Bahkan Mendagri menegur 71 calon Kepala Daerah yang dilaporkan melanggar protokol kesehatan, angka 71 itu baru yang tercatat (dilaporkan) belum lagi yang tidak tercatat. Bahkan jika melihat pemberitaan ada sebagian yang melakukan konvoi dan deklarasi dihotel-hotel mewah.
Mari kita sejenak melihat definisi empati, menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) empati adalah keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain.
Jika melihat pengertian tersebut, apakah para calon dan timnya tidak bisa merasakan apa yang dirasakan oleh 1 juta pekerja yang terkena dampak pandemi?
Apakah mereka tidak juga bisa merasakan penderitaan 232.628 orang yang positif COVID-19, belum lagi tenaga kesehatan yang sangat tertekan di tengah pengadaan APD yang terbatas dan tumpang tindihnya regulasi?
Apakah mereka tidak bisa merasakan dampak psikologis dari keluarga yang positiv covid-19, apakah mereka tak pernah 'menghitung' dampak sosial pada keluarga yang terkena musibah virus ini?
Angka-angka di atas itu bukah hasil survei elektabilitas dan popularitas dengan metoode random, data itu nyata adanya, dan dampak pandemi begitu terasa adanya.
Perilaku bermewah-mewahan telah menyakiti masyarakat secara langsung maupun tidak langsung. Terlebih, mengabaikan protokol kesehatan ini. Sebuah contoh perilaku yang kontradiksi dengan perjuangan pemerintah dalam mencegah penyebaran virus.
Pada akhirnya, betulkah para calon Kepala Daerah itu hendak memajukkan daerah? apakah sejak awal bisa berkomitmen pada visi dan misi yang luar biasa itu?
Dengan terus meningkatnya penyebaran virus dan minimnya empati serta pengabaian protokol kesehatan oleh paslon kepala daerah, bukan berarti harus menghentikan pelaksanaan Pilkada yang sudah setengah jalan lebih. Bahkan hanya hitungan kurang dari 3 bulan lagi menuju tanggal 9 Desember, hari pemungutan suara.
Mengingat anggaran yang sudah terealisasi tidaklah sedikit. Lebih dari itu, dalam kondisi seperti ini bukanlah waktu yang tepat untuk hanya mencari siapa yang bersalah.
Mengingat petuah bijak, daripada mengutuk kegelapan, lebih baik menyalakan lilin sendiri. Karena itu, agenda nasional yang bernama Pilkada ini memiliki arti penting bagi keberlangsungan demokrasi dan sirkulasi kepemimpinan di daerah.