Mohon tunggu...
Kastrat BEM UI
Kastrat BEM UI Mohon Tunggu... Freelancer - @bemui_official

Akun Kompasiana Departemen Kajian Strategis BEM UI 2021. Tulisan akun ini bukan representasi sikap BEM UI terhadap suatu isu.

Selanjutnya

Tutup

Music Artikel Utama

Pergerakan Feminisme dalam Skena Musik Punk

18 Desember 2020   18:52 Diperbarui: 20 Desember 2020   16:09 1243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa waktu yang lalu saya sedang hobi mendengarkan lagu-lagu bergenre punk. Genre ini tidak begitu diminati anak muda zaman sekarang yang lebih menyukai indie pop, tapi masih ada saja peminat aliran musik ini seperti film-film cult produksi Amerika. 

Banyak sekali band punk yang asyik untuk didengar seperti Sex Pistols, The Clash, Ramones, dan band-band punk lainnya yang menjamur di era 70-an. Namun, saya menemukan pemandangan yang unik ketika saya mendengar lagu dari sebuah band punk 90-an bernama Bikini Kill. 

Selama saya mendengarkan musik aliran punk, jarang sekali saya melihat perempuan bermain di dalam band tersebut. Namun, Bikini Kill bahkan tidak memiliki satu anggota pun yang laki-laki.

Begitu juga dengan liriknya yang sarat dengan isu-isu feminisme. band ini sungguh berbeda jika dikomparasikan dengan stereotipe masyarakat terhadap skena musik punk yang identik dengan dominasi laki-laki dan maskulinitas.

Seperti yang diketahui, skena punk bukan hanya sekedar aliran musik, melainkan sebuah ideologi yang menjadi prinsip dan subkultur di beberapa kelompok masyarakat. skena punk selalu vokal dalam isu politik dan perlawanan terhadap pemerintah, namun sebelum band Bikini Kill muncul rasanya hampir tidak ada band punk yang membawa narasi feminis. 

Maka dari itu, band Bikini Kill dengan narasi feminis radikal yang dibawanya adalah suatu prinsip yang berseberangan dengan punk pada umumnya. 

Berdasarkan pengalaman tersebut, saya menjadi tertarik untuk mengulik bagaimana skena punk dapat membuka ruang bagi perempuan untuk menyuarakan narasi feminis dan dampaknya ke dalam ruang lingkup sosial masyarakat kedepannya. 

Selain ini adalah batu loncatan bagi skena musik punk untuk mengekspansi cakupan isu yang diperjuangkan, penyuaraan narasi feminis ini pastilah suatu titik balik bagi gerakan feminisme untuk tumbuh kembali membawa isu yang lebih personal. 

Selain itu, wacana feminis dalam skena musik punk juga telah menghidupkan kembali feminisme gelombang sebelumnya yang hampir mati karena disebut-sebut sudah mencapai tujuannya.

Berkenalan dengan Skena Musik Punk

Skena musik punk mulai muncul sejak awal tahun 70-an melawan popularitas dari musisi rock yang sangat besar di zaman itu seperti David Bowie, The Rolling Stones, dan Led Zeppelin. 

Sebelum skena musik Punk muncul di tahun 70-an, terdapat aliran atau gaya bermusik yang menjadi akar dari genre musik punk yaitu proto-punk dengan musisi populernya adalah The Velvet Underground, The Stooges, dan lain sebagainya. 

Skena musik punk muncul di ranah subkultur underground yang berisikan narasi-narasi subversif dan anarkis terhadap pemerintahan dan juga anti-society. 

Awalnya, para kritikus musik kesulitan mendefinisikan aliran musik yang dibawa oleh musisi punk yang menjamur di dekade ini karena gayanya yang seperti garage rock namun terdengar kacau dengan durasi lagu yang sangat singkat. Namun, seiring berjalannya waktu nama punk mulai ramai diperbincangkan dan sering juga disebut-sebut dengan istilah punk rock. 

Tokoh yang menjadi trademark dalam skena musik punk 70-an tidak lain adalah Sex Pistols, band asal Inggris. Punk menjadi suatu gaya hidup dan ideologi bagi beberapa kaum miskin di Inggris dan anti sosial.

Kemunculan punk lewat Sex Pistols membuat skena musik punk berkembang hingga ke kancah internasional. Dari sinilah muncul band-band punk lainnya yang berasal dari mancanegara khususnya amerika seperti Ramones dan Television. 

Tidak hanya menjadi sebuah aliran musik, punk juga mempengaruhi banyak aspek kultural mulai dari gaya busana, gaya hidup, bahkan ideologi bagi banyak penggemarnya. Aliran musiknya juga terus mengalami dinamika dan perkembangan menciptakan subgenre yang terus memiliki peminatnya, seperti hardcore punk, post-punk, ska, dan masih banyak lagi. 

Skena musik punk memiliki keunikan tersendiri jika menyangkut pada pendekatan bermusik. Hal ini dikarenakan banyak lagu punk yang terdengar mentah dan tidak memiliki produksi yang baik. 

Banyak juga lagu punk yang tidak memiliki chord progression yang brilian melainkan hanya lagu dengan tempo cepat. Lagu-lagu punk hanya terdengar seperti kebisingan dengan irama yang datar dengan durasi sangat cepat. 

Selain itu cara bernyanyi yang sembarangan dan gaya berpakaian yang ugal-ugalan juga membuat musisi punk disebut-sebut sebagai orang-orang anarkis yang tidak bisa main musik. 

Namun ironisnya, memang gaya bermusik seperti itulah yang memang ingin dilakukan oleh para musisi punk. Punk ingin membuktikan kepada masyarakat bahwa berkarya tidak melulu tentang berbakat dan berlomba menjadi musisi handal seperti band-band rock yang sedang populer. 

Punk adalah bentuk perlawanan dari anggapan karya musik yang baik maupun buruk. Band Sex Pistols pernah ditanyai dalam sebuah wawancara dengan NME mengenai anggapan orang-orang bahwa ia tidak bisa bermain musik. Mereka dengan berani menjawab, "Actually, we're not into music. We're into chaos".

Sesuai dengan kacaunya gaya bermusik musisinya, punk juga muncul dengan membawa pesan-pesan yang cukup kontroversial dan radikal menyangkut politik. 

Kemunculan punk sering dikaitkan dengan perlawanan subversif terhadap arus budaya maupun sosial politik. Sebut saja lirik dari lagu populer Sex Pistols yang berjudul Anarchy in the UK menyebutkan "I am an anti-Christ, I am an anarchist". 

Dari kutipan lirik tersebut, Sex Pistols ingin menunjukkan bahwa mereka merupakan pribadi bebas dan otentik yang tidak terikat dengan tuntutan masyarakat. Eksistensi punk akan menjadi lambang dari pembangkangan dan otentisitas suatu individu (NME, 2017).

Feminisme Gelombang Ketiga

Bersamaan dengan kemunculan punk sebagai ideologi, feminisme sedang berjalan memasuki fase gelombang ketiga. Sebelumnya, secara garis besar feminisme gelombang pertama dan kedua muncul untuk membela hak-hak perempuan dalam politik dan akademik untuk tercapai kesetaraan gender. Feminisme pada gelombang tersebut lebih berfokus pada hal hal politis, seperti menyuarakan hak dalam pemilihan umum dan melawan rasisme juga perbudakan (Weiner, 2004).

Kemudian muncul gerakan feminisme gelombang ketiga sebagai bentuk kesadaran atas tantangan-tantangan baru yang akan dihadapi gerakan feminis sebelumnya. 

Gerakan ini mulai berkembang pada tahun 90-an sampai sekitar tahun 2010-an yang mulai memasuki feminisme gelombang transisi menuju empat. 

Berbeda dengan gelombang kedua yang menekankan hak perempuan hanya di perspektif masyarakat barat, Feminisme gelombang ketiga memiliki ranah yang lebih global dan multikultural (Yu, 2009). Dengan begitu, banyak narasi feminisme pada gelombang ini yang dilatarbelakangi oleh pemikiran postmodern.

Postmodernisme merupakan suatu pemikiran yang membawa perubahan dari modernisme, dimana terdapat perubahan intelektual ekspresif dalam berbagai konteks, seperti filsafat, seni, politik, sains, dan sosial (Wijayati, 2019). Maka dari itu, postmodernisme dapat diartikan sebagai refleksi kritis dalam paradigma modern dan metafisika. 

Berangkat dari hal tersebut, Feminisme gelombang tiga membawa narasi gender yang berlandaskan "personal is political" (Weiner, 2004). Hal ini dikarenakan dalam pemikiran postmodern, kebenaran dan teori juga harus dipertanyakan objektivitasnya, sehingga hal-hal yang menurut Sebagian orang adalah hal personal dapat dibawa ke dalam isu politik. 

Isu yang dibawakan oleh feminisme gelombang ketiga adalah isu-isu yang berkaitan dengan hal-hal yang menurut banyak orang tidak lagi relevan karena membawa isu personal ke ranah politik. 

Padahal feminisme gelombang ketiga memiliki tujuan yang lebih mendasar dalam perspektif gender, yaitu untuk memberantas budaya patriarki dan berbagai peran gender. Selain itu, gerakan ini juga menyadari dan mendukung bahwa perempuan memiliki gender dan seksualitas yang berbeda-beda. 

Beberapa contoh isu yang dibawakan feminisme gelombang ketiga yaitu perlawanan terhadap objektifikasi perempuan sebagai pemuas kebutuhan seks, konstruksi sosial bagaimana bentuk badan yang menarik (body image), gender perempuan yang sering dikaitkan dengan pekerjaan rumah tangga, kekerasan seksual, dan juga peran perempuan sebagai "second sex" (Barner, 2015). 

Munculnya Partisipasi Perempuan dalam Skena Musik Punk

Seiring dengan berkembangnya skena musik punk dan juga semakin membludaknya peminat, punk menjadi suatu subkultur yang terus mengalami dinamika dan perkembangan. 

Begitu juga dengan perannya sebagai lambang pembangkangan terhadap status quo dan kapitalisme. Namun, stigma negatif terhadap punk seperti punk merupakan subkultur orang miskin pemalas Inggris dan juga punk kebanyakan diisi oleh laki-laki kulit putih yang tidak berpengaruh masih tetap berakar di beberapa kelompok masyarakat.

Di awal tahun 1990-an bersamaan dengan tumbuhnya feminisme gelombang ketiga, terbentuklah gerakan revolusioner yang mengangkat narasi-narasi feminis gelombang ketiga bernama Riot Grrrl. 

Gerakan ini merupakan manifesto politik yang diinisiasi oleh perempuan-perempuan dalam sektor industri kreatif untuk membuat pergerakan melawan maskulinitas dan patriarki. Gerakan ini terbentuk berkaitan dengan kasus penembakan orang Salvador oleh polisi di Washington D.C. yang memicu berbagai kerusuhan.

Riot Grrrl berisi sekelompok aktivis perempuan yang membawa kembali narasi feminis yang dianggap sudah tidak relevan. Selain itu Riot Grrrl juga mendukung perempuan untuk membuat wacana politik berbasis kesetaraan gender lewat berbagai karya dan inovasi kreatif. 

Beberapa karya yang dibuat antara lain adalah zine dan musik-musik dalam cakupan skena musik punk. Beberapa tokoh inisiator gerakan Riot Grrrl adalah zine creator Tobi Vail, Allison Wolve, Molly Neuman, dan member band Bikini Kill yaitu Kathleen Hana.

Gerakan masif Riot Grrrl memunculkan band-band punk yang vokal dalam membawa isu patriarki dan feminisme gelombang ketiga. Beberapa band punk tersebut yaitu Bikini Kill, Bratmobile, Super Heroine, Heavens to Betsy, L7 dan band-band lainnya. 

Bikini Kill dan musisi punk feminis lainnya juga membawa gerakan avant-garde punk dan kental kaitannya dengan postmodernisme. Hal ini dikarenakan postmodernisme merupakan dasar pemikiran dari feminisme gelombang ketiga, begitu juga dengan pendekatan multikultural. 

Tujuan munculnya band-band punk feminis seperti Bikini Kill adalah untuk menghancurkan maskulinitas dan seksisme dalam skena musik punk. Musik punk selama ini didominasi dengan laki-laki dan wacana-wacana maskulin toxic. 

Selain itu dalam skena musik punk, banyak terjadi seksisme yang menilai rendah musisi perempuan sehingga perempuan termarjinalisasi. Kemunculan Riot Grrrl dan "kemarahan" band-band punk feminis inilah yang berambisi untuk menghancurkan stigma seksis tersebut.

Band-band punk feminis menciptakan karya musik yang suportif dan dinilai sangat relevan di kalangan perempuan pada masa itu. Lirik yang dibuat sarat dengan muatan politis dan juga membawa isu-isu yang tabu di masyarakat, seperti isu rasisme, incest, pemerkosaan, dan objektifikasi perempuan.

Punk feminis ingin mengangkat isu yang berkaitan dengan marginalisasi perempuan dan mendukung semua perempuan untuk berani melawan konstruksi sosial yang patriarkal. 

Riot Grrrl bersama dengan anggota Bikini Kill, Kathleen Hana, membuat tulisan di dalam zine Riot Grrrl sebagai berikut:

"Riot Grrrl is: BECAUSE we know that life is much more than physical survival and are patently aware that the punk rock 'you can do anything' idea is crucial to the coming angry grrrl rock revolution which seeks to save the psychic and cultural lives of girls and women everywhere, according to their own terms, not ours."

Dari tulisan tersebut, dapat diartikan bahwa gerakan punk feminis adalah revolusi untuk mendukung peran perempuan dan perlawanan terhadap berbagai tindakan yang membuat perempuan merasa buruk terhadap dirinya. 

Punk feminis selalu memberikan dukungan kepada hak-hak perempuan yang selama ini dianggap berlebihan, tidak relevan, dan tidak penting. selain itu punk feminis membuka kesempatan bagi gerakan feminisme untuk terus berkembang dan menciptakan kesetaraan gender dalam ranah apapun termasuk di skena musik punk.

Dampak Skena Musik Punk terhadap Pergerakan Feminisme

Walaupun sudah ada beberapa musisi perempuan yang membawa narasi feminis sebelumnya, gerakan Riot Grrrl dan punk feminisnya adalah gerakan yang paling berpengaruh di masa itu. Bahkan mereka tidak mau mengikuti label rekaman apapun untuk tidak mengurangi otentisitas dari narasi yang mereka perjuangkan. 

Banyak perempuan yang merasa memiliki koneksi dengan lirik-lirik yang diciptakan lagu punk feminis dari kejadian yang dialaminya. Gerakan ini dinilai memberikan banyak kontribusi dalam pergerakan feminisme walaupun banyak anggapan negatif dari berbagai pihak.

Bersama di dalam satu gerakan Riot Grrrl, punk feminis menyadarkan banyak perempuan akan haknya dan memperjuangkan agenda feminis yang lebih besar, sehingga tercapailah gelombang feminis keempat. 

Salah satu band punk feminis afiliasi Riot Grrrl yaitu Bikini Kill memberikan keterlibatan kritisnya langsung dengan media arus utama dan representasi dominan dari tubuh gender, yang dianggap merendahkan dan mengobjektifikasi. 

Selain itu, gerakan Riot Grrrl juga membuka berbagai bentuk perlawanan lewat word performance, proyek seni, film pendek, dan berbagai konferensi perempuan.

Menggunakan prinsip "do it yourself" dari skena punk, punk feminis merekonstruksi ulang peran gender dan perspektif gender banyak kelompok masyarakat. Punk feminis juga aktif memberikan dukungan personal dan self-esteem bagi perempuan yang mendengarkan karya musik mereka. 

Kutipan "personal is political" juga telah membawa feminisme gelombang ketiga terus berkembang membawa narasi-narasi anti misoginis. Isu yang berkembang dalam ranah gender semakin lama semakin meluas dan mencakup seluruh perempuan secara global. 

Riot Grrrl mulai menghilang sejak tahun 1996, namun hal tersebut bukanlah karena gagalnya narasi yang dibawa, melainkan narasi tersebut telah mencapai keberhasilannya. 

Tanpa Riot Grrrl dan manifestonya dalam menghapuskan pandangan toksik mengenai maskulinitas dalam skena musik punk, feminisme mungkin akan sulit untuk berkembang lebih dari sektor politik dan rasial. 

Feminisme mungkin akan kesulitan menemukan celah peluang untuk selalu mendukung gerakan perempuan. lebih buruknya lagi, feminisme mungkin akan mati sejak narasi feminisme gelombang kedua telah mencapai titik puncaknya.

Oleh: Syarifa Amira Satrioputri | Geosains 2019 | Staf Departemen Kajian Strategis BEM UI 2020

Referensi 

Barner, Katherine. (2015). The Role of Women in Punk. Honors Theses. Union College - Schenectady, NY.

Dunn, Kevin C. (2014). Pussy Rioting, International Feminist Journal of Politics, 16:2, 317-334, DOI: 10.1080/14616742.2014.919103

Melody Maker, NME. (2017). History of Rock in The 1970s: The Complete Story of A Momentous Musical Decade. London: Carlton Books

Moore, Ryan. (2004) Postmodernism and Punk Subculture: Cultures of Authenticity and Deconstruction, The Communication Review, 7:3, 305-327, DOI: 10.1080/10714420490492238

Nguyen, Mimi Thi. (2012) Riot Grrrl, Race, and Revival, Women & Performance: a journal of feminist theory, 22:2-3, 173-196, DOI: 10.1080/0740770X.2012.721082

Schilt, Kristen. (2003) 'A Little Too Ironic': The Appropriation and Packaging of Riot Grrrl Politics by Mainstream Female Musicians, Popular Music & Society, 26:1, 5-16, DOI: 10.1080/0300776032000076351

Skjerseth, Ralka F. (2018). Pergerakan Riot Grrrl: Perempuan dalam Kancah Musik Punk dengan Pengaruh Feminisme Gelombang Ketiga. medium.com: https://medium.com/@goodshuffle/pergerakan-riot-grrrl-perempuan-dalam-kancah-musik-punk-dengan-pengaruh-feminisme-gelombang-ketiga-b272b7b6b050. Diakses 12 Desember 2020

Weiner, Gaby. (2004). Critical Action Research: and Third Wave Feminism: A Meeting of Paradigms. Educational Action Research, Volume 12, Number 4, 2004

Wijayati, Hasna dan Indriyana R. (2019). Postmodernisme, Sebuah Pemikiran Filsuf Abad 20. Yogyakarta: Sociality

Yu, Su-Lin. (2009) Third-Wave Feminism: A Transnational Perspective, Asian Journal of Women's Studies, 15:1, 7-25, DOI: 10.1080/12259276.2009.11666059

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun