Perhelatan demokrasi lokal, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) akan dihelat pada 9 Desember 2020.
Tahun 2019 lalu, kita semua telah dihadapkan pada sebuah rutinitas lima tahunan yakni pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden. Dan tahun ini kontestasi politik Pilkada serentak akan dihelat di 270 wilayah, meliputi 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.
KPU menyatakan sebanyak 738 bakal pasangan calon kepala daerah yang telah mendaftar untuk ikut kontestasi politik tersebut.
Pilkada serentak kali ini berbeda dari sebelumnya, kita dahadapkan pada satu kondisi yang betul-betul baru, Pilkada di tengah pandemi Corona Virus Disease (COVID-19).
Kedatangan pandemi Covid-19 itu tak ada yang memprediksi, hingga negara-negara maju sampai kewalahan menghadapinya, apalagi negara-negara yang termasuk kategori negara berkembang.
Adanya virus ini telah mengubah berbagai kebijakan pemerintah, baik dari penanganan virus hingga kebijakan terkait dengan Pilkada serentak.
Menurut hemat penulis, kebijakan untuk mengubah dan melanjutkan Pilkada serentak adalah sebuah keputusan dilematis namun strategis. Semua itu tergantung perspeketif kita dalam memandang sebuah kebijakan.
Di Korea Selatan dan Singapura memang menggelar Pemilu di saat kondisi pandemi tengah melandai. Di Amerika Serikat saat ini juga tengah digelar Pilpres. Pada hari ini sudah memasuki debat Capres.
Amerika sebagai negara maju dengan jumlah korban suspect Covid-19 tertinggi di dunia tetap menggelar Pemilu karena menilai roda pemerintahan harus tetap berjalan dan sirkulasi kepemimpinan adalah sebuah keniscayaan dalam sistem demokrasi yang mereka anut.
Kita ketahui bersama penyebaran virus itu begitu cepat dan tidak terlihat, para ahli kesehatan memberi sebuah protokol kesehatan, di antaranya jaga jarak, memakai masker, dan selalu cuci tangan.Â
Penyelenggara Pemilu bersama pihak berwenang lain harus menjamin semua orang yang terlibat dalam perhelatan Pilkada 2020 akan mematuhi protokol kesehatan.
Bahkan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) berdasarkan data dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), mengumumkan sebanyak 242 pasangan calon yang ikut perhelatan Pilkada Serentak 2020 melakukan pelanggaran protokol kesehatan.
Komisioner KPU I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi mengungkapkan pelanggaran itu beragam jenis, seperti paslon diketahui positif COVID-19 saat mendaftar, paslon tidak jaga jarak, paslon membuat kerumunan, serta adanya paslon yang tidak melampirkan hasil pemeriksaan tes swab saat mendaftar.
Belum lagi dampak pandemi yang paling terlihat selain kesehatan, adalah dampak ekonomi, dan satu di antara dampak ekonomi yang paling nyata adalah meningkatnya angka pengangguran.
Dikutip dari Kompas, berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) per 7 April 2020, akibat pandemi Covid-19, tercatat sebanyak 39.977 perusahaan di sektor formal yang memilih merumahkan, dan melakukan PHK terhadap pekerjanya. Total ada 1.010.579 orang pekerja yang terkena dampak ini.
Rinciannya, 873.090 pekerja dari 17.224 perusahaan dirumahkan, sedangkan 137.489 pekerja di-PHK dari 22.753 perusahaan. Belum lagi di sektor infromal.
Paslon Minim Empati
Sebagian masyarakat pasrah dengan adanya Pilkada serentak ditengah wabah virus yang terus menghantui tersebut. Â
Sebab, regulasi Pilkada serentak di telah disahkan, dan tahapan demi tahapan Pilkada pun telah dilaksanakan.Â
Sebagian masyarakat ada pula yang menginginkan ditunda dengan pertimbangan kesehatan masyarakat dibandingkan mementingkan kontestasi politik tersebut.
Di tengah virus seperti ini, yang paling kentara adalah rangkaian pendaftaran para calon kepala daerah.Â
Pembaca bisa cek sendiri pada pemberitaan media digital, bagaimana para calon pemimpin kepala daerah saat melakukan pendaftaran ke KPU daerah masing-masing.
Bahkan Mendagri menegur 71 calon Kepala Daerah yang dilaporkan melanggar protokol kesehatan, angka 71 itu baru yang tercatat (dilaporkan) belum lagi yang tidak tercatat. Bahkan jika melihat pemberitaan ada sebagian yang melakukan konvoi dan deklarasi dihotel-hotel mewah.
Mari kita sejenak melihat definisi empati, menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) empati adalah keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain.
Jika melihat pengertian tersebut, apakah para calon dan timnya tidak bisa merasakan apa yang dirasakan oleh 1 juta pekerja yang terkena dampak pandemi?
Apakah mereka tidak juga bisa merasakan penderitaan 232.628 orang yang positif COVID-19, belum lagi tenaga kesehatan yang sangat tertekan di tengah pengadaan APD yang terbatas dan tumpang tindihnya regulasi?
Apakah mereka tidak bisa merasakan dampak psikologis dari keluarga yang positiv covid-19, apakah mereka tak pernah 'menghitung' dampak sosial pada keluarga yang terkena musibah virus ini?
Angka-angka di atas itu bukah hasil survei elektabilitas dan popularitas dengan metoode random, data itu nyata adanya, dan dampak pandemi begitu terasa adanya.
Perilaku bermewah-mewahan telah menyakiti masyarakat secara langsung maupun tidak langsung. Terlebih, mengabaikan protokol kesehatan ini. Sebuah contoh perilaku yang kontradiksi dengan perjuangan pemerintah dalam mencegah penyebaran virus.
Pada akhirnya, betulkah para calon Kepala Daerah itu hendak memajukkan daerah? apakah sejak awal bisa berkomitmen pada visi dan misi yang luar biasa itu?
Dengan terus meningkatnya penyebaran virus dan minimnya empati serta pengabaian protokol kesehatan oleh paslon kepala daerah, bukan berarti harus menghentikan pelaksanaan Pilkada yang sudah setengah jalan lebih. Bahkan hanya hitungan kurang dari 3 bulan lagi menuju tanggal 9 Desember, hari pemungutan suara.
Mengingat anggaran yang sudah terealisasi tidaklah sedikit. Lebih dari itu, dalam kondisi seperti ini bukanlah waktu yang tepat untuk hanya mencari siapa yang bersalah.
Mengingat petuah bijak, daripada mengutuk kegelapan, lebih baik menyalakan lilin sendiri. Karena itu, agenda nasional yang bernama Pilkada ini memiliki arti penting bagi keberlangsungan demokrasi dan sirkulasi kepemimpinan di daerah.
Apabila Pilkada serentak dihelat karena masa jabatan kepala daerah sudah habis, pemerintah melalui Mendagri bisa menunjuk Plt di sebuah daerah yang telah habis masa kepemimpinan kepala daerah tersebut.
Namun jika Pilkada ditunda, itu artinya status Plt kepala daerah di 270 daerah hanya akan menyumbat pembangunan, dan bahkan penanganan pencegahan serta pengendalian penyebaran Covid-19 juga dampak sosial ekonominya akan terhambat. Mengingat menurut Undang-Undang Pemerintah Daerah, posisi Pelaksana Tugas tidak bisa mengambil kebijakan strategis.
Sebagai penutup, penulis teringat akan Sebuah adagium hukum yang berbunyi, 'Salus Populi Suprema Lex Esto' (Keselamatan Rakyat Merupakan Hukum Tertinggi). Eits, tapi tunggu dulu. Bukan berarti penulis setuju agar Pilkada ditunda demi keselamatan rakyat.
Ingat, ada ikhtiar pemerintah, DPR bersama penyelenggara Pemilu untum menjamin keselamatan rakyat dengan regulasi dan penegakan hukum oleh aparat dalam hal ini sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) yang bisa dengan tegas menindak para pelanggar protokol kesehatan yang mengancam keselamatan masyarakat.
Dengan penegakan hukum yang tegas, disertai kedisiplinan yang tinggi dari para peserta Pilkada mulai dari paslon, parpol, tim pendukung, dan masyarakat pemilih serta para penyelenggara Pemilu untuk sama-sama berkomitmen saling menjaga, mengingatkan, mengawasi dan tentu saja mensukseskan Pilkada 2020 yang sehat dan aman Covid-19.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H