Mohon tunggu...
MK
MK Mohon Tunggu... Freelancer - Cahaya Bintang

Saat diri dapat katakan CUKUP di saat itu dengan mudah diri ini untuk BERBAGI kepada sesama:)

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Pintu Depan 39

2 Mei 2022   18:48 Diperbarui: 2 Mei 2022   19:03 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Hari ini tepat 10 tahun aku bekerja dan mendapat promosi menjadi kepala editor di kantor pusat yang berada di New York, Amerika Serikat. 

Sebelum resmi pindah kerja 6 bulan lagi ke New York, bulan depan aku harus mengikuti pelatihan selama 2 minggu di New York. 

Saat aku sedang bersiap mengurus bahan presentasi untuk ke New York, Dean-kepala biro Jakarta memintaku secara mendadak untuk mengantinya menghadiri rapat kinerja seluruh kantor cabang di Asia yang tahun ini digelar di Tokyo, Jepang.

"Bintang, minta tolong besok bawa paspormu dan kasih ke Meti untuk mengurus visa. Hari Minggu sore, kamu harus terbang ke Tokyo,"kata Dean dengan membawa berkas yang sudah dibuatnya.

Meti, sekretaris kantor punya waktu 3 hari kerja untuk mengurus visaku.

Rapat itu hanya berlangsung 2 hari dan sangat padat. Aku karena tidak punya waktu untuk bertemu Shotaro dan paman maka, tidak memberitahu mereka kedatanganku ini.

Rapat berlangsung sangat lancar. Rabu pagi jam 10:00, aku kembali ke Jakarta dengan mengunakan pesawat Garuda Indonesia. 

Meti memesan kursi untukku di baris paling depan dan hanya berisi 2 orang. Menjelang pesawat mau terbang, kursi di sebelahku yang dekat jendela masih kosong. Tas kerja yang ada di pangkuan, kutaruh ke atas kursi kosong itu karena mengira tidak ada penumpang. Setelah itu tidur. Mata kututup dan mendadak dari kursi baris sebelah kiri terdengar keributan.

Pramugari bergegas mendekati pria Jepang yang mengoceh tidak jelas sambil mengipas kartu boarding pass.

Tak lama pramugari segera meminta seorang bapak paruh baya untuk berdiri dari bangku tengah dan pindah ke kursi di sampingku. 

Keributan itu membuat kantukku hilang. Setelah pesawat lepas landas, aku memutuskan untuk mengisi kartu bea cukai. Kuperhatikan pria di sebelahku sekali-kali menengok ke arah kertas yang kuisi sambil bolak-balik paspor warna hijau berlogo Burung Garuda.

"Paspor bapak hilang?" tanyaku melirik ke arah paspor yang seperti terbuat dari selembar karton tebal. 

Pertanyaan itu membuatku terus terjaga hingga pesawat mendarat di bandara Soekarno Hatta.

Paspor tidak hilang atau rusak tetapi, sudah kadaluarsa. Bapak itu 12 tahun lalu, waktu kerusuhan Mei 1998 adalah korban kerusuhan. Rumah di daerah Grogol habis dijarah hingga tidak ada yang tersisa bahkan sendok untuk makan pun tidak ada satu pun.

Bapak sekeluarga pindahan dari Medan ke Jakarta setahun yang lalu untuk mengubah nasib dengan bekerja di pabrik plastik daerah sana. Anaknya ada 4 orang. 2 laki dan 2 perempuan. Anak yang 2 besar sudah usia SMA tetapi, yang 2 kecil masih balita. 

Setelah kerusuhan, pabrik bangkrut dan seorang kawan menyarankan dia untuk pergi ke Jepang sebagai tenaga kerja ilegal di pabrik plastik. Modal untuk pergi ke Jepang didapat dari hasil pinjam sana-sini. 

Istrinya meminta dia pulang setelah setahun bekerja di Jepang tetapi, tidak dituruti. Kedua anak yang masih balita saat sekolah selalu diejek anak buangan, bapakmu pasti kawin lagi, bapakmu pasti tidak pulang...

Ejekan itu membuat kedua anak menjadi benci padanya. Hasil jerih payahnya membawa kedua anak yang besar kuliah di universitas swasta terkenal dan setelah lulus mendapat kerja menjadi dosen di luar negeri serta beasiswa keluar negeri untuk lanjut S2. 

Meski dibujuk oleh istri dan 2 anak yang besar itu tetap dia tidak mau pulang karena 2 anak yang kecil belum kuliah. Tawaran 2 anak yang besar untuk membantu biayai kuliah kedua adik ditolak. Menurut dia adalah tanggung jawab dirinya sebagai pria dan bapak untuk menghidupi keluarga.

Minggu depan anak yang paling kecil diwisuda di universitas swasta terkenal dan dia memutuskan meninggalkan Jepang untuk selamanya dan berkumpul lagi dengan keluarga.

Mendengar ceritanya mendadak aku teringat cerita bude saat memutuskan menyuruh Wiwi ikut tes beasiswa sekolah di Singapura.

"Bude memang tidak menginginkan kelahiran Wiwi. Tetapi, keinginan bude itu berubah 180 derajat berkat pertolongan keluargamu," kata bude saat baru tinggal bersama aku dan Bulan.

