Mohon tunggu...
MK
MK Mohon Tunggu... Freelancer - Cahaya Bintang

Saat diri dapat katakan CUKUP di saat itu dengan mudah diri ini untuk BERBAGI kepada sesama:)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tatapan Mata Mama

24 November 2020   20:01 Diperbarui: 24 November 2020   20:12 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

JANGAN

Jangan nangis, jangan marah, jangan berantem, jangan berisik, jangaaaaaaan! Seruan itu adalah seruan dari mama yang jadi makanan sehari-hari saya sewaktu belum masuk sekolah sebagai si bungsu di keluarga.

Mama memilki tiga putri yang cantik dan sehat dengan rentang usia antar anak 6 dan 4 tahun. Saya lahir dan besar di tengah kota Jakarta. Tetapi orang tua saya adalah perantau dari Sumatera dan Bali. 

Memiliki orang tua yang perantauan berarti tidak memiliki kerabat di Jakarta. Hanya ada kami berlima serta tetangga di hidup kami selama di Jakarta. 

Saya ingat sekali waktu kecil saya dihabiskan di rumah kontrakan kecil yang ada di pusat kota Jakarta.

Mama murni seorang ibu rumah tangga yang harus berjuang keras seorang diri  merawat, mendidik, dan membesarkan kami bertiga dengan mengandalkan uang dari gaji papa yang sangat minim. 

Papa saat saya lahir sedang meneruskan kuliah. Rutinitas papa tiap Senin - Jumat kerja hingga malam lalu Sabtu & Minggu kuliah seharian. 

SEJAK BAYI SEKOLAH

Mama setiap antar dan jemput kakak sekolah terpaksa harus membawa saya yang masih bayi ikut pergi sekolah. Kelak saya pun sekolah di sana juga.

Sekolah itu berjarak 3 kilo dari rumah dan kami berempat pulang pergi naik bajaj. Tak jauh dari sekolah dengan jalan kaki 5 menit ada pasar yang besar dan ramai. Mama setelah antar anak sekolah pasti pergi belanja ke pasar lalu pulang untuk masak dan beberes rumah sampai setengah jam sebelum jam pulang sekolah tiba siap-siap berangkat pergi jemput kakak. Setelah jemput dan pulang lagi, mama makan bersama kami lalu kembali kerja cuci gosok pakaian kami dan sore hari, mama membuat kue untuk cemilan kami dan menyiapkan bekal untuk papa serta anak-anak bawa besok hari.

Mama mengerjakan itu semua tanpa mengeluh. Saya tidak pernah melihat dia menangis meratapi nasib sebagai ibu rumah tangga yang harus kerja sendiri memastikan anak dan suami sehat bahagia.

Seiring waktu saya pun jadi besar dan saya ingat sambil nunggu kakak pulang selalu main  ayunan dan pasir di taman sekolah seorang diri. Sedangkan mama berkumpul dan ngobrol dengan sesama mama di samping pos satpam.

KENANGAN BELANJA KE PASAR

Ada kenangan tak terlupakan saat jalan kaki menemani mama belanja ke pasar. Di jalan sekitar pasar ada pengemis anak yang sebaya saya duduk seorang diri di pinggir jalan. Sebuah kaleng ditaruh di depan kaki. 

Saya waktu itu belum sekolah tetapi saya ingat mama setiap melewati anak itu pasti memberikan uang receh.

Suatu hari karena penasaran saya pun bertanya, 'Mama kenapa kasih uang ke dia bukan saya? Saya mau buat jajan?' Mama dengan tegas menjawab, 'Kamu bisa makan masakan mama yang bersih dan sehat bukan jajanan yang kotor. Tapi anak itu untuk makan saja susah apalagi minta mamanya masaki.' 

Sejak itu setiap mama beri uang ke pengemis anak itu saya hanya diam melihat.

Saya ingat waktu selesai belanja, tangan mama penuh tentengan plastik hingga tak ada ruang buat saya genggam. Tetapi saat kami mau menyebrang mendadak mama berhenti lalu menatap tajam saya yang kecil pendek dan berkata, 'Pegang kelingking mama!' Rupanya mama sambil jalan berusaha keras mengatur plastik tentengan supaya ada sisa jari untuk saya genggam.

Saya pun meraih kelingking mama dan kita menyebrangi jalan. Di seberang jalan ada pengemis anak itu. 'Ambil dompet mama. Di sana masih ada uang untuk dia,' pinta mama dengan menatap saya lembut.

Itu pengalaman pertama saya beri uang ke pengemis yang hampir sebaya saya.

MASA TK 

Seluruh guru di sekolah itu mengenal saya karena sejak bayi sudah 'berkeliaran' di sekolah. Kata mama saat TK saya satu-satunya murid yang tidak menangis di waktu hari pertama sekolah dan bisa langsung menyesuaikan diri dengan lingkungan. 

Masalah baru pun timbul. Jam sekolah TK dan SD beda. Saya yang TK harus bangun pagi buta lalu ke sekolah bersama kakak dan menunggu 2 atau 3 jam sampai jam masuk TK tiba. Setelah selesai pun saya harus kembali menunggu sampai jam pulang SD tiba.

Saya ingat mama awalnya sangat khawatir jadi ikut temani saya yang harus menunggu berjam-jam di sekolah. 

Pekerjaan baru mama ini membuat mama tidak bisa pulang untuk masak dan beberes rumah. Singkat cerita mama terpaksa membiarkan kami makan siang dengan jajanan. 

