Mohon tunggu...
Dept. Kajian dan Aksi Strategis BEM FMIPA UI 2016
Dept. Kajian dan Aksi Strategis BEM FMIPA UI 2016 Mohon Tunggu... -

Kanal sosial politik BEM FMIPA UI 2016 | Mahasiswa eksak juga bergerak | Narahubung 081314261261 (Afkar)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Reklamasi Teluk Jakarta: Menakar Nuansa Politis melalui Perspektif Saintis

12 April 2016   09:07 Diperbarui: 4 April 2017   18:28 5997
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Wacana pro dan kontra mengenai reklamasi Teluk Jakarta kembali memanas. Reklamasi adalah suatu usaha memanfaatkan kawasan atau lahan yang relatif tidak berguna atau masih kosong dan berair menjadi lahan berguna dengan cara dikeringkan. Misalnya di kawasan pantai, daerah rawa-rawa, lepas pantai, laut, tengah sungai yang lebar, ataupun di danau. Dalam hal ini, pelaksana reklamasi di Jakarta merencanakan dibentuknya 17 pulau buatan seluas 5 ribu hektare di Teluk Jakarta.

Reklamasi pantai utara Jakarta telah memasuki babak baru. Jika perdebatan sebelumnya sebatas diskursus sosial, ekonomi, dan lingkungan, maka belakangan ini pembahasannya telah meruncing ke sektor politik. Hal itu menyusul ditangkapnya Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta M. Sanusi dan Direktur PT. Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja oleh KPK pada Jumat (01/04) lalu, dalam kasus dugaan suap sebesar Rp 2 Miliar terkait pembahasan Raperda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) dan Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta. Penangkapan itu jelas mengundang kembali sikap skeptis dari berbagai kalangan terkait megaproyek tersebut.

Megaproyek reklamasi Teluk Jakarta bukanlah hal baru dalam rencana perkembangan pembangunan Ibu Kota. Walaupun telah mendapati penolakan dari masyarakat dan nelayan karena dampak yang ditimbulkannya terhadap kerusakan lingkungan pesisir maupun penggusuran ruang hidup dan penghidupan nelayan di daerah tersebut. Celakanya, meski banyak kajian akademik maupun keluhan warga sekitar, hal itu tidak mampu menghentikan konstruksi yang dipandegani oleh PT Muara Wisesa Samudera anak perusahaan PT Agung Podomoro Land itu. Meski kepemimpinan di DKI Jakarta silih berganti seiring dengan berlangsungnya waktu, megaproyek ambisius tersebut tetap kekeuh dilanjutkan.

Pemerintah DKI Jakarta sendiri telah berulang kali menerbitkan peraturan untuk menjamin kelangsungan reklamasi. Terbaru, sejak pertama dilantik pada 19 November 2014, Gubernur DKI Jakarta ‘Ahok’ Basuki Tjahaja Purnama telah merilis sebanyak 4 (empat) izin pelaksanaan reklamasi. Mulai dari Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 2238 Tahun 2014; Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 2268 Tahun 2015; Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 2269 Tahun 2015; dan Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 2485 Tahun 2015. Substansinya senada, memberikan izin kepada beberapa perusahaan untuk melakukan reklamasi di pesisir Jakarta.

Reklamasi Teluk Jakarta pada kenyataannya berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan. Sehingga, pembahasannya pun harusnya melibatkan banyak pihak. Dari sektor ekonomi, pemerintah dan pengembang mengeklaim didirikannya pulau buatan itu akan mampu menunjang perekonomian dan memperindah Ibukota. Dari sektor sosial, proses pembangunannya terbukti mengurangi penghidupan warga sekitar yang mayoritas bermatapencaharian sebagai nelayan. Belum lagi jika ditinjau dari aspek lingkungan atau aspek-aspek lainnya.

Terlepas dari kompleksitas masalah dalam upaya reklamasi Teluk Jakarta, ada beberapa poin yang cukup menarik untuk menjadi pembahasan kita sebagai mahasiswa eksak. Sebagai kaum intelektual ilmu-ilmu alam, reklamasi Teluk Jakarta yang juga bersinggungan langsung dengan alam jelas mempunyai ranah tersendiri yang sesuai dengan disiplin keilmuan MIPA. Selengkapnya, kami akan memaparkan poin-poin tersebut pada penjelasan di bawah ini.

Pendekatan Geografis Pantai Utara Jakarta

Melalui pendekatan spasial, posisi relatif DKI Jakarta sudah menunjukkan permasalahannya tersendiri. Sebab, Jakarta berada di pantai utara Pulau Jawa yang memiliki kecenderungan morfologis landai. Sedangkan di sebelah selatannya, terdapat dataran tinggi dan gunung-gunung, baik yang aktif maupun sudah mati seperti Gunung Gede, Gunung Pangrango, dan lain-lain. Ketinggian tanah yang lebih rendah dibandingkan daerah di sekitarnya menjadikan Ibukota Indonesia itu sebagai daerah aliran sungai (DAS). Tercatat ada lebih dari 25 anak sungai di dalam kota, 13 di antaranya adalah sungai besar.

Masalah keruangan Jakarta diperparah karena pegunungan di selatannya telah menjadi jebakan uap air dari Laut Jawa. Air laut yang terevaporasi menjadi uap, kemudian terbawa angin menuju ke daratan, salah satunya melalui Jakarta. Angin membawa uap-uap tersebut terus menuju selatan, hingga mencapai pegunungan atau ketinggian tertentu. Dengan karakteristik pegunungan yang suhunya rendah, uap air mengalami kondensasi membentuk titik-titik awan. Titik air inilah yang nantinya terakumulasi dan membentuk hujan. Terjadilah hujan orografis yaitu hujan yang disebabkan karena pengaruh ketinggian dan relief bumi. Itulah sebabnya, daerah pegunungan di selatan Jakarta seperti Puncak dan Bogor memiliki curah hujan yang tinggi. Lalu sebagaimana sifat air yang mengalir menuju tempat yang lebih rendah, aliran air ini melalui sungai-sungai yang mengular di Jakarta, menuju ke muara-muara sungai di pantai Jakarta.

Melalui pendekatan kelingkungan, sebagai muara sungai, pantai utara Jakarta haruslah bersih dari segala hal yang dapat memperlambat arus sungai. Karena jika tidak, sedimentasi dapat berlangsung lebih cepat mengakibatkan pendangkalan sungai. Residu yang terbawa aliran sungai ini dapat terdeposisi di teluk dan menghambat jalur air. Akibatnya saat musim hujan dan air melimpah, sungai akan meluber menyebabkan banjir di daerah sekitarnya. Di sinilah kita perlu mempertanyakan kebijakan pemerintah DKI Jakarta mengizinkan reklamasi.

Reklamasi akan memperpanjang muara sungai dan memperlambat arus. Setidaknya, proses tersebut akan menahan air dari 13 sungai besar di Jakarta sehingga dapat mengakibatkan banjir yang lebih besar. Hal ini kontra dengan upaya pemerintah dalam menanggulangi banjir, melalui pembangunan dan pembersihan kanal-kanal yang selama ini telah dilakukan.

Tidak hanya memicu peningkatan banjir luapan, reklamasi juga akan memperparah banjir rob atau banjir yang disebabkan oleh pasang naik. Menukil pakar lingkungan sekaligus tenaga pengajar di Departemen Geografi FMIPA UI, Dr. Tarsoen Waryono, reklamasi membuat muka air laut naik. Ketika terjadi pasang naik, terjadilah banjir rob yang lebih besar daripada yang selama ini terjadi sebelum dilakukannya reklamasi. Akibatnya, pepohonan yang tidak dapat beradaptasi dengan air asin akan mati karena terendam air laut. Pantai utara Jakarta memang kerap dilanda banjir rob, tapi reklamasi dapat memperparah hal itu.

