SEBANYAK 90% kepala daerah pecah kongsi dengan wakilnya. Demikian disampaikan mantan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan dalam sebuah diskusi tentang Pilkada di Jakarta, (11/2/2018) silam.Â
Djohan menegaskan saat itu, pecah kongsi tidak boleh terjadi lagi. Konflik menurut Djohan, biasanya terjadi karena kepala daerah dan wakilnya sama-sama berasal dari partai politik. Kepala daerah yang berpasangan dengan wakil dari nonpartai biasanya lebih bisa bertahan lama.
Menurut data Ditjen Otonomi Daerah Kemendagri: dari Pilkada 2005, 94% pecah kongsi, hanya 6% yang tidak pecah kongsi. Sejak 2005 sampai 2014, jumlah yang pecah kongsi 971. Yang tidak pecah kongsi 77.
Saat itu, ada desakan agar UU Pilkada direvisi karena mensyaratkan calon kepala daerah berpasangan. Dengan berpasangan, banyak kepentingan politik masuk. Syarat pasangan calon sebaiknya dikaji ulang dan direvisi menjadi monoeksekutif. Wakil diangkat oleh kepala daerah.
Hal tersebut saya saksikan fenomena di sejumlah daerah yang tak lama Pilkada, Walikota, Bupati atau Gubernur dengan para Wakilnya masing-masing kerap pecah kongsi baik di awal-awal, pertengahan maupun jelang akhir jabatan.
Di Depok misalnya, Walikota Depok Idris Abdul Shomad dengan Wakilnya Pradi Supriatna sejak awal hubungan keduanya sudah tidak harmonis. Kuat dugaan disinyalir karena ada pembagian 'kue' kekuasaan yang tidak terakomodir.
Pecah kongsi keduanya bisa diperhatikan dari baliho-baliho iklan layanan masyarakat yang dipasang di jalan raya Kota Depok, sang Walikota hanya memasang foto dirinya sendiri tanpa Wakil.
Tidak heran jika di akhir jabatan hingga jelang Pilkada, keduanya memilih bercerai dan kembali maju di Pilkada dengan pasangan berbeda.
Keributan Kepala Daerah baik itu Bupati, Walikota atau Gubernur dengan wakilnya memang sering terjadi, diantaranya: Bupati Kabupaten Kuantan Singingi di Riau, Sukarmis melawan wakilnya, Zulkifli, pada Februari 2016 lalu. Kemudian, antara Gubernur Kalimantan Utara Irianto Lambrie dengan wakilnya Udin Hianggio pada Oktober 2017.
Ada juga Bupati Tolitoli Mohammad Saleh Bantilan melawan wakilnya Abdul Rahman H Buding pada akhir Januari 2018, dimana Wakil Bupati Tolitoli Abdul Rahman yang datang secara tiba-tiba terlihat naik ke atas panggung dan menendang meja saat Mohammad Saleh memberikan sambutan di depan mimbar usai melantik empat orang pejabat struktural yang dipilih secara sepihak tanpa melibatkan sang Wakil. Hingga akhir masa jabatan tahun 2020, keduanya belum juga rekonsiliasi.
Fenomena tersebut dicapture secara ilmiah oleh disertasi Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Dalam Negeri (BPSDM Kemendagri) Teguh Setyabudi yang berhasil dipertahankannya saat Sidang Terbuka Doktoral yang membuatnya meraih gelar Doktor Ilmu Pemerintahan dengan predikat cum laude dari Institut Ilmu Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), di Gedung Program Pascasarjana IPDN, Cilandak Timur, Jakarta Selatan, Kamis (27/8/2020).
Bapak Kepala Badan (Kaban) BPSDM Teguh memaparkan disertasinya yang berjudul 'Analisis Dinamika Pemilihan Langsung Gubernur dan Wakil Gubernur (Studi Kasus di Provinsi Sulawesi Tenggara)' dengan luwes dan terlihat begitu memahami masalah.
Solusi yang ditawarkan Teguh untuk mengantisipasi permasalahan ketidakefektifan tata kelola pemerintahan yang baik karena Kepala Daerah bersama wakilnya kerap pecah kongsi dan tidak harmonis dalam menjalani roda pemerintahan ialah dengan merekonstruksi model alternatif Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Tenggara sesuai dengan objek penelitian disertasinya yaitu Pilgub Sulawesi Tenggara.
Menurut Teguh, perlu dikaji ulang model pemilihan antara gubernur dan wakil gubernur. Apakah dipilih satu paket, atau hanya kepala daerahnya saja.
