Mohon tunggu...
Kastrat IMS FTUI
Kastrat IMS FTUI Mohon Tunggu... Mahasiswa - #PRAKARSA

Pagi Sipil! Kastrat IMS FTUI kini hadir di Kompasiana untuk membagikan beberapa tulisan yang kami hasilkan

Selanjutnya

Tutup

Nature

Hari Penanggulangan Degradasi Lahan dan Kekeringan Sedunia: Lahan Kritis, Indonesia Miris?

5 Agustus 2021   00:49 Diperbarui: 5 Agustus 2021   00:53 488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

" Untuk melakukan pemulihan degradasi lahan, harus ada upaya menyamakan persepsi tentang hal tersebut untuk menentukan pendekatan yang akan digunakan. Hal ini perlu, mengingat degradasi lahan merupakan permasalahan kompleks yang salah satunya disebabkan oleh aktivitas manusia."

- Dr Ir Zulkarnain Chairuddin MP (Dosen Fakultas Pertanian Unhas)

Setiap tanggal 17 Juni, seluruh negara termasuk Indonesia merayakan sebuah momentum istimewa yang dikenal dengan Hari Penanggulangan Degradasi Lahan dan Kekeringan Sedunia atau World Day to Combat Desertification (WDCS). 

Tujuan dari adanya peringatan hari istimewa ini dikarenakan masih banyak masyarakat dunia yang belum merasa sadar akan permasalahan degradasi lahan dan kekeringan yang terjadi di bumi ini yang dinilai memiliki urgensi tinggi seiring dengan pertambahan alih guna lahan sebagai pemenuhan kebutuhan populasi manusia yang semakin meningkat. 

Adapun asal muasal penetapan 17 juni sebagai hari penanggulangan degradasi lahan dan kekeringan sedunia dimulai dari hasil resolusi sidang umum PBB No. A/RES/49/115 yang lahir pada tanggal 17 juni 1994 dengan misi yang akan diemban adalah mengingatkan manusia bahwa akan terdapat 1,8 miliar orang mengalami kelangkaan akan sumber daya air dan sebanyak penduduk di dunia akan berada di dalam kondisi kekurangan air pada tahun 2025.

Tidak hanya itu, sebanyak kurang lebih 135 juta orang akan melakukan migrasi akibat proses penggurunan yang akan terjadi pada tahun 2045. Mengingat bahwa proses dari degradasi yang dapat mengancam lingkungan paling berbahaya di dunia adalah degradasi lahan, maka Indonesia melalui Keputusan Presiden No.135 tahun 1998 meratifikasi konvensi PBB terkait Penanggulangan Degradasi Lahan atau United Nations Convention to Combat Desertification (UNCCD). 

Konvensi PBB tersebut juga dikenal sebagai konvensi RIO dikarenakan konvensi lingkungan pertemuan Bumi diadakan di Rio de Janeiro bersamaan dengan dua konvensi lingkungan lainnya yaitu konvensi kerangka kerja perubahan iklim (UNFCCC) dan konvensi keanekaragaman hayati (CBD).

Menurut FAO (1994), degradasi lahan didefinisikan sebagai proses penurunan produktivitas lahan yang ditandai dengan adanya penurunan baik dari sifat fisik, kimia, dan  biologi serta bersifat sementara maupun tetap. 

Degradasi lahan ini dapat terjadi sebagai efek dari terus bertambahnya jumlah penduduk di muka bumi ini. Adapun kekeringan sendiri memiliki definisi yaitu sebuah fenomena saat curah hujan berkurang dalam periode waktu tertentu sehingga menyebabkan pasokan air berkurang guna kebutuhan sehari - hari (UN-ISDR, 2009). 

Suatu lahan yang terdegradasi tentu akan menjadi sumber dari bencana baik kekeringan maupun kebakaran yang kita tahu akan mempercepat terjadinya pemanasan global karena suhu bumi semakin naik. Contoh peristiwa degradasi lahan menimbulkan pemanasan global adalah degradasi lahan yang terjadi di kawasan Puncak-Bogor. 

Akibatnya, banjir terjadi di Jakarta dan bahkan menyebabkan pemanasan global yang efeknya sendiri dirasakan sampai di Eropa (WWF 2008, Arsyad 2010; Utomo 2012). Terdapat tiga aspek yang menjadi penyebab dari adanya degradasi lahan ini yaitu aspek fisik, kimia, dan biologi. Adapun degradasi secara fisik yakni ketidakseimbangan air, kerusakan struktur tanah, pergerakan, dan aerasi serta drainase yang terhalang. 

Lalu, untuk asidifikasi, ketidakseimbangan unsur hara dan keracunan, salinisasi, serta pencemaran merupakan penyebab degradasi lahan jika dilihat dari aspek kimiawi. Sedangkan, adanya penurunan keanekaragaman hayati dan vegetasi, penurunan karbon biomassa dan karbon organik tanah menjadi penyebab dari adanya degradasi lahan secara aspek biologis.

Selain aspek, degradasi lahan memiliki pendefinisian yang berbeda beda dalam berbagai sektor. Pada sektor pertanian, degradasi lahan adalah lahan pertanian khususnya pada lahan permukaan (top soil) yang berkurang produktivitasnya akibat kondisi lahan tersebut yang memburuk. 

Lahan pertanian yang sebelumnya pernah dimanfaatkan, namun berubah menjadi lahan yang tidak produktif atau terlantar akibat dianggap kurang sesuai untuk dijadikan lahan pertanian menjadi salah satu bentuk dari tanah terlantar. 

Hal inilah yang menjadi cikal bakal adanya lahan - lahan yang kritis yaitu areal - areal yang tidak produktif. Pada sektor kehutanan, degradasi lahan memiliki arti yakni lahan yang sebelumnya merupakan lahan hutan namun akibat aktivitas penebangan sehingga mengalami proses degradasi yang menyebabkan kandungan karbon meningkat dan biodiversitas mengalami penurunan sehingga tidak dapat digunakan oleh manusia sebagai lahan pertanian atau lahan produktif lainnya. 

Terakhir, sektor lingkungan hidup dan pertambangan, degradasi lahan didefinisikan sebagai lahan yang telah rusak sehingga fungsi dari lahan tersebut perlahan - lahan menghilang yang akan menyebabkan semakin berkurangnya daya dukung lahan bagi kehidupan dan menyebabkan adanya kontaminasi lahan akibat dari aktivitas manusia yang menimbulkan kerusakan lingkungan atau ekosistem seperti membuang sampah bahkan kegiatan pertambangan. 

Jika ditinjau dari berbagai macam ekosistem, degradasi lahan dapat terjadi baik di lahan sawah, lahan kering, lahan gambut, hutan, mangrove, dan padang penggembalaan. 

Lahan sawah sebenarnya termasuk kedalam ekosistem yang relatif dapat dikatakan stabil, namun akhir - akhir ini malah cenderung mengalami penurunan dari segi kualitas yang cukup signifikan. Hal ini biasanya disebabkan akibat penggunaan pupuk yang melebihi batas normal sehingga menyebabkan kerusakan fisik berupa tanah retak saat kemarau tiba. 

Selanjutnya, lahan kering mengalami degradasi lahan yang terus meningkat dari tahun ke tahun dan semakin meluas. Hal ini dikarenakan alih fungsi lahan yang dilakukan sembarang oleh manusia. 

Selain itu, penyebab degradasi lahan kering ini juga disebabkan oleh aktivitas erosi dan penggunaan senyawa pencemaran limbah industri yang kawasan industrinya sendiri berdekatan dengan areal lahan kritis tersebut. Tidak hanya ekosistem sawah yang merupakan ekosistem relatif stabil, namun ekosistem gambut juga demikian stabil. 

Akan jika terjadi gangguan baik secara alami maupun non-alami, gambut akan mudah untuk mengalami degradasi. Dibutuhkan kecermatan dalam memanfaatkan lahan gambut ini agar tidak rapuh terdegradasi. 

Hal yang dilakukan dalam mengembangkan lahan gambut ini haruslah bersesuaian dengan prinsip yaitu adanya kegiatan restorasi sistem hidrologi untuk hutan rawa yang terdegradasi, butuh konservasi hutan gambut yang belum terdegradasi, dan adanya sistem pengelolaan air yang harus diperbaiki pada daerah yang akan mengalami peralihan fungsi lahan misalnya perkebunan.

Seperti yang kita tahu bersama, bahwa hutan Indonesia seringkali mengalami deforestasi oleh manusia sehingga areal hutan yang mengalami degradasi semakin meningkat terus menerus. Hal inilah yang menyebabkan penutupan vegetasi hutan di Indonesia juga semakin menurun. 

Menurut BPS, luas daratan kawasan hutan Indonesia pada tahun 2017 telah mencapai angka 120.601.155,73 hektar, namun terus mengalami penurunan menjadi 120.495.702,96 hektar atau turun sekitar 65.000 hektar di tahun 2019. 

Menurut Forest Watch Indonesia (FWI), laju deforestasi dan degradasi hutan Indonesia telah mencapai kisaran 1,6 - 1,8 juta ha/tahun pada interval waktu antara periode 1985 - 1998. Laju ini kian meningkat secara signifikan menjadi rata - rata 2,8 juta ha/ tahun pada periode 1997 - 2000. 

Untuk tahun 2020, Indonesia dinyatakan berhasil dalam menurunkan laju deforestasi dengan angka 115, 46 ha atau sekitar 75, 03% dalam periode 2019 - 2020 (Ditjen PKTL KLHK, 2021). 

Selain itu, untuk lahan kritis di Indonesia terbagi menjadi lahan kritis dan lahan sangat kritis. Menurut BPS, jumlah lahan sangat kritis di Indonesia sekitar 5,2 hektar dengan total jumlah lahan kritis yaitu 22 juta hektar pada tahun 2011. Lalu, terjadi penurunan di tahun 2013 menjadi 4,6 juta hektar lahan sangat  kritis dengan total lahan kritis sebanyak 19, 6 juta hektar. Lalu, terdapat 9,5 juta hektar lahan kritis dengan 4,6 juta hektar lahan yang sangat kritis pada tahun 2018. 

Menurut catatan penegakan hukum lingkungan hidup dan kehutanan KLHK wilayah Indonesia meliputi wilayah Indonesia bagian barat yakni Sumatera hingga wilayah Indonesia bagian timur yaitu papua telah mengalami gangguan kerusakan hutan selama masa pandemi ini. 

Beredar informasi dari seorang peneliti senior Chatham House bahwa setengah perdagangan kayu secara ilegal itu berasal dari Indonesia pada tahun 2013. 

Hal ini dapat disimpulkan bahwa kegiatan deforestasi hutan menjadi kasus dominan yang hampir terjadi  di kawasan hutan serta menjadi penyebab adanya gangguan kerusakan hutan di hampir seluruh wilayah Indonesia. 

Selanjutnya, ekosistem mangrove menjadi ekosistem yang mudah mengalami kerusakan akibat kebutuhan manusia akan lahan yang bernilai secara ekonomis semakin tinggi. Menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan, luas mangrove di Indonesia telah mencapai 3,49 juta Ha. 

Namun beribu sayang, sekitar 52% atau kurang lebih 1,82 juta Ha luas mangrove Indonesia tersebut dalam kondisi yang rusak.

Hal ini sungguh disesali karena adanya degradasi pada ekosistem mangrove ini tidak hanya menjadi penyebab dari hilangnya nilai ekonomi saja, melainkan hal yang terpenting adalah jasa lingkungan seperti stok karbon, tempat habitat satwa liar, dan sebagai tempat penghasil nutrisi bagi satwa - satwa laut akan terancam hilang. 

Terakhir, adanya gulma yang tidak terkendali mengakibatkan kerusakan pada vegetasi dan memberikan efek kerusakan pula di ekosistem padang penggembalaan sehingga kualitas dan kuantitasnya terancam mengalami penurunan. 

Oleh karena itu, perlu adanya peningkatan daya dukung seperti merehabilitasi lahan dan pembangunan pada areal yang belum dimanfaatkan di lahan penggembalaan. 

Sama halnya dengan fenomena kekeringan, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah menyebutkan bahwa sejumlah daerah di Indonesia akan mengalami kekeringan yang cukup signifikan, namun tidak separah dengan tahun 2019.(CNN Indonesia, 2020). Berdasarkan hasil pengawasan yang dilakukan oleh BMKG, terdapat dua indikasi yang berpotensi mengalami kekeringan dengan status waspada bahkan terdapat pula yang masuk di status awas. Adapun wilayah yang akan berpotensi mengalami kekeringan dengan status waspada yaitu Kota Denpasar, Kab. Cianjur, Kabupaten Cirebon,Kabupaten Demak, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Blitar, 

Kabupaten Gresik, Kabupaten Jember, Kota Surabaya, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Mojokerto, Kabupaten Ponorogo, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Maluku Barat Daya, Kepulauan Tanimbar, Kabupaten Lombok Barat, Kabupaten Lombok Utara, Kabupaten Alor, Kabupaten Manggarai Barat, Kabupaten Manggarai Timur, Kabupaten Nagekeo, Kabupaten Ngada, Kabupaten Sumba Barat, Kabupaten Sumba Tengah, dan Kabupaten Timor Tengah Utara. 

Sementara itu, untuk wilayah dengan status kekeringan siaga yaitu Kabupaten Buleleng,Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunung Kidul, Kota Yogyakarta, Kabupaten Kulon Progo, dan Kabupaten Sleman, Kabupaten Jepara, Kabupaten Klaten, Kabupaten Purworejo, Kabupaten Sragen, Kabupaten Sukoharjo, dan Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Bangkalan, 

Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten Bondowoso, Kabupaten Lamongan, Kabupaten Madiun, Kabupaten Magetan, Kabupaten Malang, Kabupaten Nganjuk, Kabupaten Ngawi, Kabupaten Pamekasan, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Sampang, Kabupaten Sidoarjo, dan Kabupaten Situbondo, 

Kabupaten Dompu, Kabupaten Kabupaten Bima, Kota Bima, Kota Mataram, Kabupaten Lombok Tengah, Kabupaten Lombok Timur, Kabupaten Sumbawa, dan Kabupaten Sumbawa Barat, Kabupaten Belu, Kabupaten Ende, Kabupaten Flores Timur, Kabupaten Kupang, Kabupaten Lembata, Kabupaten Rote Ndao, Kabupaten Sabu Raijua, Kabupaten Sikka, Kabupaten Sumba Barat Daya, Kabupaten Sumba Timur, dan Kabupaten Timor Tengah Selatan. Sedangkan wilayah yang memiliki potensi untuk mengalami kekeringan dengan status awas adalah di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur 

Oleh karena itu, BMKG berusaha untuk menghimbau baik pemerintah maupun masyarakat untuk merencanakan antisipasi dampak kekeringan yang mungkin saja cukup signifikan terutama dalam sektor pertanian karena kurangnya pasokan air untuk lahan pertanian. 

Sedangkan pada sektor lainnya yaitu sektor lingkungan, kekeringan yang signifikan ini mampu meningkatkan potensi adanya kebakaran lahan maupun hutan dan pasokan sumber air untuk kebutuhan rumah tangga juga menurun kuantitasnya. 

Melihat angka lahan yang terdegradasi  semakin tinggi dan jumlah wilayah kekeringan di Indonesia semakin meluas, tentunya ada ancaman yang akan ditimbulkan dari persoalan tersebut terhadap kehidupan manusia baik secara langsung maupun tidak. 

Terjadinya gangguan terhadap ketahanan pangan, kemiskinan, semakin rentan daerah yang akan terganggu akibat perubahan iklim dan pasokan air bersih akan semakin menurun merupakan konsekuensi yang akan dihadapi manusia saat permasalahan degradasi lahan dan kekeringan tidak dapat di minimalisirkan. Kurangnya ketersediaan pangan atau pendapatan telah dirasakan dampaknya secara langsung oleh kurang lebih 1,5 miliar penduduk dunia. 

Selain itu, diperkiraan kerugian ekonomi tahunan sekitar 1,5 - 3,4 triliun Euro di tahun 2008 akibat adanya deforestasi berlebihan dan degradasi lahan (ELD Initiative,2014).  

Hal inilah yang menyebabkan sumber daya tanah dan air menjadi sumber daya langka sehingga menimbulkan persaingan untuk mendapatkannya. Ditambah lagi, seiring berjalannya waktu lahan pertanian yang subur di seluruh dunia semakin hilang dengan total kisaran setiap tahunnya mencapai 24 miliar ton lahan subur. 

Maka, sudah saatnya kita untuk menghentikan kehancuran tanah ini sehingga bumi akan terus dapat memberikan pelayanannya dalam hal ekosistem darat yang cukup untuk menghidupi jumlah populasi manusia yang akan terus meningkat.

Kegiatan untuk merecovery lahan yang terdegradasi merupakan kegiatan yang berkaitan dengan tujuan dalam Sustainable Development Goals (SDGs) yaitu pada tujuan 15 yakni melindungi, memulihkan, dan meningkatkan pemanfaatan secara berkelanjutan terhadap ekosistem darat, mengelola hutan secara berkelanjutan, memerangi desertifikasi, dan menghentikan dan memulihkan degradasi lahan dan menghentikan hilangnya keanekaragaman hayati. 

Komponen yang dilakukan oleh usaha pemerintah untuk mencapai tujuan dalam SDGs ke-15 ini disebut sebagai Sustainable Land Management atau pengelolaan lahan secara berkelanjutan. 

Adanya praktik Sustainable Land Management (SLM) mendorong terciptanya potensi dalam menjaga, melestarikan, dan meningkatkan layanan ekosistem darat sehingga adanya kerusakan tanah vegetasi, degradasi lahan dapat diminimalisirkan oleh SLM ini. Terdapat tiga kategori pembagian layanan ekosistem yang diberikan oleh SLM ini yaitu 

  1. Menyediakan layanan pangan, bahan bakar, penyediaan air tawar serta pakan untuk ternak. 

Dalam hal ini, SLM ini akan turut membantu dalam menyediakan energi, air bersih, dan menunjang ketahanan pangan terutama untuk para petani kecil

  1. Melakukan pengaturan dalam tutupan vegetasi dan tanah bagi keanekaragaman hayati.

Untuk kategori ini, SLM memberikan bantuan dalam meningkatkan daya dukung siklus nutrisi agar terjaga, membantu meningkatkan tingkat kelembaban pada tanah sehingga petani kecil mampu untuk mengelola dan melakukan pemberdayaan, serta turut dalam melestarikan benih lokal 

  1. Membantu dalam aspek budaya dan sosial yang dapat memberikan manfaat bagi masyarakat.

SLM akan memberikan dukungan dalam meningkatkan sektor ekowisata, melindungi lanskap budaya, dan memberikan metode produksi yang bermanfaat secara luas. 

Sejauh ini pemerintah telah melakukan dua jenis program dalam menangani lahan yang mengalami degradasi yaitu program Gerakan Rehabilitasi Lahan dan Hutan Nasional (GERHAN) dan program Pengembangan Usahatani Konservasi Terpadu (PUKLT). 

Adapun maksud dari program GERHAN adalah suatu kegiatan rehabilitasi lahan dan hutan yang diharapkan dapat mendayagunakan kemampuan baik masyarakat atau pemerintah dalam upaya me-recovery sehingga hutan dan lahan di wilayah daerah aliran sungai dapat dimanfaatkan dan berdampak luas. 

Sedangkan untuk program PUKLT memiliki tujuan yaitu meningkatkan pengetahuan dan kemampuan bagi petani dalam mengelola lahan dengan baik, memperbaiki lahan yang mulai terdegradasi namun memiliki nilai potensial di daerah DAS, dan membantu untuk meningkatkan produksi usaha tani dan produktivitas dari lahan yang ingin dikelola. 

Lalu, bagaimana strategi yang dapat diaplikasikan dalam menangani permasalahan degradasi lahan? strategi yang dapat dilakukan adalah mempergunakan sumber daya lahan harus disesuaikan dengan kemampuan lahan tersebut, tata guna lahan yang dianggap menyimpang dan berlebih harus ditindak dengan tegas, pemakaian teknologi konservasi tanah dan air pun juga harus disesuaikan dengan penggunaan dan  kemampuan lahan tersebut. Selain itu, dari sisi pemerintah, perlu direvisi atau ditinjau kembali terkait undang - undang konservasi tanah dan air, suatu departemen yang menangani permasalahan yang berkaitan lahan harus segera menargetkan pencegahan degradasi pada lahan sebagai prioritas pertama, dan dalam jangka panjang, pemerintah perlu memasukkan materi terkait degradasi lahan ini ke dalam kurikulum pendidikan. 

Daftar Pustaka 

 

Agung. (2020, September 25). Indonesia Hadapi 14 Juta Hektare Lahan Kritis. Retrieved from https://ugm.ac.id/id/berita/20119-indonesia-hadapi-14-juta-hektare-lahan-kritis

Arsyad, S. 2010. Konservasi Tanah dan Air. Edisi Kedua, Cetakan kedua. IPB Press. Bogor hlm.382.. 

Badan penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2007. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis: Tinjauan Aspek Kesesuaian Lahan. Edisi II. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta

BADAN PUSAT STATISTIK. (n.d.). Luas Kawasan Hutan dan Kawasan Konservasi Perairan Indonesia Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Dariah, W. d. (2014). Degradasi Lahan di Indonesia: Kondisi Existing, Karakteristik, dan Penyeragaman Definisi Mendukung Gerakan Menuju Satu Peta. Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 8 No. 2,, 81 - 91.

Darma, S Tarigan, Naik Sinukaban, Kukuh Murtilaksono. (2008). Makalah Undangan Analisis dan Strategi Penanganan Lahan terdegradasi dalam Mendukung Penyediaan Lahan Pangan dan Ketersediaan Air. PROSIDING SEMILOKA NASIONAL .

Dirjen PLA, 2007. Pedoman Teknis Pengembangan Usahatani Konservasi Terpadu. Departemen Pertanian. Jakarta

Dirjen RLPS.2007. Data Lahan Terdegradasi Nasional. Departemen Kehutanan. Jakarta.

FAO. (1994). Land degradation in South Asia, its severity, causes, and effects upon the people. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Rome, Italy.

Gloria Fransisca Katharina Lawi, "KLHK Targetkan Lahan Kritis Tersisa Hanya 207.000 Ha," Bisnis.com, 2019, Bisnis.

Hermudananto. (2020). Kerusakan Hutan Belum Berhenti selama Pandemi. Kompas.com.

Hidayat, A. (2009). SUMBERDAYA LAHAN INDONESIA : POTENSI, PERMASALAHAN, DAN STRATEGI PEMANFAATAN. Jurnal Sumberdaya Lahan Vol.3 , 107 - 115.

Juli Etha Ramaida Manalu, "KLHK Revisi Luasan Lahan Kritis," bisnis,com, 2018, Bisnis.

KEHATI. (2019, Juni 17). HARI PENANGGULANGAN DEGRADASI LAHAN DAN KEKERINGAN SEDUNIA 2019: KURANGI KERUSAKAN BUMI INDONESIA. Retrieved from Kehati

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun