Katedrarajawen _Masih mabuk rupanya. Aneh. Kenapa saling mengalah malah tidak baik? Sabar. Ingat, apa yang lihat atau terbaca belum tentu benar.Â
Menilai sesuatu hanya berdasarkan apa yang tampak oleh mata, Acapkali menyesatkan. Timbul salah paham mengotori hati.Â
Dalam hidup keseharian. Saya perhatikan bahwa adakalanya saling mengalah itu hasilnya memang tidak  baik.Â
Baik. Silahkan baca baik-baik. Di persimpangan jalan dua kendaraan berpapasan. Karena dua-duanya orang baik. Mereka saling mengalah.Â
Tidak ada yang mau duluan kata lainnya. Saling memberi kode 'ayo, kamu yang duluan'. Berlangsung sekian waktu.Â
Bisa dibayangkan apa yang terjadi? Di belakang klakson saling bersahutan. Ditambah lagi kata-kata tak sabaran.Â
Bukankah ini namanya sikap baik untuk saling mengalah, tetapi hasilnya tidak baik. Menimbulkan kekacauan malah.Â
Jadi dikatakan, bahwa memiliki sifat baik itu tidak cukup. Perlu bijaksana menyikapi.
Apa yang dipikir baik. Belum pasti baik. Masih perlu menyikapi dengan hati.Â
Misalnya ada yang minta uang sama kita. Karena mentang-mentang merasa baik. Langsung memberi. Padahal sudah tahu, orang yang minta itu tukang mabuk.Â
Bila hanya berpikir positif. Yang penting sudah niat baik kasih dia duit. Masalah buat mabuk, itu bukan urusan saya lagi. Yang mabuk dia.
Kelihatan memang baik. Sebenarnya tidak baik. Apakah mendukung orang melakukan  kesalahan itu baik?
Berpikir baik saja belum cukup. Namun perlu berpikir baik-baik secara mendalam. Bukan asal berpikir baik.Â
Itu sebabnya apa yang sering dikatakan atau dilakukan orang bijak tampak tidak baik. Tega. Tetapi itulah kebaikan yang sesungguhnya.Â
Ada kisah. Seorang biksu justru pergi meminta derma ke seorang nenek miskin. Apa-apaan  ini biksu? Apa tidak pakai otak? Apa yang bisa orang miskin berikan?Â
Tak heran biksu lain mengolok-olok biksu ini. Biksu kejam. Tak punya perasaan. Biksu cuma kepalanya botak doang.Â
Sang nenek tidak bisa memberikan apa-apa. Miskinnya kuadrat. Sang biksu terus meminta. Apa saja yang ada bisa dimakan.Â
Ternyata masih ada sisa bubur basi. Tak apa. Berikan saja. Biksu itu menerima dengan sukacita. Sementara sang nenek berlinang air mata. Bahwa sisa bubur basinya masih ada harga.Â
Inilah kebaikan sesungguhnya. Sang biksu memahami. Bahwa untuk mengubah kemiskinan sang nenek di kehidupan yang akan datang harus dengan memberi kesempatan padanya berderma.Â
Ini bukan hanya kebaikan. Tetapi melampaui kebaikan. Sebab tidak semua orang baik pun mampu memikirkan ini sebagai kebaikan.Â
@cerminperistiwaÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H