Wiwi dan aku luar biasa dekat tidak terpisahkan. Aku setelah bisa duduk, tidur seranjang bersama Wiwi dan bude. Wiwi jatuh sakit setelah ditinggal aku pergi. Seminggu demam dan terus mengigau memanggil namaku. 

Suatu hari saat bude dan eyang sedang melayani pembeli di warung, dari arah dapur terdengar bunyi dentingan piring. Eyang menyuruh bude untuk cek.

Ternyata Wiwi kecil sedang jongkok mencuci piring. Waktu itu tempat cuci piring sama dengan cuci baju. Tetapi, baskom berbeda. 

Piring bekas makan siang dan peralatan memasak yang berserakan di lantai, diberesinya. Baskom diisi air bersih.

"Wi, sedang apa?" tanya bude.

"Bantu bunda cuci piring," jawabnya dengan wajah tersenyum lebar dan sorot tatapan mata yang berbinar penuh ketulusan.

Bude yang melihat sorot mata itu dan tangan kecil yang dengan wajah serius penuh kewaspadaan mengangkat piring, menyabuni lalu bilas ke baskom isi air bersih kemudian ditumpuk dalam baskom kosong, langsung menjadi sangat jatuh cinta pada Wiwi.

Bude tahu betul Wiwi yang baru sembuh pasti sangat merindukan aku dan merasa sangat kesepian. Untuk mengusir semua rasa itu, dia jadi menyibukkan diri. Padahal, usianya baru 2 tahun.

"Mulai detik itu bude berjanji harus memberikan yang terbaik untuknya!" 

Eyang sejak dulu langganan koran dan tidak tertarik membeli TV. Menurut eyang, koran lebih banyak manfaat karena setelah habis dibaca bisa digunting simpan berita yang penting dan dipakai membungkus barang jualan. 

Bude yang juga rutin membaca koran, suatu hari membaca iklan beasiswa masuk SMP dari pemerintah Singapura. Wiwi memenuhi kriteria usia dan standard nilai.

"Bude, aku mau menyuruh Wiwi untuk mencoba," kata bude ke eyang.

Eyang setuju dengan idenya dan menyuruh cari waktu untuk mengambil formulir pendaftaran ke kedutaan besar Singapura di Jakarta.

Tanpa buang waktu, keesokan hari bude naik kereta paling akhir dari Semarang supaya bisa sampai di Jakarta pagi hari. 

Bude sampai Jakarta terkagum-kagum melihat jalan beraspal dan gedung tinggi. 

"Wiwi harus bisa menjalankan hidup di kota metropolitan seperti ini," kata bude dalam hati lalu, memanggil bajaj dan memperlihatkan alamat kedutaan di koran. 

Kedatangan bude mengejutkan petugas kedutaan. Terlihat jelas dia berasal dari kampung dari cara berpakaian dan bicara.

"Nama anakmu siapa dan sekolah di mana?" tanya kepala bagian pendidikan.

"Wibawa Wijaksono, SD Negeri 01 Semarang," jawab bude lalu memperlihatkan akte lahir dan nilai rapor.

Petugas mewanti-wanti bahwa saat lulus seleksi wajib datang untuk tes dan wawancara ke kedutaan.

"Anak ibu sanggup datang dari Semarang ke sini?" tanya petugas lagi.

Bude menjawab, "Sanggup!" dengan penuh percaya diri.

Sampai di Semarang, bude segera mengisi formulir dan melengkapi syarat yang diminta. Lalu, dengan menyebut 'bismillah', amplop surat dimasukkan ke dalam kotak pos.

Wiwi yang lolos seleksi wajib mengikuti tes dan wawancara di Jakarta. 

Eyang membuat lumpia, telur rebus, wortel dan brokoli kukus, nasi goreng baso dan tumis teri tempe untuk bekal mereka di perjalanan. 

Wiwi terus tertidur pulas dalam pangkuan bunda yang tidak henti berjaga, mengipasi dan membelai lembut keningnya selama dalam perjalanan dengan kereta. 

Sampai di kedutaan, bude dengan terkantuk-kantuk menunggu di luar selama 2 jam bersama orang tua yang lain.

Seminggu setelah itu datang surat pemberitahuan Wiwi diterima. Bude luar biasa senang tapi, hanya sebentar karena tersadarkan harus terpisah jauh dari Wiwi.

Masalah ini diceritakan ke kakak perempuan paling tua. Kakaknya itu memberi ide untuk bude mencoba jadi Tenaga Kerja Wanita ke Singapura. 

Bude sebenarnya ragu karena takut akan mendapat majikan yang jahat. Tetapi, eyang menguatkan dia untuk mencoba dahulu dan selebihnya serahkan ke Tuhan. Eyang yakin Tuhan pasti berikan yang terbaik.

Sebulan setelah Wiwi ke Singapura, bude menyusul untuk bekerja di rumah konglomerat pemilik perusahaan finansial terbesar di Singapura.

Aku menarik nafas dalam-dalam. 

"Nanti siapa yang menjemput?" tanyaku.

"Istri dan anak perempuan paling besar. Tapi, entah seperti apa wajah mereka sekarang," jawabnya.

Bapak itu menolak dikirimi foto keluarga karena menurutnya hanya membuat hati sedih. 12 tahun menahan kerinduan dengan terus bekerja hingga kulit tangan mengelupas terkena percikan lelehan plastik yang panas.

Betapa besar pengorbanan bapak dan bude untuk memberi kehidupan yang terbaik bagi keluarga. 

- bersambung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun