Bukankah jika pun dia dilecehkan saat dia disekap, tidak ada consent yang terjadi karena dia tidak sadarkan diri?
Dan jika dibenturkan pada realitas sesungguhnya, pertanyaan paling pentingnya adalah: mengapa sedangkal itu pemikiran seseorang (baca: individu dalam masyarakat dalam cakupan luas) yang menganggap kehormatan seorang perempuan semata-mata hanya terletak pada organ-organ tertentu pada dirinya?!
Apa yang dirasakan Nana dan apa yang digugat oleh ibu dari suaminya itu tidak akan terjadi jika perempuan punya otoritas terhadap dirinya sendiri (baca: mampu bertanggung jawab atas tubuh—dan pemikirannya—sebagai individu yang merdeka)—dengan kata lain memilih untuk menolak menjadi korban dari konstruksi yang menyudutkan perempuan.Â
Tapi, realitas yang terjadi di kultur masyarakat, justeru kebalikannya.Â
Sejak dulu (menurut Thamrin Tamagola*, sosiolog UI yang pada tahun 1990, saat ia meneliti mengenai perempuan dalam iklan di majalah wanita) perempuan digambarkan tak jauh-jauh dari citra 5 P yaitu citra pilar (pengelola rumah tangga), citra pinggan (berkaitan dengan dapur sebagai penyedia makan dan minum), citra peraduan (berhubungan dengan seks), citra pigura (berkaitan dengan kecantikan dan pemikat) serta citra pergaulan (dalam urusan publik hanya digambarkan sebagai pendamping di lingkungan kerja)—dan menurut saya, tulisan ini setidaknya menyasar pada citra ketiga dan keeempat.
Dua citra yang saya maksud secara kontekstual berbicara tentang perempuan yang pada akhirnya diimplementasikan sebagai sosok yang harus nrimo dalam bingkai "taat" terhadap laki-laki (suami) dengan memberikan yang terbaik menyoal seks (berbalut rupanya yang dituntut harus menawan—serta manut?) dalam konsep sistem patriarki; lewat perannya dalam bingkai ketaatan itulah kebanyakan perempuan memang "kebablasan" dalam menyikapinya.Â
Bahkan kebanyakan perempuan tak sadar jika sedang dieksploitasi atau dimanipulasi—atau sadar diperlakukan demikian namun menolak untuk melawan karena merasa wajar dilakukan hanya karena gender-nya perempuan.
Miris? Tentu saja!
Namun, apa mau dikata?
Lenyap atau tidaknya patriarki sistemik ini adalah kerja bersama; adalah kerjasama. Bukan semata tugas para Social Justice Warrior (dalam hal ini mengambil rupa seorang feminis dengan paham feminisme-nya) melainkan semua pihak harus ikut ambil peran, lintas gender sekalipun.Â
Di sisi yang bersebrangan, tidak elok sebenarnya jika media (sinetron) mengeksploitasi dan memanipulasi habis-habisan perempuan dengan menempatkan perempuan sebagai sosok yang "selalu" teraniaya atau menganiaya sesamanya, sebagai obyek yang di-"kompetisi"-kan dan sebagai korban dari kejahatan "stigma" seperti yang sudah saya uraikan di atas—sekalipun dengan dalih jalan cerita semacam itu masih diinginkan oleh pasar.