Belum cukup sampai di situ, melambatnya aliran air akibat reklamasi dapat menyebabkan akumulasi sedimen dalam air. Air sungai dan air laut lama kelamaan akan keruh karena material yang terbawa air tidak teralirkan dengan lancar. Akhirnya, terjadilah penurunan kualitas air. Sumur-sumur penduduk di sekitar pantai yang tadinya payau akan menjadi asin. Berkurangnya kualitas air tawar, tambah Dr.Tarsoen Waryono,  juga memicu tumbuh kembangnya bakteri E-Colli yang apabila terminum dapat menyebabkan penyakit disentri dan diare.

Pada dasarnya, dampak negatif reklamasi Teluk Jakarta terhadap lingkungan jauh lebih banyak dibandingkan dengan manfaatnya. Satu-satunya pihak yang memperoleh keuntungan dari reklamasi ini hanyalah pengembangnya saja. Mereka bisa menghemat banyak biaya karena tidak perlu membeli tanah Jakarta yang harganya relatif mahal, jauh dibandingkan harga mengebrug laut. Selain itu, ongkos untuk tinggal di pulau buatan itu pun ditaksirkan mencapai miliaran rupiah yang berarti hanya bisa dijangkau oleh kalangan elit. Sementara masyarakat sekitar pantai masih banyak yang membutuhkan tempat hidup yang lebih layak, kini juga terancam penghidupannya.  Jika pemerintah terus berkilah akan dampak yang ditimbulkan reklamasi ini, maka kita patut mempertanyakan: pembangunan di DKI Jakarta untuk siapa? 

Kontaminasi Kimia Akibat Reklamasi

Reklamasi mengurangi dinamika air. Menurut riset dari Badan Pengkajian Dinamika Pantai Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPDP BPPT), muka air akan meningkat hingga setengah sampai satu meter. Pulau-pulau buatan itu nantinya menghalangi pergerakan air laut yang seharusnya lebih dinamis, sebagaimana tanggul yang menghalau laju sungai. Kondisi ini mirip dengan genangan air. Karena arus air antara DKI Jakarta dan pulau buatan juga mengecil, sehingga secara progresif air laut mengalami penurunan kualitas.

Sebelumnya, BPDP BPPT telah melakukan simulasi untuk menganalisis dampak pembangunan giant sea wall. Pembangunan tersebut merupakan proyek sinergis dari reklamasi Teluk Jakarta yang saat ini dilakukan. Hasilnya, mereka memastikan bahwa kebijakan tersebut terbukti dapat menimbulkan penurunan kualitas air.

Degradasi air dapat dilihat dari beberapa indikator. Beberapa di antaranya yaitu penurunan dissolved oxygen (DO), kenaikan biological oxygen demand (BOD), dan penurunan salinitas air. Ketiga indikator di atas telah positif terjadi pada simulasi yang dilakukan.

Indikator pertama adalah penurunan DO, yang merupakan kadar oksigen (O2) terlarut dalam air. Nilai DO yang biasanya diukur dalam bentuk konsentrasi ini menunjukkan jumlah oksigen yang terkandung dalam badan air. DO menunjukkan seberapa jauh perairan tersebut dapat menopang kehidupan bagi mahluk hidup di dalamnya. Semakin rendah DO, semakin sedikit organisme yang bisa bertahan. Dalam simulasinya, BPDP BPPT menemukan bahwa DO mengalami penurunan hingga 20 persen. Korelasinya dengan reklamasi Teluk Jakarta, hal serupa akan terjadi jika proyek ini dilanjutkan. Kurangnya pergerakan air menyebabkan peredaran oksigen terganggu dan terkonsentrasinya karbon dioksida (CO2) dalam air. Dampak lanjutnya, organisme di dalam air perlahan-lahan akan mati.

Indikator kedua yang ditemukan dalam simulasi BPDP BPPT adalah kenaikan BOD hingga lebih dari 100 persen. BOD atau kebutuhan oksigen biologis menunjukkan jumlah oksigen yang digunakan oleh mikroorganisme untuk menguraikan zat organik terlarut dan sebagian zat-zat organik yang tersuspensi di dalam air. Meningkatnya BOD hingga lebih dari 100 persen dalam riset BPDP BPPT tentu menjadi temuan yang fantastis. Jika BOD tidak memadai, maka organisme tidak dapat menguraikan zat organik sehingga zat-zat tersebut terakumulasi di dalam air. Reklamasi Jakarta yang merupakan bagian dari proyek giant sea wall ternyata berpotensi mengganggu keseimbangan ekosistem sedemikian signifikan.

Indikator selanjutnya, salinitas air menurun lebih dari 3 persen. Salinitas adalah tingkat keasinan atau kadar garam terlarut. Dengan menurunnya salinitas, maka biota laut seperti ikan, kerang, dan terumbu karang yang sudah terbiasa dengan tingkat salinitas tertentu menjadi terganggu. Salinitas juga berkaitan dengan tingkat kepekatan perairan. Hal ini mempengaruhi osmoregulasi dari mahluk hidup laut, yakni proses penyeimbangan cairan yang keluar dan masuk oleh organisme. Tidak menutup kemungkinan ikan-ikan akan berpindah ke perairan lain yang salinitasnya lebih cocok, sehingga berkuranglah hasil tangkapan nelayan di daerah sekitar reklamasi.

Kontaminasi Laut Jakarta juga bisa terjadi dari aliran lainnya. Misalnya, sungai yang terhambat karena pulau hasil reklamasi. Unsur-unsur organik maupun anorganik yang terbawa aliran sungai akan terkumpul dan menggenang di perairan antara pantai Jakarta dengan pulau buatan. Selain itu, konsekuensi dari adanya aktivitas manusia di pulau tersebut mau tak mau pasti menghasilkan limbah. Dalam bentuk padatan, limbah bisa saja diangkut dan ditampung sebagaimana penanganan selama ini. Namun, untuk limbah dalam bentuk cair rasanya tidak mungkin tidak, pasti ada yang dialirkan ke laut.

Itulah mengapa reklamasi Teluk Jakarta dapat menimbulkan polusi bau. Selain karena pengendapan garam akibat penyinaran matahari, zat-zat yang terkonsentrasi pada air laut dapat menyebabkan kontaminasi secara kimiawi. Hal ini, menurut Dr. Tarsoen Waryono lagi, berpeluang besar melanda masyarakat pesisir Jakarta pada saat terjadi pasang surut. Pengaruh bau sangat besar, tergantung pada pasang naik dan pasang surut air laut. Warga yang tinggal di pulau reklamasi mungkin bisa hidup nyaman, namun tidak demikian dengan masyarakat yang tinggal di sekitarnya.

Reklamasi sebagai Ancaman Ekologi dan Biota Laut

Sebagai suatu ekosistem, fungsi utama pesisir pantai Jakarta adalah menjadi penyedia sumber daya hayati berupa perikanan, rumput laut, dan terumbu karang. Kawasan ini juga memiliki peran sebagai penyedia sumber daya nirhayati seperti mineral yang tidak dapat diperbarui.  Ekosistem perairan pantai sangat rentan terhadap perubahan, sehingga apabila terjadi perubahan baik secara alami maupun rekayasa, dapat memberikan pengaruh terhadap perubahan keseimbangan ekosistem. Terganggunya ekosistem perairan pantai dalam waktu yang lama, pasti memberikan kerusakan ekosistem wilayahnya. Kondisi ini menyebabkan kerusakan pantai. Apabila terjadi penurunan kualitas murni pesisir pantai, maka dampak terbesar yang secara langsung akan dirasakan adalah dampak ekologi dan biologis.

Dampak biologis akan sangat mempengaruhi apabila reklamasi Teluk Jakarta ini terus dijalankan. Bentuknya berupa terganggunya ekosistem mangrove, terumbu karang, padang lamun, estuaria dan penurunan keanekaragaman hayati. Penurunan keanekaragaman hayati disebabkan oleh pencemaran laut akibat kegiatan di area reklamasi yang akan menyebabkan kematian ikan.

Selain itu, rusaknya ekosistem atau habitat pada wilayah reklamasi akan menyebabkan penurunan kualitas lingkungan. Dampaknya, biota laut baik flora dan fauna akan mencari habitat baru. Sudah dapat dipastikan punahnya keanekaragaman hayati seperti spesies mangrove, ikan, kerang, kepiting, burung, dan berbagai keanekaragaman hayati, adalah akibat lanjutnya. Musnahnya habitat biota laut ini akan memberikan dampak signifikan terhadap keseimbangan alam. Apabila gangguan dilakukan dalam jumlah besar, maka dapat mempengaruhi perubahan cuaca serta kerusakan alam dalam skala yang luas.

Kualitas karang bisa dihitung dari persentase karang hidup pada masing-masing lokasi yang diteliti. Indikatornya adalah jika kondisi ketertutupan antara 75-100 persen maka kualitasanya sangat baik. Antara 50-75 persen baik dan jika nilainya di bawah 50 persen maka dikategorikan buruk. Reklamasi pantai dapat merusak kondisi karang hidup. Hal ini sudah dibuktikan pada penelitian yang dilakukan oleh Marine Science Diving Club (MSDC) Universitas Hassanudin pada Desember 2015 lalu, bahwa dengan metode transec point didapatkan data penurunan kualitas terumbu karang di pesisir pantai Makasar. Ciri-ciri kerusakan itu dinilai akibat adanya penindakan reklamasi pada wilayah pesisir pantai. Selain reklamasi, faktor kecil lainnya adalah pengeboman dan pembiusan walau ukurannya sangat kecil. Kerusakan yang banyak ditemukan saat penelitian adalah meningkatnya kekeruhan air dan banyaknya pasir yang menutupi karang hasil dari sedimentasi reklamasi. Oleh karena itu, reklamasi pantai sangat jelas memberikan dampak buruk pada terumbu karang. Hal itu pula yang akan terjadi pada reklamasi Teluk Jakarta.

Peraturan Menteri ESDM pada Tahun 2014 Pasal 1 Poin 1 mendefinisikan reklamasi sebagai kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan untuk menata, memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya. Namun hasil dari pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa reklamasi Teluk Jakarta lebih banyak memberikan dampak buruk terutama pada faktor lingkungan dan biologis lainnya.

Menyoal AMDAL

Hulu dari perizinan suatu proyek yang menyangkut kualitas lingkungan adalah adanya dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan atau yang akrab disingkat menjadi AMDAL. Dokumen tersebut merupakan suatu proses studi formal yang dipergunakan untuk memperkirakan dampak terhadap lingkungan oleh adanya kegiatan atau rencana proyek yang bertujuan memastikan adanya masalah dampak lingkungan yang perlu dianalisis pada tahap awal perencanaan dan perancangan. Menurut PP No. 27 Tahun 1999, AMDAL ini digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi para pembuat keputusan, biasanya erat kaitannya dengan perizinan usaha dan kegiatan.

Dalam kasus reklamasi Teluk Jakarta, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK San Afri Awang mengaku pernah terlibat dalam penilaian AMDAL untuk proyek reklamasi Teluk Jakarta sejak 2002. Menurut akunya, pemerintah pusat yang diwakili oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) kala itu menilai AMDAL yang diajukan pemrakarsa tidak layak dan tidak memenuhi syarat AMDAL Regional. AMDAL Regional adalah studi kelayakan lingkungan untuk usaha atau kegiatan yang diusulkan terkait satu sama lain. KLHK mengusulkan pemrakarsa proyek untuk membuat AMDAL Regional agar dapat menghimpun jawaban dan antisipasi atas sejumlah masalah lingkungan semua pulau reklamasi secara keseluruhan. Nyatanya, AMDAL Regional yang diajukan pihak pengembang tidak memenuhi syarat sebagaimana yang ditentukan.

Rupanya, Dewi Fortuna seolah sedang memihak pengembang proyek. Setelah ditolak KLHK, pengadilan memutuskan bahwa penilai AMDAL diambil alih oleh Pemerintah DKI Jakarta dan menggunakan AMDAL Tunggal per pulau, yaitu studi kelayakan lingkungan untuk kegiatan yang dilakukan untuk satu jenis kegiatan. Masalahnya, AMDAL Tunggal tidak dapat dipakai untuk mengintergrasikan jaminan kesehatan lingkungan bagi kawasan sumber pasir yang dikeruk untuk bahan baku pulau, biota laut dan banyak ekosistem terkait. Ironisnya, dokumen inilah yang digunakan Pemerintah DKI menerbitkan izin reklamasi 17 pulau di Teluk Jakarta.

Terkait keluarnya izin pelaksanaan reklamasi, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menyebutkan setidaknya ada 5 pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Pemerintah DKI Jakarta. Pertama, mereka telah menerbitkan izin melampaui kewenangannya. Sebagai Ibukota Negara Indonesia, DKI Jakarta telah ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional. Maka, kewenangan pengelola dan pemanfaatannya tidak bisa terlepas dari peran pemerintah pusat. Faktanya, KLHK yang merupakan perpanjangan tangan pemerintah pusat telah menilai bahwa AMDAL Regional yang diajukan sebelumnya tak layak. Di samping itu, ada tumpang tindih kewenangan antar lembaga. Kementerian Kelautan dan Perikanan yang juga pemerintah pusat mengatakan bahwa perizinan seharusnya turut melalui lembaganya itu. Hal ini mengingat bahwa yang direklamasi adalah wilayah laut.

Kedua, Pemerintah DKI menerbitkan izin reklamasi tanpa adanya Perda Rencana Zonasi. Padahal berdasarkan UU No. 27 Tahun 2007 sebagai aturan yang secara khusus mengatur pengelolaan sumber daya dan wilayah pesisir laut di bawah 12 mil, pada Pasal 9 memandatkan adanya Peraturan Zonasi sebagai arahan pemanfaatan sumber daya di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Peraturan tersebut bertujuan meminimalisasi adanya konflik pemanfaatan sumber daya. Lalu sudah sejauh apa pembahasan mengenai rancangan perda ini? Terbaru, KPK berhasil mengangkap basah anggota DPRD Jakarta dalam dugaan kasus suap untuk memuluskan pembahasan raperda tersebut.

Pelanggaran hukum selanjutnya adalah penerbitan izin reklamasi tanpa didasarkan pada Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Berdasarkan Pasal 15 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2009, KLHS wajib dilakukan dalam penyusunan dan evaluasi kebijakan, rencana, dan/atau program yang berpotensi menimbulkan dampak atau risiko lingkungan hidup. Reklamasi 17 pulau yang dipastikan akan mengubah bentangan alam, adalah salah satu di antaranya.

Penerbitan izin reklamasi dengan penilaian lingkungan hidup secara parsial (setengah-setengah) tanpa melalui kajian kawasan terpadu dan holistik, adalah pelanggaran keempat. Sudah banyak kajian akademik maupun pendapat ahli yang menyatakan bahwa reklamasi akan menimbulkan tiga dampak utama bagi lingkungan, yaitu sedimentasi, eutrofikasi, dan penumpukan logam berat di dalam air. Hal ini sudah dijabarkan dalam pembahasan sebelumnya. Intinya, reklamasi akan memperburuk kondisi lingkungan di Teluk Jakarta.

Pelanggaran kelima disebabkan Pemerintah DKI Jakarta menerbitkan izin reklamasi tanpa mengikuti prosedur perizinan lingkungan hidup berdasarkan PP No. 27 Tahun 2007. Perizinan lingkungan hidup berupa Surat Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup, Izin Lingkungan, dan dokumen AMDAL tidak pernah diumumkan kepada masyarakat luas, termasuk yang terdampak langsung yakni nelayan tradisional. Ironis, sebagai pihak yang turut urun kepentingan, nelayan seolah-olah tidak dianggap sebagai bagian dari masyarakat Jakarta.

Terbitnya AMDAL Tunggal dan perizinan dari Pemerintah DKI Jakarta patut menjadi pertanyaan bersama. Sebab di tengah pergolakan tentangan masyarakat sekitar didukung pendapat ahli dan akademisi mengenai dampak buruk reklamasi, pemerintah tidak gentar mengurungkan niatnya membatalkan surat perizinan. Tertangkapnya Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta dan Direktur PT. Agung Podomoro Land oleh KPK seolah menjawab satu persatu pertanyaan-pertanyaan besar masyarakat. Membawa publik pada dugaan ke arah yang sama: reklamasi Teluk Jakarta sarat akan praktik korupsi.

Kesimpulan

Reklamasi yang tengah berlangsung di Teluk Jakarta menuai berbagai polemik di masyarakat. Kompleksnya permasalahan tidak hanya menyentil aspek-aspek sosial dan ekonomi, namun juga mengganggu keseimbangan alam. Berdasarkan analisis melalui disiplin Ilmu-ilmu Alam, reklamasi dapat menyebabkan beberapa ancaman yang nyata bagi lingkungan, yaitu:

1.      Memperlambat arus muara dan meningkatkan banjir luapan saat musim hujan

2.      Meningkatkan muka air laut sehingga memperparah banjir rob saat terjadi pasang naik air laut

3.      Mempercepat akumulasi sedimen dan pendangkalan sungai

4.      Menurunnya kualitas air dan berkembangnya bakteri berbahaya

5.      Memicu kontaminasi air dan polusi bau

6.      Mengganggu ekosistem dan mengancam biota laut

Selain masalah-masalah di atas, secara prosedural maupun substansial proses perizinan  reklamasi oleh Pemerintah DKI Jakarta juga sarat akan kejanggalan. Bahkan, dalam proyek terkait sudah terbukti adanya unsur korupsi yang menjerat pemegang kebijakan maupun pengembang.

Memperhatikan hal-hal tersebut, BEM FMIPA UI 2016 menyatakan sikap kami:

1.      Menolak reklamasi Teluk Jakarta karena berdasarkan kajian keilmuan kami, proyek tersebut terbukti lebih banyak menimbulkan kerugian bagi lingkungan

2.      Mendukung gerakan-gerakan berbagai unsur (mahasiswa, masyarakat, maupun LSM) menolak reklamasi Teluk Jakarta

3.      Menuntut KPK untuk mengusut kasus korupsi yang berkaitan dengan reklamasi Teluk Jakarta dengan tegas tanpa pandang bulu

Pembangunan DKI Jakarta supaya menjadi lebih tertata dan indah jelas diperlukan. Namun, bukan berarti pembangunan tersebut dilakukan dengan mengabaikan aspek-aspek lingkungan dan keseimbangan alam. Selain itu sudah seharusnya pembangunan ibukota dilakukan demi kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat, bukannya demi keuntungan elit semata. Jakarta milik seluruh masyarakat Indonesia, bukan hanya punya orang kaya.***

Kajian ini disusun oleh:

Vyan Tashwirul Afkar – FMIPA 2014

(Kepala Dept. Kajian dan Aksi Strategis BEM FMIPA UI 2016)

Fiani Tiara Putri – FMIPA 2014

(Deputi Kajian Dept. Kajian dan Aksi Strategis BEM FMIPA UI 2016)

Referensi:

Damanik, M. Riza dan Marthin Hadiwinata. 2016 . Kertas Kasus Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) berjudul “Reklamasi TelukJakarta Sarat Penggusuan & Korupsi” tanggal 2 April 2016

Waryono, Tarsoen. (1987-2008) .”Reklamasi Pantai Ditinjau dari Segi Ekologi Lansekap dan Restorasi”. Kumpulan Makalah FMIPA Universitas Indonesia.

Waryono, Tarsoen. (1987-2008) .”Keanekaragaman Hayati dan Konservasi Ekosistem Mangrove”. Kumpulan Makalah FMIPA Universitas Indonesia.

Siahaan, N. H. T. 2004. Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan Edisi 2. Jakarta: Erlangga. hlm 518.

Naskah Peraturan Menteri ESDM No. 7 Tahun 2014

Sumber online

Republika Online. Rabu, 6 April 2016 . “5 Dampak Negatif Reklamasi Teluk Jakarta” http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/16/04/06/o56z5t282-5-dampak-negatif-reklamasi-teluk-jakarta (diakses 8 April 2016)

Indiana, Wanda. Kamis, 7 April 2016. “Ini Dampak Reklamasi Pulau di Teluk Jakarta” http://news.metrotvnews.com/metro/ob3oOX8b-ini-dampak-reklamasi-pulau-di-teluk-jakarta (diakses 8 April 2016)

Gultom, Aldi. 9 April 2016. “Pakar Oseanografi: Reklamasi Teluk Jakarta Perparah Banjir, Sedimentasi dan Kualitas Air”. http://www.rmol.co/read/2016/04/09/242590/Pakar-Oseanografi:-Reklamasi-Teluk-Jakarta-Perparah-Banjir,-Sedimentasi-Dan-Kualitas-Air- (diakses tanggal 9 April 2016)

Anonim. Rabu, 15 Oktober 2014. “Giant Sea Wall”: Meniru Darimana? Dibangun Untuk Siapa?”. http://megapolitan.kompas.com/read/2014/10/15/11471721/.Giant.Sea.Wall.Meniru.dari.Mana.Dibangun.untuk.Siapa (diakses 9 April 2016)

Anonim. Tanpa tanggal. “Pengertian, Fungsi, Tujuan dan Manfaat AMDAL”. http://www.artikelsiana.com/2015/01/pengertian-amdal-fungsi-tujuan-manfaat-amdal.html (diakses 9 April 2016)

Anonim. 25 Februari 2016. “Andal Reklamasi Pantai Talise Palu Berdampak Negatif, Tapi Kok Jalan?”

http://www.mongabay.co.id/2016/02/25/andal-reklamasi-pantai-talise-palu-berdampak-negatif-tapi-kok-jalan/ (diakses 9 April 2016)

Anonim. Tanpa tanggal. “Analisa Dampak Reklamasi Pada Daerah Pesisir Pantai”

http://www.ilmusipil.com/analisa-dampak-reklamasi-pada-daerah-pesisir-pantai

(diakses 9 April 2016)

Fitri, Sonia dan Achmad Syalaby. Kamis, 7 April 2016. “KLHK Bisa Hentikan Reklamasi Teluk Jakarta”. http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/lingkungan-hidup-dan-hutan/16/04/08/o59fws394-klhk-bisa-hentikan-reklamasi-teluk-jakarta (diakses 9 April 2016)

Artharini, Isyana. Senin, 4 April 2016. “KPK Turun Tangan, Proyek Reklamasi Teluk Jakarta Terancam?” http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/04/160403_indonesia_kpk_reklamasi (diakses 9 April 2016)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun