Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 16 Tahun 2007, guru layak mengajar didefinisikan sebagai guru dengan kualifikasi akademik minimal D4/S1.Â
Pada TA 2017/2018, terdapat peningkatan persentase guru layak mengajar sebesar 1,57 %. Frasa "layak mengajar" bukan merupakan ukuran kualitas guru satu-satunya.Â
Menurut UU RI No. 14 Tahun 2005, kompetensi guru dibagi menjadi 4 kategori, yaitu pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial. Empat kategori ini menjadi standar ukuran kompetensi guru di Indonesia. Yang menjadi kendala dalam implementasi sistem zonasi, di mana rotasi guru-guru antar sekolah akan semakin intensif adalah kompetensi guru yang belum mencapai angka standar kompetensi minimal.Â
Rata-rata uji kompetensi guru secara nasional baru mencapai 53,02 sedangkan angka standar kompetensi minimal yang harus dicapai adalah 55.Â
Hal ini dapat menjadi tantangan bagi sekolah-sekolah yang mau tidak mau harus merotasi guru-guru yang berkompetensi di atas rata-rata dengan guru-guru dengan kompetensi di bawah rata-rata. Hal ini secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap efisiensi dan efektivitas pembelajaran di sekolah, paling tidak secara jangka pendek.
Kualitas tenaga pendidik juga menentukan seberapa besar beban kerja yang dapat ditanggung. Beban kerja guru diukur dengan menggunakan rasio guru-murid.Â
Pada TA 2017/2018, rasio guru-murid di Indonesia pada setiap jenjang pendidikan adalah 1:17 untuk jenjang pendidikan SD, 1:16 untuk jenjang pendidikan SMP dan SMA, dan 1:17 untuk SMK (Kemdikbud, 2018).Â
Pasal 17 Peraturan Pemerintah No. 74 tahun 2008 tentang guru menyatakan bahwa pada jenjang SD, SMP, dan SMA, rasio guru-murid ideal adalah 1:20. Apabila diamati secara sekilas, nampaknya rasio guru-murid di Indonesia sudah sangat ideal.Â
Namun perlu diperhatikan bahwa rasio guru-murid tidak mempertimbangkan beberapa hal seperti jam mengajar, status guru honorer atau PNS, dan kepala sekolah yang jarang terlibat dalam aktivitas mengajar.
Melalui penjabaran-penjabaran di atas, terdapat pernyataan implisit bahwa walaupun kebijakan zonasi dapat mendistribusikan peserta didik secara lebih baik kepada sekolah-sekolah, ketimpangan kualitas pendidikan masih tetap akan terjadi tanpa adanya peningkatan fasilitas dan kualitas tenaga pendidik di Indonesia.Â
Mengutip kembali pernyataan Hanushek (2007), meskipun tidak ada kausalitas yang jelas antara faktor-faktor input pendidikan terhadap output pendidikan berupa pencapaian siswa, agaknya menilik kembali efektivitas sekolah dalam aktivitas pembelajaran di Indonesia dapat membantu untuk mengeliminasi ketimpangan kualitas pendidikan.Â