Hal tersebut tidak terlepas dari fakta bahwa, pertama, gubernur adalah perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah dan sekaligus sebagai kepala pemerintahan di daerah. Kedua, pemilihan wakil gubernur (dan wakil bupati, wakil wali kota) tidak dijelaskan dengan rinci di dalam undang-undang sehingga membuat abu-abu dan dapat menimbulkan ketidakharmonisan antara gubernur dan wakil gubernur. Tugasnya pun dianggap kurang strategis karena hanya sebagai pembantu gubernur.
Ketiga, banyak fakta menunjukkan munculnya kerenggangan antara gubernur dan wakil gubernur. Kondisi tersebut terjadi salah satunya karena pasangan calon sering kali dipersatukan karena kesepakatan-kesepakatan politik, bukan karena kesamaan visi dan misi. Permasalahan- permasalahan ini bisa berakibat fatal terhadap jalannya roda pemerintahan.
Oleh karena itu, melihat berbagai dinamika dan perdebatan di masyarakat, penelitian Teguh tersebur berusaha memberikan alternatif pemilihan sesuai analisis teoritis, temuan penelitian, serta kajian perundang-undangan.
Semangat utama yang dibawa yaitu pendalaman proses demokratisasi di tingkat lokal dan penghargaan terhadap hak setiap masyarakat.
Adanya sistem demokrasi menuntut kita agar mengutamakan kehendak rakyat daripada elit. Masyarakat sebagai pemilik hak suara berhak untuk memberikan suaranya kepada calon kepala daerah yang berkualitas dan bisa membawa kesejahteraan bagi masyarakat. Lebih jauh lagi, model alternatif ini mengharapkan terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik.
Teguh berharap, model alternatif yang ditawarkan dalam disertasinya ini secara khusus ditujukan untuk pelaksanaan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Tenggara. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan juga dapat digunakan di daerah lain dengan tetap didahului penelitian secara mendalam dan menyesuaikan dinamika serta kondisi sosial, budaya, dan politik wilayah tersebut.
Hal tersebut penting untuk memastikan agar kepala daerah terpilih dapat bekerja secara maksimal dalam mensejahterakan masyarakat serta mampu mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik.Â
Secara detail Teguh menawarkan dua model alternatif untuk skenario Pilkada langsung; Aternatif pertama, menurutnya, gubernur dan wakil gubernur dipilih langsung oleh rakyat dalam satu paket melalui pilkada langsung, namun wakil gubernur diberikan kewenangan serta tugas pokok yang lebih kuat.Â
Hal ini penting agar wakil gubernur tidak hanya menjadi "ban serep" ketika gubernur berhalangan. Wakil gubernur selama ini memiliki kedaulatan karena dipilih oleh rakyat, tetapi tidak memiliki kewenangan karena hanya menjadi pembantu gubernur.Â
Selain itu, penguatan terhadap kewenangan wakil gubernur sejak awal juga dapat meminimalisir potensi pecah kongsi antara gubernur dan wakil gubernur karena berebut kekuasaan seperti yang sering terjadi saat ini.Â
Oleh karena itu, wakil gubernur harus memiliki job discription yang jelas, kongkrit, tegas, dan rinci. Penguatan ini penting sebagai antisipasi jika gubernur suatu saat memiliki halangan tetap, sehingga wakil gubernur dapat langsung menggantikan posisinya tanpa perlu beradaptasi panjang.
Kelebihan dari alternatif ini yaitu gubernur dan wakil gubernur mempunyai legitimasi yang kuat di hadapan rakyat.Â
Namun di sisi lain, gubernur dan wakil gubernur juga mempunyai beban mempertanggung jawabkan janjinya di hadapan publik. Jika janji-janji selama kampanye tidak ditepati, rakyat bisa saja menghukumnya dengan cara tidak memilihnya kembali pada kontestasi yang akan datang.Â
Sementara secara teoritis, adanya pemilihan secara langsung juga dapat memperdalam proses demokratisasi di tingkat lokal yang berdampak pada indeks demokrasi nasional.Â
Pemilihan secara langsung juga dapat memberikan ruang yang lebih besar kepada masyarakat untuk memilih calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang sesuai keinginan serta dapat terlibat dalam pembuatan kebijakan di daerah.Â
Hal tersebut penting sebagai proses pendalaman demokrasi guna mewujudkan tata kelola pemerintahan di daerah yang baik dan efektif serta selaras dengan semangat otonomi daerah sesuai aspirasi masyarakat lokal.
Namun demikian, pembagian kewenangan antara gubernur dan wakil gubernur harus diatur secara tegas.Â
Hal tersebut penting untuk mengantisipasi adanya matahari kembar dalam pemerintahan, yaitu antara gubernur dan wakil gubernur. Jika tidak dikelola dengan baik, kondisi tersebut juga dapat berpotensi menimbulkan konflik horizontal di kalangan masyarakat.Â
Oleh karena itu, masyarakat juga harus lebih dewasa dalam berpolitik serta melihat prestasi dan track record calon kepala daerah. Pemilihan secara langsung masih tetap mahal.
Alternatif kedua yang ditawarkan Teguh, gubernur sebagai kepala daerah di tingkat provinsi dan juga sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah dipilih secara langsung oleh rakyat.Â
Sedangkan wakil gubernur diusulkan oleh gubernur kepada DPRD atau Kemendagri yang dipilih dari ASN/swasta yang memiliki pengalaman di pemerintahan, paham kondisi daerah, dan dengan memperhatikan keterwakilan wilayah dengan gubernur.Â
Ide ini diungkap Teguh sebenarnya sudah pernah digagas oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang tercantum dalam Pasal 41 ayat 3 Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.Â
Pada usulan tersebut, DPD bahkan mengusulkan di beberapa daerah otonom memiliki satu hingga tiga wakil kepala daerah, sesuai dengan jumlah penduduk. DPD berpendapat, model ini bisa digunakan untuk menjaga hubungan yang baik antara kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Kelebihan alternatif ini, gubernur sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah dan sebagai kepala pemerintahan daerah mempunyai legitimasi politik yang sangat kuat.Â
Dengan kepemimpinan tunggalnya, gubernur dapat lebih maksimal dalam menjalankan visi politik dan pemerintahan.Â
Sementara itu, wakil gubernur yang dipilih oleh gubernur bisa membantu gubernur secara maksimal tanpa adanya kekhawatiran pecah kongsi karena wakil gubernur benar-benar menjadi bawahan gubernur.Â
Implikasinya, kepemimpinan yang menonjolkan sosok gubernur harus mendapatkan pengawasan lebih ketat agar tidak menggunakan kewenangannya di luar batas.Â
Diusulkannya wakil gubernur dari ASN/swasta oleh gubernur kepada DPRD atau Kemendagri harus dipastikan agar proses pemilihan tersebut tidak ditumpangi kepentingan kelompok tertentu.Â
Calon wakil gubernur yang disodorkan juga harus mempunyai pengalaman di pemerintahan serta pengetahuan lokal wilayah tersebut.Â
Selain itu, perlu juga dipikirkan mekanisme pergantian gubernur ketika berhalangan tetap, terutama terkait komunikasi dengan partai politik. Mengingat, wakil gubernur bukan berasal dari partai politik sehingga tidak memiliki hubungan emosional.
Demikian intisari singkat Disertasi dari Teguh Setyabudi, seorang Birokrat berpengalaman yang telah mengabdikan separuh lebih usianya sebagai Abdi Negara hingga memimpin sebuah lembaga di Kemendagri bernama BPSDM yang memiliki peran strategis untuk melahirkan SDM handal dan berkualitas di lingkungan ASN Kemendagri, maupun ASN di Pemerintahan Daerah seluruh Indonesia.
Disertasi ini tentu saja akan menambah khazanah pengetahuan tentang Ilmu Pemerintahan dan sistem politik di Indonesia. Yang terpenting lagi bagi pribadi Pak Teguh, momentum Sidang Terbuka Doktor juga menambah koleksi foto beliau yang memang menjadi hobinya sebagai kolektor foto pribadi dan keluarga yang disimpan rapi di folder laptop dan hardisk eksternal sejak menikah, dikarunia anak, bahkan seluruh momentum bahagia seperti punya rumah pertama, mobil pertama, hingga mobil hari ini, anak lahir, ulang tahun pertama hingga ulang tahun paling terakhir semua tersimpan rapi sebagai pengingat dirinya dan keluarga untuk selalu bersyukur atas segala nikmat yang diberikan Tuhan.
Sekali lagi, selamat kepada Kaban BPSDM Kemendagri Bapak Dr. Teguh Setyabudi, semoga ilmunya bermanfaat bagi kemajuan demokrasi di Indonesia dan tentunya dengan gelar Doktor tersebut Pak Kaban bisa semakin sukses baik dalam karir pengabdiannya di Kemendagri dan bertanggubjawab moral sebagai ilmuwan Ilmu Pemerintahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H