Mohon tunggu...
KASTRAT BEM FISIP UPNVJ
KASTRAT BEM FISIP UPNVJ Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ditjen Kajian Aksi Strategis BEM FISIP Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta

Akun Kompasiana Direktorat Jenderal Kajian Aksi Strategis Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UPN Veteran Jakarta. Kabinet Astana Bimantara

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kebijakan dan Keadilan untuk Semua Mahasiswa

28 Februari 2023   22:35 Diperbarui: 28 Februari 2023   22:33 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerita Pendek BEM FISIP UPNVJ

Tema Pergerakan Mahasiswa

Penulis: Astra (nama pena)

Prodi: Ilmu Politik, Angkatan 2022

----OooOoOo-----

"Sudah berapa kali saya katakan, tidak ada informasi beasiswa lagi." Wajahnya menekuk  sambil menahan hujatan yang diterima oleh petugas yang melayaninya.

Kini, Ardian hanya menatap lesu dan bimbang. Badannya tak kuat menopang diri untuk bergerak. Dia berdiri di depan pintu itu berharap harapan kecil, walaupun tak mampu memenuhi secara keseluruhan, tetapi ia bisa terselamatkan di semester ini.

Tak ada harapan yang sudi mendekati dirinya usai kepasrahannya dalam meraih cita-citanya. Semester lalu, dia bercerita kepadaku tentang ibunya sampai banting tulang yang berharap besar sampai mati-matian meminjam uang kepada rentenir, tatkala aku juga bergidig ngeri atas perlakuan yang diberikan kepada ibuku, sampai dia jatuh sakit beberapa waktu yang lalu.

"Gimana, Ar? Berhasil?" tanyaku penuh selidik, seolah dia mengharapkan sesuatu yang mampu meringankan dirinya.

"Belum, mungkin gue putus kuliah kali." Ucapannya sarat dengan keputusasaan, rasa penyesalan dan sakit hati yang tak terdefinisikan.

Aku memperhatikan sorot wajahnya yang berubah murung, teduh dan tak bisa mengekspresikan emosi apapun saking terpukulnya, seolah mencari apa yang disebut keadilan dan keyakinan pada diri yang lemah. Raganya runtuh dari pertahanan, air matanya terpaksa tak keluar dari wajahnya yang masih halus itu.

"Lu itu pinter, Ar. Kemarin, satu kelas mata kuliah nya hampir B semua. Sedangkan lu sendiri yang dapet A. Gue mau lu lulus kuliah dengan jadi politikus, biar bisa ngerubah keadaan buat orang tualu dan orang-orang yang ngeremehin lu." Aku merengkuhnya pelan, memberikan sandaran bahu di kala emosinya sudah tak mampu memberikan reaksi positif kepada dia. Akulah yang mengupayakan agar tak rapuh.

Ardian adalah anggota BEM yang membidangi posisi strategis yaitu Sosial-Politik . Dia kerap bersuara dengan lantang terkait kebijakan kontroversial kampus, salah satunya kebijakan perempuan yang dibatasi hak untuk bersuara. Kini dia sudah dibungkam dan tak bisa bersuara lantang, karena beberapa pejabat kampus kerap kali mengelabui untuk bersikap ekspresif. Dari itulah, aku merasa prihatin atas tindakannya selama ini yang dihancurkan di dalam oleh orang-orang yang tak beradab seperti petinggi yang menjijikan itu.

"Mungkin, gue juga keluar dari BEM, ka-." Aku langsung menahannya untuk tidak berbicara lebih jauh.

"Gaboleh ada kata keluar. Diri lu itu udah merepresentasikan keadaan di luar sana yang skeptis terhadap dunia tipu-tipu semacam ini." Aku bingung mengatakan kepadanya, bahwa aku memang seseorang yang tak dapat melakukan apapun untuk dia.

Aku teringat dengan semua ucapan yang diperkatakan oleh Ardian. Dia membantuku untuk bangkit dari keterpurukan, usai masalah mental yang menerpaku di tengah semester awal menjadi mahasiswa, dorongan-dorongan yang diciptakan untuk menenangkan diriku itu seolah menjadi batu loncatan di posisi sekarang ini. Aku kini dapat melihat matanya sayu dan wajahnya berlinang air mata yang keluar dari segala arah membasahi pipi.

Keyakinanku mulai bergejolak untuk memikirkan balas budi atas hal-hal baik yang dilakukan dia. "Coy, coba dong bersuara lagi. Gue kangen sama semangat lu yang dulu, mana nih Ardian yang selalu lantang jadi tukang kritik kebijakan kampus? Mana juga semangat Ardian yang pas ospek dan jadi penanggung jawab demonstrasi angkatan itu? Tunjukkin dong." 

Dia masih terdiam dan mulai menghapus air matanya, usai diperlihatkan wajahnya menghadapku, rasa malu itu menggelayuti dia untuk tak segera mengusaikan perlawanan atas nama keadilan.

Ditatap mukaku dalam-dalam. "Lu bercanda kah?" tukasnya dengan lirih.

Dia menahan tangisnya dengan menatapku bersama dengan matanya yang mulai memerah. Aku tak kuasa untuk melihatnya rapuh walau sebentar. Napas berat dan sesaknya mulai muncul bersamaan dengan penolakan yang ia terima. Ternyata, apa yang ia sebut diplomasi, kini hanyalah sia-sia dan tak ampuh untuk  memberikan jawaban atas pertanyaan semacam ini.

"Gue gak bercanda. Selesain dulu tangisan lu. Jangan lupa, kita hidup di mana gender bukan pembatas untuk menentukan seorang layak menangis atau tidak."

Dia mendengus dan menghela napas secara bersamaan, air matanya benar-benar meluap seperti air di kutub utara yang mencair. Aku memerhatikan dia menangis dengan penuh tatapan kosong---tahu bahwa memang sebenarnya ini pertama kali dia selemah ini dan ketakutan yang tampak dari wajahnya yang terus menjerit-jerit akan keadilan. Mungkin, kalau aku terlahir dari seorang yang kaya, aku mau sekali membantunya sampai lulus kuliah,

"Nangis yang dalam, luapkan perasaanmu. Usai menangis, mari bangkit lagi. Buang rasa takut untuk menghalau rasa sakitmu yang mungkin tak seberapa. Perjuangan dan perlawanan ini adalah sebuah kesatuan hati yang dibuat untuk menegakkan integritas kita sebagai manusia yang idealis, walau kenyataanya dunia mengharapkan realis. Tapi, tak apa berharaplah, sampai kamu menemukan titik ternyamanmu untuk hidup."

Aku menemaninya untuk pulang ke kost-an ku. Tak ada yang mampu kulakukan untuk bisa menenangkan Ardian pasca terpukul, setiap kali ia berdiplomasi dengan petugas akademik fakultas, hingga menemui kegagalan.  Mungkin, hanya ini yang dapat membantu dia untuk menenangkannya sampai kondisinya tenang.

----OoOoOoO-----

Sadar bahwa agitasi dan propaganda tak melulu lewat berdemonstrasi, kuputuskan untuk melakukan agitasi melalui media sosial Twitter. Selama ini, tak banyak hal yang kulakukan untuk angkat bicara, perihal masalah sosial-ekonomi-politik di platform biru itu. Akan tetapi, untuk pertama dalam hidupku, aku mulai peduli tentang bagaimana media sosial bisa menjadi tempat berkeluh kesah dan mengumpulkan pendapat demi mendukung empati.

"Kepada seluruh Mahasiswa, aku anak yang besar di keluarga yang sederhana. Hanya ingin berbagi kisah kepada kalian yang suka berfoya-foya hanya demi diri sendiri. Banyak orang di luar sana yang sangat cerdas, bahkan berprestasi dan kritis, tetapi terbuang dari masyarakat, karena opini mereka adalah sampah bagi para rezim."

Aku mulai menuliskan kisah tentangnya, si mata hitam kecoklatan dengan rambut hitam polos. Tubuhnya sedikit kurus sejak pertama kami bertemu, dia yang selalu ceria dan memiliki kemampuan public speaking, hal inilah yang menarik untuk kutulis sebagai bagian dari dirinya kepada orang-orang.

Setelah panjang lebar, aku merasa sudah cukup untuk mengakhirinya dengan kalimat yang cukup membuatku merenung di kamar kost-an yang remang-remang, apakah aku seorang manusia yang idealis atau terburu oleh hawa nafsu yang menggebu akan perlawan yang tak bermartabat.

"Inilah tulisanku, mungkin mengakhiri tulisan utas ini hanyalah sebuah mimpi idealis yang diinginkan semua orang. Malangnya, dunia memahami, bahwa hal semacam ini adalah putaran roda yang terus bergulir, bahwasannya apa yang dipikirkan pada akhirnya harus takluk pada rasional kita yang terus berputar. Semoga dengan membaca tulisan ini, pada akhirnya membuka cara berpikir yang baru dalam memandang orang-orang yang kurang berada,  seperti dia."

Aku mengakhiri tulisan itu di kamarku yang sudah sepi di malam penuh dengan bintang-bintang ituhanya satu hal yang aku minta darinya setelah membaca seluruh utas itu. Jangan tangguhhkan Ardian dari kuliah, agar kelak menjadi sahabat yang selalu menemani, aku mau takdir dan waktu berbicara pada kami tentang bagaimana aku berusaha untuk menolongnya lepas dari keterpurukannya sebagai manusia.

Kepalaku mendongak keatas sambil mengamati bintang-bintang yang muncul di malam bulan separuh, hal yang membuatku sedikit tenang dari masalah yang menerpaku selama beberapa hari ini dan juga Ardian, kutatap puas-puas semua seluruh sapuan bintang dan komet yang berjatuhan hingga mataku mulai letih, sehingga mulai beranjak dari kasur dan tidur.

----OooOoOo-----

"Dirga!! Lu nulis apa di Twitter???"

"Hah apa nih rame-rame??"

Percakapan itu membuat suasana berubah gaduh. Aku yang baru datang ke tempat temanku untuk bercengkrama dan nongkrong, berubah menjadi tatapan serius ke arahku. Mereka langsung saling memandangi bergantian, rupanya ada suatu hal yang tak beres di tempat ini.

"Nih lu liat, twitter lu rame. Mereka menyatakan turut berempati sama Ardian. Ada apa sih sama si miskin itu?" tanyanya dengan remeh dan menyindir.

Aku bukannya tak bisa menerima apapun dari mereka, sejujurnya aku gerah kalau harus datang menghampiri mereka dengan membawa celotehan Ardian yang dicap "miskin". Padahal, sejatinya manusia punya hal yang bisa dibanggakannya. Walau, sebenarnya di zaman ini penampilanlah yang menentukan segalanya.

"Siapa yang lu bilang miskin itu?" Aku mulai mengepalkan tanganku erat-erat, mencoba untuk menahan emosi yang mengalir, karena hinaan itu.

"Yah, si Ardian itu."

"Apaan?" Aku bertanya ulang, memastikan dia hanya salah bicara.

Tanpa rasa bersalah dan malu, dia mengucapkan nama Ardian yang membuatku menggeleng keras. Emosiku tak tertahankan lagi, dadaku bergemuruh kencang dan puncak kemarahanku semakin meningkat. Kulepaskan pukulan kepada temanku yang mengatai Ardian dengan lancar.

Satu pukulan berhasil terlayangkan dengan sempurna di pipi Usama, temanku yang songong itu. Aku tahu dia adalah seorang pemabuk dan berandalan yang bahkan tidak lebih baik dari Ardian yang bersuara lantang. Lagipun, aku hanya bingung bagaimana orang bisa membenarkan tindakan Usama dibandingkan Ardian yang kerapkali dicibir tukang demo, padahal kebijakan itu memiliki dampak berkelanjutan bagi hidup orang banyak. 

Manusia manapun yang waras dan sadarpun juga harusnya bersikap apatis kepada Ardian bukan kepada Usama yang lebih mementingkan gaya hidup mewah dan jauh dari kata cerdas dan berpenampilan menarik, setelah itu aku urungkan pukulan itu dan membalikkan wajah kebelakang meninggalkan mereka.

"Liat pembalasan gue, atas apa yang lu lakuin ke muka gue." Wajah Usama hanya meringis kesakitan dengan pukulan yang tak terlalu kuat, hanya setengah tenaga.

Aku melenggang pergi dan meninggalkan Usama dan abai kepada orang yang ada di sekitarku, sampai kembali ke kosan-ku.

----OooOoOOo----

Aku penuh dengan wajah terkejut, melihat seseorang mendekati pintu kosan. Berharap, bukan seseorang yang jahat atau Usama yang datang. Kulangkahkan kakiku pelan-pelan, sambil berusaha dengan penuh keyakinan mendekati mereka dan rupanya itu adalah Ardian dan ibunya.

"Ngapain ke sini?" Aku semakin mendekat dan tatapan Ardian benar-benar menakutkan, dia seperti marah akan sesuatu.

"Oh iya, ibu gue mau ngomong."

Aku kemudian membuka pintu kost dan mempersilahkan mereka masuk. Tak lupa, aku menyediakan air minum untuk mereka, tetapi mereka tak mengambilnya, karena biasanya budaya orang Indonesia adalah menolak pemberian dari tuan rumah. Tak ada hak juga untuk memaksa mereka meminumnya, tetapi pada akhirnya pada satu titik jelas mereka akan meminumnya.

"Maafin nak Ardian dari saya ya." Sang Ibu langsung bersujud kepadaku, dia kehilangan kata-kata.

Aku terkejut dan terus berusaha menghalangi perbuatan sang ibu, alih-alih dia berhenti. Malah sujudannya semakin erat di tanah. Kemudian, dengan bantuan Ardian,  dia mengangkat badan ibu untuk kemudian tetap diajak berbicara secara empat mata, tanpa harus demikian.

"Dirga, maafin gue gara-gara kebanyakan oversharing seperti ini. I looked pathetic yesterday." Penjelasan itu yang kemudian membuatku paham arah pembicaraan ini.

"Sejak kapan lu nyusahin gue?" Balasanku malah tenang menghadapi dia yang ketar-ketir menerima jawaban dariku. "Udah lu gak usah pikiran apapun. Barusan gue buka Twitter dan banyak reaksi positif buat elu dan bahkan ada yang mau mendukung penuh biaya lu sampai selesai kuliah."

Matanya terbelalak sempurna, dia tak percaya dengan apa yang kuucapkan barusan.

"Hah, beneran? Boong kali lu," celotehnya remeh, seolah aku hanya membual sempurna untuk menyenangkan dirinya.

"Masa gue bohong sih sama elu! Nih, banyak orang yang nge-DM gue. Padahal, gue cuma pengen agitasi ke orang-orang kalau sejatinya banyak manusia yang lebih membutuhkan dan empati mungkin yang menggerakan mereka. Banyak yang seperti itu, tapi sayangnya pejabat kita malah tutup mata tak peduli dengan kesakitan yang dialami oleh mahasiswa. Itulah yang membedakan rakyat biasa dengan pemerintah yang cenderung jadi koruptor di segala aspek."

Dia terdiam, kemudian matanya berkaca-kaca. Wajahnya benar-benar kusut, matanya sayu dan menunduk dan tanpa sadar beberapa bulir air mata jatuh dari peraduannya dan membasahi lantai yang sudah penuh dengan isakan kecil yang tak terdengar. Segera aku mengambilkan tisu kotak yang berada di dekat ranjang tempat tidur dan mulai mengambilkannya untuk dia.

"It's ok! Gak masalah buat nanigs, keluarkan aja. Gue gak mau dunia ini semakin sepi, karena orang-orang pergi karena hal kecil." Dukunganku kepadanya diberikan dengan menepuk bahunya pelan dan merengkuhnya sebagai bentuk dukungan atas Ardian yang baru saja pulih dalam keterpurukannya.

"G-gue-mi-minta maaf banget ya, s-sela-ma i-n-i g-gue-b-banyak ngerepotin elu," ucapnya lirih dan terbata-bata.

"Gak ada kesalahan yang melekat di diri lu. So, lu harus bersyukur, karena masih banyak orang yang peduli sama hidup lu. Dunia gak sekejam itu untuk orang-orang yang mau berusaha. Tuhan adalah sumber kunci dari segala perlawanan atas pergumulan hidup lu sendiri. Tetap semangat ya," Motivasi kuberikan, agar dia berhenti menangis dan lebih mensyukuri kehidupannya sendiri. Sehingga, dalam waktu sekejap dia berhasil menghanyutkan dalam perasaannya yang dalam, sampai tak tahan untuk tak menangis. 

Kendati demikian, aku tak mau terlarut pada hal yang sama. Kami hanya bersyukur, bahwa Tuhan begitu baik kepada kami sampai banyak orang yang mau tergerak menolong kami dengan bermodalkan akun sosial media. Bahwasannya, aksi tidak harus dengan demonstrasi. Banyak cara mencapai sebuah aspirasi dan media sosial adalah jawaban dari semua hal yang sama-sama perlu diketahui atas jawaban-jawaban yang terdistraksi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun