Terkait keluarnya izin pelaksanaan reklamasi, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menyebutkan setidaknya ada 5 pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Pemerintah DKI Jakarta. Pertama, mereka telah menerbitkan izin melampaui kewenangannya. Sebagai Ibukota Negara Indonesia, DKI Jakarta telah ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional. Maka, kewenangan pengelola dan pemanfaatannya tidak bisa terlepas dari peran pemerintah pusat. Faktanya, KLHK yang merupakan perpanjangan tangan pemerintah pusat telah menilai bahwa AMDAL Regional yang diajukan sebelumnya tak layak. Di samping itu, ada tumpang tindih kewenangan antar lembaga. Kementerian Kelautan dan Perikanan yang juga pemerintah pusat mengatakan bahwa perizinan seharusnya turut melalui lembaganya itu. Hal ini mengingat bahwa yang direklamasi adalah wilayah laut.
Kedua, Pemerintah DKI menerbitkan izin reklamasi tanpa adanya Perda Rencana Zonasi. Padahal berdasarkan UU No. 27 Tahun 2007 sebagai aturan yang secara khusus mengatur pengelolaan sumber daya dan wilayah pesisir laut di bawah 12 mil, pada Pasal 9 memandatkan adanya Peraturan Zonasi sebagai arahan pemanfaatan sumber daya di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Peraturan tersebut bertujuan meminimalisasi adanya konflik pemanfaatan sumber daya. Lalu sudah sejauh apa pembahasan mengenai rancangan perda ini? Terbaru, KPK berhasil mengangkap basah anggota DPRD Jakarta dalam dugaan kasus suap untuk memuluskan pembahasan raperda tersebut.
Pelanggaran hukum selanjutnya adalah penerbitan izin reklamasi tanpa didasarkan pada Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Berdasarkan Pasal 15 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2009, KLHS wajib dilakukan dalam penyusunan dan evaluasi kebijakan, rencana, dan/atau program yang berpotensi menimbulkan dampak atau risiko lingkungan hidup. Reklamasi 17 pulau yang dipastikan akan mengubah bentangan alam, adalah salah satu di antaranya.
Penerbitan izin reklamasi dengan penilaian lingkungan hidup secara parsial (setengah-setengah) tanpa melalui kajian kawasan terpadu dan holistik, adalah pelanggaran keempat. Sudah banyak kajian akademik maupun pendapat ahli yang menyatakan bahwa reklamasi akan menimbulkan tiga dampak utama bagi lingkungan, yaitu sedimentasi, eutrofikasi, dan penumpukan logam berat di dalam air. Hal ini sudah dijabarkan dalam pembahasan sebelumnya. Intinya, reklamasi akan memperburuk kondisi lingkungan di Teluk Jakarta.
Pelanggaran kelima disebabkan Pemerintah DKI Jakarta menerbitkan izin reklamasi tanpa mengikuti prosedur perizinan lingkungan hidup berdasarkan PP No. 27 Tahun 2007. Perizinan lingkungan hidup berupa Surat Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup, Izin Lingkungan, dan dokumen AMDAL tidak pernah diumumkan kepada masyarakat luas, termasuk yang terdampak langsung yakni nelayan tradisional. Ironis, sebagai pihak yang turut urun kepentingan, nelayan seolah-olah tidak dianggap sebagai bagian dari masyarakat Jakarta.
Terbitnya AMDAL Tunggal dan perizinan dari Pemerintah DKI Jakarta patut menjadi pertanyaan bersama. Sebab di tengah pergolakan tentangan masyarakat sekitar didukung pendapat ahli dan akademisi mengenai dampak buruk reklamasi, pemerintah tidak gentar mengurungkan niatnya membatalkan surat perizinan. Tertangkapnya Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta dan Direktur PT. Agung Podomoro Land oleh KPK seolah menjawab satu persatu pertanyaan-pertanyaan besar masyarakat. Membawa publik pada dugaan ke arah yang sama: reklamasi Teluk Jakarta sarat akan praktik korupsi.
Kesimpulan
Reklamasi yang tengah berlangsung di Teluk Jakarta menuai berbagai polemik di masyarakat. Kompleksnya permasalahan tidak hanya menyentil aspek-aspek sosial dan ekonomi, namun juga mengganggu keseimbangan alam. Berdasarkan analisis melalui disiplin Ilmu-ilmu Alam, reklamasi dapat menyebabkan beberapa ancaman yang nyata bagi lingkungan, yaitu:
1. Â Â Â Memperlambat arus muara dan meningkatkan banjir luapan saat musim hujan
2. Â Â Â Meningkatkan muka air laut sehingga memperparah banjir rob saat terjadi pasang naik air laut
3. Â Â Â Mempercepat akumulasi sedimen dan pendangkalan sungai