaan (atau tuduhan) Alya tersebut membuat Nana merasa "kotor" sebagai perempuan dan merasa tidak pantas untuk menjadi isteri bagi Dewa—dan mertuanya, ikut menekannya agar Nana melakukan tes "kewanitaan" dengan dalih (berlindung) demi menjunjung martabat keluarga—dan jika tes itu terbukti benar, maka Nana, menurutnya, pantas untuk diceraikan.
Di sinilah gagapnya pemahaman consent (baca: persetujuan) oleh seseorang dalam relasi hubungan antara dua individu dan langgengnya patriarki yang sistemik dalam masyarakat yang ingin saya bahas secara singkat melalui tulisan ini.
Consent (baca: bagi saya sendiri) dalam framing relasi sebuah hubungan (yang menyoal seks) adalah "persetujuan" dari dua pelaku yang terlibat di dalamnya; kedua belah pihak seharusnya memang setara, keduanya harus memiliki hasrat dan terpanggil dengan sukarela tanpa paksaan untuk melakukannya—dan (dalam part episode) sinetron yang tayang di jam prime time tersebut, kita gagal menyaksikan itu.
Bagaimana bisa Nana berpikir dia "kotor" (baca: karena dicekoki asumsi telah dilecehkan oleh Kevin) dan beranggapan dia tak pantas berhadapan dengan suaminya sebagai isteri jika memang benar dilecehkan—sementara jika dirunut Dewa juga pernah berselingkuh dengan Alya, sekretarisnya?
Mengapa pula mertuanya ujug-ujug mempertanyakan kehormatannya sebagai seorang perempuan dan sebagai seorang isteri namun di sisi yang lain justeru menutup mata akan perselingkuhan yang terang-terangan pernah dilakukan Dewa, anak laki-lakinya?—
Tetapi, yang saya tidak habis pikir, kok ada ya seorang perempuan (baca: isteri) yang bodohnya dengan sukarela menilai diri sendiri tak layak bagi suaminya (akibat asumsi yang belum terbukti kebenarannya bahwa dirinya telah dilecehkan laki-laki lain?); dengan kata lain dia merasa gagal memberikan yang terbaik sebagai seorang isteri untuk suaminya terhadap apa yang orang-orang sebut sebagai kehormatan atau kesucian seorang perempuan?!
Naif yang kelewatan atau dungu yang tak berdasar?
Bukankah jika pun dia dilecehkan saat dia disekap, tidak ada consent yang terjadi karena dia tidak sadarkan diri?
Dan jika dibenturkan pada realitas sesungguhnya, pertanyaan paling pentingnya adalah: mengapa sedangkal itu pemikiran seseorang (baca: individu dalam masyarakat dalam cakupan luas) yang menganggap kehormatan seorang perempuan semata-mata hanya terletak pada organ-organ tertentu pada dirinya?!
Apa yang dirasakan Nana dan apa yang digugat oleh ibu dari suaminya itu tidak akan terjadi jika perempuan punya otoritas terhadap dirinya sendiri (baca: mampu bertanggung jawab atas tubuh—dan pemikirannya—sebagai individu yang merdeka)—dengan kata lain memilih untuk menolak menjadi korban dari konstruksi yang menyudutkan perempuan.Â
Tapi, realitas yang terjadi di kultur masyarakat, justeru kebalikannya.Â
Sejak dulu (menurut Thamrin Tamagola*, sosiolog UI yang pada tahun 1990, saat ia meneliti mengenai perempuan dalam iklan di majalah wanita) perempuan digambarkan tak jauh-jauh dari citra 5 P yaitu citra pilar (pengelola rumah tangga), citra pinggan (berkaitan dengan dapur sebagai penyedia makan dan minum), citra peraduan (berhubungan dengan seks), citra pigura (berkaitan dengan kecantikan dan pemikat) serta citra pergaulan (dalam urusan publik hanya digambarkan sebagai pendamping di lingkungan kerja)—dan menurut saya, tulisan ini setidaknya menyasar pada citra ketiga dan keeempat.
Dua citra yang saya maksud secara kontekstual berbicara tentang perempuan yang pada akhirnya diimplementasikan sebagai sosok yang harus nrimo dalam bingkai "taat" terhadap laki-laki (suami) dengan memberikan yang terbaik menyoal seks (berbalut rupanya yang dituntut harus menawan—serta manut?) dalam konsep sistem patriarki; lewat perannya dalam bingkai ketaatan itulah kebanyakan perempuan memang "kebablasan" dalam menyikapinya.Â
Bahkan kebanyakan perempuan tak sadar jika sedang dieksploitasi atau dimanipulasi—atau sadar diperlakukan demikian namun menolak untuk melawan karena merasa wajar dilakukan hanya karena gender-nya perempuan.
Miris? Tentu saja!
Namun, apa mau dikata?
Lenyap atau tidaknya patriarki sistemik ini adalah kerja bersama; adalah kerjasama. Bukan semata tugas para Social Justice Warrior (dalam hal ini mengambil rupa seorang feminis dengan paham feminisme-nya) melainkan semua pihak harus ikut ambil peran, lintas gender sekalipun.Â
Di sisi yang bersebrangan, tidak elok sebenarnya jika media (sinetron) mengeksploitasi dan memanipulasi habis-habisan perempuan dengan menempatkan perempuan sebagai sosok yang "selalu" teraniaya atau menganiaya sesamanya, sebagai obyek yang di-"kompetisi"-kan dan sebagai korban dari kejahatan "stigma" seperti yang sudah saya uraikan di atas—sekalipun dengan dalih jalan cerita semacam itu masih diinginkan oleh pasar.
Media (sinetron) seharusnya punya kekuatan dan sejatinya—memang—memiliki itu untuk mengubah semua "ideologi" dari patriarki yang sistemik yang terlanjur sudah mengakar kuat serta menjadi tradisi tersebut; media (sinetron) seharusnya bisa menjadi "dalang" perubahan dengan menjadikan perempuan pelan-pelan berdaya dan tidak saling menyakiti sesamanya hanya demi untuk terlihat pantas di mata masyarakat.
Media (sinetron) sejatinya pula dapat membentuk pemahaman yang tegas (tidak juga abu-abu) dan tidak mencla-mencle jika memang ingin ikut berperan dengan ambil bagian agar patriarki sistemik ini dengan perlahan pudar dari kultur bermasyarakat kita yang berkelanjutan.Â
Caranya?Â
Tentu saja ubah ide cerita; ubah jalinan skenario.
Tapi, percayalah, itu mustahil (baca: hilangnya patriarki sistemik) diwujudkan jika yang jadi acuan masihlah seputar cuan!
Tabik.
Catatan:
*: referensi bacaan diambil dari jurnal yang ditulis oleh Wirnasari Mulya Dewi untuk repository Universitas Airlangga
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H