Tidak hanya memicu peningkatan banjir luapan, reklamasi juga akan memperparah banjir rob atau banjir yang disebabkan oleh pasang naik. Menukil pakar lingkungan sekaligus tenaga pengajar di Departemen Geografi FMIPA UI, Dr. Tarsoen Waryono, reklamasi membuat muka air laut naik. Ketika terjadi pasang naik, terjadilah banjir rob yang lebih besar daripada yang selama ini terjadi sebelum dilakukannya reklamasi. Akibatnya, pepohonan yang tidak dapat beradaptasi dengan air asin akan mati karena terendam air laut. Pantai utara Jakarta memang kerap dilanda banjir rob, tapi reklamasi dapat memperparah hal itu.
Belum cukup sampai di situ, melambatnya aliran air akibat reklamasi dapat menyebabkan akumulasi sedimen dalam air. Air sungai dan air laut lama kelamaan akan keruh karena material yang terbawa air tidak teralirkan dengan lancar. Akhirnya, terjadilah penurunan kualitas air. Sumur-sumur penduduk di sekitar pantai yang tadinya payau akan menjadi asin. Berkurangnya kualitas air tawar, tambah Dr.Tarsoen Waryono, Â juga memicu tumbuh kembangnya bakteri E-Colli yang apabila terminum dapat menyebabkan penyakit disentri dan diare.
Pada dasarnya, dampak negatif reklamasi Teluk Jakarta terhadap lingkungan jauh lebih banyak dibandingkan dengan manfaatnya. Satu-satunya pihak yang memperoleh keuntungan dari reklamasi ini hanyalah pengembangnya saja. Mereka bisa menghemat banyak biaya karena tidak perlu membeli tanah Jakarta yang harganya relatif mahal, jauh dibandingkan harga mengebrug laut. Selain itu, ongkos untuk tinggal di pulau buatan itu pun ditaksirkan mencapai miliaran rupiah yang berarti hanya bisa dijangkau oleh kalangan elit. Sementara masyarakat sekitar pantai masih banyak yang membutuhkan tempat hidup yang lebih layak, kini juga terancam penghidupannya. Â Jika pemerintah terus berkilah akan dampak yang ditimbulkan reklamasi ini, maka kita patut mempertanyakan: pembangunan di DKI Jakarta untuk siapa?Â
Kontaminasi Kimia Akibat Reklamasi
Reklamasi mengurangi dinamika air. Menurut riset dari Badan Pengkajian Dinamika Pantai Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPDP BPPT), muka air akan meningkat hingga setengah sampai satu meter. Pulau-pulau buatan itu nantinya menghalangi pergerakan air laut yang seharusnya lebih dinamis, sebagaimana tanggul yang menghalau laju sungai. Kondisi ini mirip dengan genangan air. Karena arus air antara DKI Jakarta dan pulau buatan juga mengecil, sehingga secara progresif air laut mengalami penurunan kualitas.
Sebelumnya, BPDP BPPT telah melakukan simulasi untuk menganalisis dampak pembangunan giant sea wall. Pembangunan tersebut merupakan proyek sinergis dari reklamasi Teluk Jakarta yang saat ini dilakukan. Hasilnya, mereka memastikan bahwa kebijakan tersebut terbukti dapat menimbulkan penurunan kualitas air.
Degradasi air dapat dilihat dari beberapa indikator. Beberapa di antaranya yaitu penurunan dissolved oxygen (DO), kenaikan biological oxygen demand (BOD), dan penurunan salinitas air. Ketiga indikator di atas telah positif terjadi pada simulasi yang dilakukan.
Indikator pertama adalah penurunan DO, yang merupakan kadar oksigen (O2) terlarut dalam air. Nilai DO yang biasanya diukur dalam bentuk konsentrasi ini menunjukkan jumlah oksigen yang terkandung dalam badan air. DO menunjukkan seberapa jauh perairan tersebut dapat menopang kehidupan bagi mahluk hidup di dalamnya. Semakin rendah DO, semakin sedikit organisme yang bisa bertahan. Dalam simulasinya, BPDP BPPT menemukan bahwa DO mengalami penurunan hingga 20 persen. Korelasinya dengan reklamasi Teluk Jakarta, hal serupa akan terjadi jika proyek ini dilanjutkan. Kurangnya pergerakan air menyebabkan peredaran oksigen terganggu dan terkonsentrasinya karbon dioksida (CO2) dalam air. Dampak lanjutnya, organisme di dalam air perlahan-lahan akan mati.
Indikator kedua yang ditemukan dalam simulasi BPDP BPPT adalah kenaikan BOD hingga lebih dari 100 persen. BOD atau kebutuhan oksigen biologis menunjukkan jumlah oksigen yang digunakan oleh mikroorganisme untuk menguraikan zat organik terlarut dan sebagian zat-zat organik yang tersuspensi di dalam air. Meningkatnya BOD hingga lebih dari 100 persen dalam riset BPDP BPPT tentu menjadi temuan yang fantastis. Jika BOD tidak memadai, maka organisme tidak dapat menguraikan zat organik sehingga zat-zat tersebut terakumulasi di dalam air. Reklamasi Jakarta yang merupakan bagian dari proyek giant sea wall ternyata berpotensi mengganggu keseimbangan ekosistem sedemikian signifikan.
Indikator selanjutnya, salinitas air menurun lebih dari 3 persen. Salinitas adalah tingkat keasinan atau kadar garam terlarut. Dengan menurunnya salinitas, maka biota laut seperti ikan, kerang, dan terumbu karang yang sudah terbiasa dengan tingkat salinitas tertentu menjadi terganggu. Salinitas juga berkaitan dengan tingkat kepekatan perairan. Hal ini mempengaruhi osmoregulasi dari mahluk hidup laut, yakni proses penyeimbangan cairan yang keluar dan masuk oleh organisme. Tidak menutup kemungkinan ikan-ikan akan berpindah ke perairan lain yang salinitasnya lebih cocok, sehingga berkuranglah hasil tangkapan nelayan di daerah sekitar reklamasi.
Kontaminasi Laut Jakarta juga bisa terjadi dari aliran lainnya. Misalnya, sungai yang terhambat karena pulau hasil reklamasi. Unsur-unsur organik maupun anorganik yang terbawa aliran sungai akan terkumpul dan menggenang di perairan antara pantai Jakarta dengan pulau buatan. Selain itu, konsekuensi dari adanya aktivitas manusia di pulau tersebut mau tak mau pasti menghasilkan limbah. Dalam bentuk padatan, limbah bisa saja diangkut dan ditampung sebagaimana penanganan selama ini. Namun, untuk limbah dalam bentuk cair rasanya tidak mungkin tidak, pasti ada yang dialirkan ke laut.