Tapi, setelah beberapa lama dan melihat saya tidak masalah dibiarkan sendirian maka mama pun berani menitipkan saya ke semua guru, satpam, hingga orang tua yang ada di sana untuk bantu jaga saya.

Mama memberi saya uang untuk jajan dengan tak lupa berpesan makanan mana yang boleh dan tidak boleh dibeli.

Saya ingat mama berpesan jangan beli permen awas sakit gigi. Jangan makan pakai tangan sebelum cuci tangan awas nanti sakit perut. Awas jangan membantah ucapan guru dan tante-tante. Awaaaaaas...

Mama juga berpesan untuk tidak habisi uang jajan. Harus ada sisa untuk dimasuki ke celengan ayam. Rumah kami banyak celengan kosong karena mama suka tukar koran bekas dengan celengan ke tukang barang bekas keliling.  Saya pun ditantang untuk isi celengan ayam paling besar.

MASA SD 

Saya hanya bisa menikmati masa TK selama satu tahun karena kurang murid sehingga begitu lulus TK langsung lanjut SD.

Saat masuk SD di seberang sekolah ada toko puding yang baru buka. Mama pernah beli untuk saya makan. Saya suka tapi sayang harga puding itu sangat mahal. Demi makan puding saya pun menahan diri tidak pakai uang jajan dan tabung selama dua hari. 

Saat kelas 1 SD, jam sekolah saya selesai lebih dahulu dari kakak. Saya yang terbiasa harus menunggu lama hingga mereka pulang suatu hari merencanakan untuk pergi beli puding hanya saja saya takut menyeberangi jalan. Selama ini saya selalu ditemani mama tidak pernah menyeberang jalan sendirian.

Tetapi, ada satu hal yang saya ingat setiap kali menyeberang jalan. Mama selalu mengatakan, 'Kamu harus ingat tiap mau menyeberang lihat kiri dan kanan. Jangan langsung jalan!'

Saya pun memberanikan diri praktek sendiri. Saya keluar gerbang sekolah lalu di pinggir trotoar celingak-celinguk ke kiri dan kanan. Saat melihat jalan sepi saya langsung lari menyeberang. Setelah beli puding pun saya kembali celingak-celinguk ke kiri dan kanan.

Saat mama datang menjemput saya memamerkan gelas puding kosong. Mama kaget kenapa saya bisa beli. Ketika saya bilang tadi pergi beli sendiri langsung mama nasehati, 'Lain kali minta tolong satpam bantu nyebrangi. Jangan pergi nyebrang sendiri begitu. Bahaya!'

Mama sejak kejadian itu jadi datang menjemput tepat setelah jam sekolah saya usai. Setelah saya keluar kelas langsung dibawa mama belanja ke pasar. Begitu sampai pasar saya dititipi mama ke tukang kue langganan. Selama dititipi itu saya membantu dia jualan. 

Saya punya kenangan saat pertama kali dititipi. Sewaktu mama datang menjemput ke toko, teman mama bilang saya sangat membantu jadi sebagai ucapan terima kasih saya disuruh ambil kue yang saya mau. Mama saat itu langsung menjawab, 'Gak usah tadi dia uda makan.' Saya pun pulang dengan tangan kosong. 

Di jalan menuju sekolah mama bilang untuk jangan menerima kue dari pemilik toko karena dia cari uang dari kue. Kalaupun ditawari ambil yang paling murah dan tidak laku. 

Sesampai di sekolah saya ikut mama duduk di samping pos satpam bergabung dengan para mama yang lain bersihi sayur dengan diam.

Saya juga punya kenangan saat masih SD mungkin kelas dua waktu mau ke rumah teman mama. Kami berdua naik bis kota dan di dalam bis ada pengamen bersuara sumbang. Selesai menyanyi dia menyodorkan topi ke penumpang. Mama yang murah hati mengisi topi dengan uang receh. 

Setelah pengemis turun saya protes. 'Mama suara dia jelek kenapa dikasih uang?' Jawab mama,'Orang yang sudah bekerja meski jelek harus dihargai.' Saya pun diam tidak membantah.

Saat SD perkataan mama yang selalu ingat tentang pertemanan adalah, 'Jangan takut kehilangan teman daripada kamu kehilangan diri sendiri. Jauhi teman yang jahat dan lindungi diri sendiri.'

SAAT DEWASA

Mama pernah cerita waktu saya lahir, dokter bilang saya terkena penyakit kuning. Saya yang baru lahir tanpa disusui langsung dibawa pergi masuk inkubrator. 

Mama sehari sudah diperbolehkan pulang oleh rumah sakit tapi saya harus menginap empat hari. Akhirnya mama yang khawatir memutuskan untuk dalam sehari 4-5 kali bolak-balik membesuk dan beri saya susu. Mama bilang tidak tega membiarkan saya sendirian dan menegakan diri tinggali sebentar dua anak yang masih kecil di rumah.

Saya sejak lulus kuliah mendapat pekerjaan di pusat Jakarta. Meski gaji cukup untuk kos tapi saya memilih pulang pergi rumah yang memakan waktu tempuh 2 jam lebih untuk satu kali perjalanan. Bisa melihat sorot tatapan mata yang berbinar bahagia dan mendengar suara riang mama adalah surga dunia. 

Walau mama hanya ibu rumah tangga tapi saya bangga dan kagum dengan beliau yang merupakan wanita yang penuh cinta yang pandai memasak, menjahit, menabung, dan memberi dengan tulus. 

Warisan yang sangat berharga dari mama untuk diteruskan ke anak dan cucu saya. Seberat dan selelah apapun masalah dalam hidup hadapi dengan tidak mengeluh dan menangis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun