Ketika Anda melihat seorang teman atau kolega yang selalu tampil rapi, disiplin, dengan jadwal yang teratur, dan sering menjadi andalan banyak orang, apa yang terlintas di benak Anda? Mungkin Anda menganggap mereka sebagai simbol kesuksesan atau bahkan sumber inspirasi.Â
Tetapi pernahkah Anda berpikir bahwa di balik semua itu, mereka mungkin sedang bergulat dengan badai emosional yang tak terlihat? Ini adalah realitas yang dihadapi oleh banyak orang dengan high-functioning anxiety.
High-functioning anxiety adalah istilah yang tidak resmi secara medis, tetapi sangat relevan dalam menggambarkan kondisi seseorang yang berfungsi dengan sangat baik dalam pekerjaan atau kehidupan sosial, namun pada saat yang sama terjebak dalam lingkaran kecemasan yang konstan.Â
Mereka adalah tipe orang yang tampak memiliki "semuanya", tetapi di balik layar, mereka mungkin kurang tidur, terus-menerus overthinking, atau merasa tidak pernah cukup.
Mengapa Masalah Ini Tidak Terlihat?
Kondisi ini seringkali tidak disadari oleh lingkungan, bahkan oleh diri penderita sendiri. Salah satu alasannya adalah stigma tentang kecemasan yang identik dengan disfungsi atau ketidakmampuan.Â
Orang dengan high-functioning anxiety berhasil menyembunyikan tanda-tanda kecemasan mereka dengan bekerja lebih keras, menjadi perfeksionis, atau selalu menyibukkan diri.
Sebuah studi dari American Psychological Association menyebutkan bahwa individu dengan kecemasan tinggi cenderung mengembangkan mekanisme koping yang membuat mereka tampak "baik-baik saja".
Hal ini ironis, karena mekanisme tersebut justru memperburuk tekanan mental yang mereka alami. Misalnya, mereka mungkin mengambil terlalu banyak pekerjaan untuk mengalihkan perhatian dari perasaan cemas, yang akhirnya justru memperburuk stres mereka.
Siapa yang Rentan?
Sebut saja namanya Lia, seorang manajer proyek berusia 32 tahun, adalah contoh nyata. Setiap hari, ia datang lebih awal ke kantor, selalu menyelesaikan tugas sebelum tenggat waktu, dan terkenal dengan ketelitiannya.
 Namun, di balik senyumnya, ia merasa takut akan kegagalan, cemas tentang komentar kecil dari rekan kerja, dan sering menangis di malam hari karena kelelahan emosional. Lia bukan satu-satunya.
Orang-orang seperti Lia sering berasal dari lingkungan yang menuntut kesempurnaan atau memiliki pengalaman trauma masa lalu yang membuat mereka merasa harus "selalu berhasil" untuk mendapatkan pengakuan.
 Profesi dengan tekanan tinggi seperti dokter, pengacara, atau eksekutif sering menjadi tempat bernaung mereka.
Bagaimana Cara Mengenali Tanda-Tandanya?
Salah satu tantangan terbesar dalam memahami high-functioning anxiety adalah mengenali tanda-tandanya yang sering kali tersembunyi. Berikut adalah beberapa tanda yang sering terlewatkan:
- Perfeksionisme: Selalu merasa pekerjaan tidak pernah cukup baik meskipun orang lain melihatnya sempurna.
- Overthinking: Menghabiskan terlalu banyak waktu menganalisis skenario hipotetis atau kesalahan kecil.
- Kesulitan Beristirahat: Bahkan saat libur, mereka merasa bersalah jika tidak produktif.
- Kebiasaan Berulang: Seperti menggigiti kuku atau mengetuk-ngetuk meja, sebagai pelepasan kecemasan.
- Kelelahan Kronis: Meski terlihat energik, sebenarnya tubuh mereka sudah mencapai batas.
Menurut Dr. Amy Morin, seorang psikolog klinis, individu dengan high-functioning anxiety sering kali memiliki "topeng sosial" yang membuat mereka tampak tangguh, tetapi topeng itu sebenarnya adalah perisai yang rapuh.
Bagaimana Kita Bisa Membantu?
Mengenali bahwa seseorang memiliki high-functioning anxiety adalah langkah pertama untuk membantu. Tapi bagaimana jika orang tersebut adalah diri Anda sendiri?
- Beri Ruang untuk Gagal: Pahami bahwa tidak ada yang sempurna. Membuat kesalahan adalah bagian dari menjadi manusia.
- Cobalah Teknik Relaksasi: Meditasi, olahraga ringan, atau sekadar berjalan-jalan tanpa gangguan teknologi bisa membantu mengurangi kecemasan.
- Berbicara dengan Profesional: Psikoterapi kognitif-behavioral (CBT) adalah salah satu metode yang efektif.
- Dukung Lingkungan Anda: Jika Anda mengenali tanda-tanda ini pada teman atau keluarga, tawarkan telinga yang mendengar tanpa menghakimi.
Apakah Ini Masalah Global?
Jawabannya adalah iya. Dalam budaya modern yang menyanjung kesibukan sebagai indikator kesuksesan, high-functioning anxiety menjadi semacam pandemi diam-diam.Â
Di Jepang, misalnya, budaya kerja karoshi (kematian karena kerja berlebihan) menjadi peringatan serius. Sementara di Amerika Serikat, survei dari National Institute of Mental Health menunjukkan bahwa hampir 19% orang dewasa mengalami kecemasan setiap tahun, dan sebagian besar tidak terdiagnosis.
Teknologi juga memperburuk keadaan. Dengan media sosial, tekanan untuk selalu "tampil baik-baik saja" meningkat. Unggahan yang menunjukkan keberhasilan, kebahagiaan, atau produktivitas sering kali menjadi tolok ukur yang tidak realistis.
Mengapa Ini Penting untuk Dibicarakan?
Ketika kita memahami bahwa seseorang bisa terlihat baik-baik saja tetapi sebenarnya tidak, kita mulai memandang manusia dengan lebih banyak empati.Â
Kita belajar bahwa kesuksesan yang terlihat mungkin hanyalah sebuah ilusi. Kita juga diingatkan bahwa hidup tidak melulu soal pencapaian, tetapi juga soal merawat diri sendiri dan orang-orang di sekitar kita.
High-functioning anxiety mengajarkan kita untuk tidak menilai buku dari sampulnya. Jangan hanya bertanya, "Bagaimana kabarmu?" tetapi tambahkan, "Benarkah kamu baik-baik saja?"Â
Sebab, terkadang orang yang paling membutuhkan bantuan adalah mereka yang paling keras berusaha terlihat tidak membutuhkan apa-apa. "Menjadi baik-baik saja" bukanlah tentang pencapaian atau topeng sosial, tetapi tentang berdamai dengan diri sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H